Rama tidak pernah tahu dan tidak pernah mengerti apa yang sudah terjadi kepada dirinya sendiri, dia tidak paham kenapa dia bisa sangat peduli kepada sosok gadis yang bahkan belum lama dia kenal. Dia tidak tahu kenapa setiap dia mencoba untuk tidak peduli, hatinya seakan meminta untuk terus memperhatikan dia.
“Kenapa sama elo Ram, kenapa elo bisa sepeduli ini sama dia ? apa karena lo suka sama dia ? tapi gue masih merasakan kalau getaran itu masih milik dia, milik orang yang udah gue cinta sejak lama, apa ini hanya rasa peduli sebagai rasa kemanusiaan aja” batin Rama, sambil memandang seseorang yang masih terbaring di dalam ruangan UGD.
“Dia terkena serang DBD dan Thypoid, Hb, trombosit dan leukositnya sangat rendah, untung kamu segera membawa dia ke sini Ram, kalau tidak saya tidak bisa membayangkan seperti apa jadinya dia sekarang,” perkataan Dokter Indra tidak berhenti terngiang – ngiang dalam telingan Rama. Saat mengantar Vanila ke rumah sakit dia sangat ketakutan, dan setelah mendengar pernyataan Dokter Indra, semua yang sudah dia prediksi tentang keadaan Vanila benar – benar menjadi nyata. Karena rasa khawatirnya belum juga reda, Rama bahkan belum mampu memejamkan matanya sedikitpun sejak semalam, dan dia juga belum pulang setelah selesai bekerja kemarin.
“Loh Kak Rama, kakak belum pulang,” Rama menoleh saat dia mendengar suara seseorang yang menyapanya dari belakang.
“Belum, gak papalah nanggung hari ini juga saya kerja shift malam” ujar Rama, sambil mendudukan tubuhnya disebuah kursi tunggu tepat di depan ruangan yang sedang di huni oleh Vanila.
Mendengar jawaban Rama, Anya tersenyum, kemudian dia ikut mendudukan tubuhnya tepat disamping Rama. Saat itu, Anya tidak tahu kenapa Rama bisa sangat peduli kepada sahabatnya, dia bahkan rela tidak tidur semalaman hanya untuk menjaga Vanila, dia bahkan rela tidak pulang hanya untuk menemani Vanila selama di rumah sakit.
“Kak, Vanila itu tidak pernah bahagia, hidupnya hanya di penuhi oleh drama kebahagiaan, dia selalu tanpak bahagia dihadapan siapapun termasuk dihadapan ku, tapi aslinya dia itu hancur” ujar Anya, sambil berdiri menatap tubuh Vanila yang masih terlelap di dalam ruang perawatannya.
“Aku pernah ceritakan mamahnya meninggal saat melahirkan dia, setelah itu dia tinggal bersama neneknya lalu dia tinggal bersama ayahnya, iya ayahnya” lanjut Anya, sambil tersenyum kecil.
“Ayah yang tidak pernah mempedulikan dia, tapi Vanila selalu menyayangi dan menghormati dia tanpa ada rasa benci sedikitpun, bahkan setelah di usirpun Vanila tidak pernah membencinya”
Anya berbalik dan kembali duduk di samping Rama, matanya menatap Rama dengan tatapan serius. Saat itu, Rama ikut menatapnya juga karena saat itu Rama merasa jika Anya akan mengatakan sesuatu yang sangat serius.
“Jika sekarang Kakak datang dalam kehidupan Vanila untuk menawarkan kebahagiaan yang nyata maka lanjutkan, tapi jika Kakak datang hanya untuk menawarkan sebuah luka maka pergilah dari sekarang, aku tidak akan mampu melihat Vanila terus tersenyum dengan beban dan rasa sakit yang semakin menumpuk dalam hidupnya” ujar Anya, sambil menatap Rama penuh keseriusan.
Saat itu, Rama tahu jika dia bukan sedang berhadapan dengan Anya yang manja dan cerewat, tapi sedang berhadapan dengan seorang sahabat yang ingin membela kebahagiaan sahabatnya. Saat itu, Rama tidak tahu jawaban apa yang harus dia berikan kepada Anya, karena nyatanya dia sendiri tidak tahu saat itu kenapa bisa selalu ingin membantu Vanila.
***
“Kakak di sini ? aku pikir hanya ada Anya, tapi sekarang dia sudah pulangkan Kak ? biasanya dia selalu keras kepala” tanya Vanila, sambil menatap Rama yang baru saja masuk menyapa Vanila yang baru saja terbangun.
Saat itu, tidak ada yang Rama katakan, dia hanya diam sambil menatap Vanila dengan tatapan datar. Setelah Dokter mengatakan jika keadaa Vanila sudah mulai membaik, dan setelah mendengar dari Anya yang sudah lebih dulu menjenguk Vanila, dan mengatakan jika Vanila sudah lebih baik akhirnya Rama memilih untuk masuk dan menemui Vanila.
“Dia memang menyebalkan, mau aku temani malah ngusir” gerutu Anya, saat dia baru saja keluar dari dalam ruangan Vanila.
“Kenapa ?” tanya Rama, sambil berdiri dari posisi duduknya.
“Dia menyebalkan, aku hanya ingin menemaninya, tapi dia malah mengusir ku, oh iya Kakak malam ini kerjakan, aku sekalian titip Vanila ya” ujar Anya, yang hanya di balas anggukan oleh Rama
“Dia sudah pulang sambil menggerutu tadi” ujar Rama, dengan wajahnya yang masih terlihat dingin dan datar membuat Vanila tersenyum kecil mendengar jawabannya.
Setelah itu, tidak ada lagi percakapan apapun yang tercipta antara dua manusia berbeda jenis kelamin itu, mereka sama – sama bungkam dengan pikiran mereka masing – masing. Pergerakan Vanila yang terlihat kesusahan ingin turun dari tempat berbaring berhasil menjadi pemecah kebungkaman mereka sejak tadi.
“Kamu mau kemana ? keadaan kamu masih belum sepenuhnya baik, jangan so kuat” ujar Rama, berhasil membuat Vanila menoleh dengan senyum kecil yang tercetak dari bibirnya.
“Aku ingin melihat keadaan Abi, aku tidak akan tenang sebelum melihat keadaