#R – Kepedulian yang Tidak Beralasan

1588 Kata
            Kebersamaan dan kesempatan, mungkin hanya itulah yang Vanila inginkan, dia tidak ingin meminta banyak hal, dia hanya meminta kepada takdir untuk memberikan dia kesempatan menghabiskan waktu meskipun itu hanya sebentar bersama orang – orang yang dia sayang. Dia ingin mempunyai kenangan walau itu hanya kenangan kecil yang bisa dia kenang dalam kesendirian. “Abi, meskipun kamu dan Kakak enggak lahir dari rahim yang sama, tapi kamu tetap menjadi adik Kakak, dan Kakak akan selalu sayang sama kamu” ujar Vanila, sambil menatap sosok Abimana yang saat itu masih terlihat berbaring dengan berbagai peralatan medis yang menopang hidupnya. Bibir Vanila melukiskan senyuman kecil dengan air mata yang tiba – tiba jatuh saat dia bisa menatap wajah adiknya dari jarak yang sangat dekat. Setelah bertanya kepada Dokter yang menangani Abimana langsung, Vanila tahu jika Abimana mengalami koma akibat kecelakaan yang menimpanya. Melihat kepala adiknya diperban, tangan Vanila mengelus kepala berbalut perban Abimana dengan sangat lembut. “Cepat sembuh ya Abi, jangan buat mamah dan papah khawatir, Kakak janji enggak akan mengganggu kalian dan membuat mamah sama papah gak fokus merhatiin kamu, karena Kakak gak mau kamu kaya gini Abi” gumam Vanila, sambil mencium punggung tangan Abi yang saat itu terasa dingin. “Sekarang Kakak pergi dulu, tapi Kakak janji akan selalu datang untuk jengukin kamu ko” lanjut Vanila, sambil mengelus lengan adiknya kemudian berlalu pergi meninggalkan ruang perawatan Abimana sebelum kedua orang tuanya datang dan memergokinya sedang menjenguk Abimana. Setelah itu, Vanila langsung membayar administrasi untuk biaya perawatan selama dia di rawat dirumah sakit menggunakan uang tabungannya sendiri yang ternyata sangat pas dengan jumlah tagihan, dan meminta pihak rumah sakit mengembalikan uang Rama yang sempat melunasi biaya perawatan Vanila lebih dulu. Kemudian, setelah semuanya selesai, Vanila memutuskan pulang, hari ini dia memutuskan untuk beristirahat di rumah, karena meskipun dia sudah berani memaksa keluar dari rumah sakit saat Dokter masih belum memberikan dia izin untuk pulang. Namun, Vanila tidak bisa membohongi dirinya sendiri, jika tubuhnya masih belum dalam keadaan baik – baik saja.  *** Vanila menatap langit – langit kamar kosnya dalam bisu, saat itu jam sudah menunjukan pukul 10.00 pagi, awalnya Vanila berniat pulang dan menghabiskan waktu untuk tidur di kosannya, tapi saat tiba di kossan dia justru tidak bisa memejamkan matanya sedikitpun. Kepalanya masih terasa pusing, tubuhnya juga masih terasa lemas, tapi tidak tahu kenapa dia masih tidak bisa memejamkan matanya walau sedikitpun.              “Van, lo di dalemkan ? Van jangan buat gue khawatir deh elo di dalem kan Van ?”             Vanila menatap pintu yang saat itu sengaja dia kunci dari dalam, dia tahu suara siapa yang saat itu sedang memanggilnya dari luar, tapi Vanila sedang tidak ingin menemui siapa – siapa. Anya, dia pasti sudah pergi ke rumah sakit untuk menemuinya, dan saat tahu Vanila sudah tidak di sana dia langsung datang ke kossannya. Namun, saat itu Vanila sengaja tidak memberikan respon, dia sedang tidak ingin menemui siapapun dalam keadaannya yang sedang mengkhawatirkan. Dia sudah terlalu banyak dan terlalu sering membuat Anya khawatir dan susah. “Van, elo di dalem enggak sih ?” ujar Anya, untuk yang ke sekian kalinya karena dia ingin memastikan jika Vanila benar – benar ada di dalam atau tidak. Setelah itu, Vanila tidak lagi mendengar suara Anya mengetuk – ngetuk pintu kossannya, mungkin dia benar – benar mengira jika Vanila tidak ada di dalam kossannya. Setelah itu, Vanila kembali pada lamunannya, lamunan yang tidak tahu sedang melamunkan apa, tapi yang pasti Vanila hanya sedang meresapi kesendirian dan kesepian hari – harinya. Namun, belum sampai 15 menit suara Anya berhenti, Vanila kembali mendengar suara seseorang dengan suara beratnya memanggil Vanila dari luar sambil mengetuk pintu kamarnya. “Saya tahu kamu ada di dalam, jadi kamu keluar !” ujarnya, tegas. Selama beberapa saat Vanila memilih diam, dia menatap pintu kamarnya dalam bisu. Saat itu, Vanila masih terlihat belum berniat membuka pintu kamarnya, karena dia masih diam dalam posisi berbaring dan membiarkan orang yang berada di luar memanggil – manggilnya. “Vanila, buka pintunya. Kalau kamu tidak buka, saya akan dobrak pintunya !” ujarnya, masih dengan ketegasan yang tersirat dalam setiap kalimatnya.             Mendengar pintunya akan di dobrak yang Vanila yakin di ucapkan tanpa keraguan, Vanila menghela nafasnya, kemudian dia turun untuk membuka pintu. Tepat ketika pintu terbuka, Vanila bisa melihat tatapan khawatir yang terpancar dari mata seseorang yang belakangan selalu hadir menjadi penolongnya. Kemudian, dari arah belakang Anya tiba – tiba muncul dan memeluknya dengan erat. Sementara, sosok yang baru saja mengancamnya masih berdiri diposisi yang sama sambil menatap Vanila dengan kecemasan yang tergambar nyata di matanya. “Lo gak papakan Van, bilang sama gue apa yang lo rasain sekarang Van ?”  tanya Anya, sambil menatap Vanilla dari atas hingga bawah. “Kamu bisa enggak, jangan keras kepala, kamu punya nyawa berapa memang ? kamu tahu penyakit kamu itu termasuk penyakit bahaya, Demam Berdarah, itu bukan penyakit yang bisa kamu bawa main – main, paham ?!” ujar Rama, setelah terdiam cukup lama. Saat itu, Vanila masih tetap diam sambil menatap Rama. Ada sesuatu pada diri Rama yang terlihat berbeda, pagi ini laki – laki itu terlihat tidak sefresh biasanya, meskipun ketegasan terpancar dari ucapan dan sikapnya, tapi di sisi ketajaman tatapannya juga terlihat sayu, wajahnya terlihat sedikit pucat. Namun, saat itu Vanila tidak berniat sedikitpun untuk menanyakan tentang bagaimana keadaan dia sekarang. “Ayo lo duduk, lo pasti belum sarapankan, ayo makan dulu, gue udah bawa bubur buatan mamah tadi, terus abis itu minum obatnya, Kak Rama udah bawain obatnya buat lo” ujar Anya, sambil membawa Vanila duduk di atas tempat tidur. “Aku bisa sendiri Nya, gak papa” ujar Vanila, saat dia melihat Anya hendak menyuapinya makan. “Lo itu, bisa gak sih kalau lagi sakit bersikap kaya orang yang lagi sakit, bisa gak sih lo manja dikit aja sama gue, heran gue sama lo Van” gerutu Anya, sambil menyerahkan semangkuk bubur yang dia sebut buatan mamahnya kepada Vanila. Tidak ada jawaban apapun yang Vanila ucapkan, saat itu Vanila lebih memilih diam dan memakan bubur yang sudah Anya bawa untuknya. Tiga manusia yang sedang menghuni ruangan sama itu lebih memilih sama – sama membisu tenggelam dalam pikiran masing – masing. Vanila memakan buburnya, Anya memperhatikan Vanila, dan Rama diam sambil memijat kepalanya. “Ini obat, kamu minum satu hari 3 kali, abis itu saya akan ambil sample darah kamu untuk di lab. Dan ingat, kamu gak boleh kerja sebelum trombosit, leukosit, dan hemoglobin darah kamu dinyatakan meningkat !” ujar Rama, saat Vanila sudah menyelesaikan makannya. Diam, hanya itu yang Vanila lakukan selama Rama bicara dan menyerahkan obat yang sudah dia buka kearahnya, dan menyimpan sisa obat yang harus dia minum disamping tempat tidur. Vanila hanya memperhatikan setiap pergerakan Rama yang terlihat sedang mempersiapkan alat untuk mengambil sample darahnya. “Kak Ram, ko bisa tahu Vanila pulang ? terus bisa yakin banget lagi Vanila ada di dalam kamarnya, tadi aja aku udah hampir mikir Vanila gak ada di dalam karena ni anak gak jawab – jawab” ujar Anya, setelah terdiam cukup lama saat Rama sedang bersiap mengambil sample darah Vanila. Rama melangkahkan kakinya dengan sedikit lunglai menuju ruangan Vanila saat dia baru saja keluar dari ruangan operasi, karena pagi ini dia memang harus mengikuti operasi dadakan pada pasien yang mengalami kecelakaan, sehingga waktu pulangnya sedikit tertunda. Kepalanya yang masih terasa pening sejak semalam mendadak hilang saat dia melihat ruang perawatan Vanila yang sudah tidak dihuni siapapun bahkan sudah terlihat rapih dan bersih. “Dok, pasien atas nama Vanila kemana ? ko dia gak ada diruangannya, Dok ?” tanya Rama, saat tanpa sengaja dia berpapasan dengan Dokter Indra yang menangani Vanila. “Tadi pagi, dia meminta izin kepada saya untuk pulang, saya udah larang karena keadaan dia  masih belum baik, bahkan dari hasil lab saja, trombosit dan leukositnya kembali mengalami penurunan, yang berarti keadaan dia masih sangat tidak baik, tapi, dia tetap tidak mau, jadi setelah saya meminta dia menandatangani surat pernyataan jika dia ingin keluar dari rumah sakit karena keinginannya sendiri, saya mengizinkan dia pulang, dan memberikan dia resep obat,” pernyataan Dokter Indra, berhasil membuat Rama mendesah kesal, tapi saat itu dia tidak bisa melakukan apapun. Ketika dia akan pulang, atau lebih tepatnya menyusul Vanila, seorang karyawan dibagian resepsionis tiba – tiba mencegatnya dan menyerahkan uang yang sudah dia gunakan untuk membayar biaya perawatan Vanila, dan hal itu tentu semakin membuat Rama kesal. Setelah menerima uang dari bagian resepsionis, Rama berinisiatif ke apotek terlebih dahulu, menanyakan apakah Vanila sudah menebus obatnya atau belum, dan lagi – lagi jawaban tidak dari apoteker berhasil membuat Rama mendesah kesal. Setelah menebus obatnya terlebih dahulu, Rama langsung meluncur menuju kossan Vanila, dan berpapasan dengan Anya yang sedang mengedor – gedor pintu kossan Vanila. “Dia emang keras kepala Kak, aku aja kadang kesel sama dia” ujar Anya, sambil menyentil telinga Vanila setelah mendengar cerita Rama. “Yaudah sekarang kamu jagain aja biar dia gak keras kepala lagi, dan pastikan dia meminum obatnya tepat waktu, soalnya saya harus ke rumah sakit lagi mengantarkan sample darahnya untuk di lab” ujar Rama, sambil membereskan peralatan yang sudah dia gunakan untuk mengambil sample darah Vanila. “Mungkin, besok pagi setelah selesai kerja saya akan ke sini lagi untuk mengambil sample darah dan mengecek keadaan kamu jika diperlukan, saya permisi, Assalamu’alaikum” lanjut Rama, sambil berlalu pergi. Datang mengunjungi Vanila selepas kerja shift malam, akan menjadi rutinitas yang Rama lalui selama Vanila belum dinyatakan dalam keadaan baik – baik saja. Selama Vanila masih membutuhkan pemantauan khusus terkait keadaannya, Rama akan terus mondar mandir datang menemui Vanila.                                  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN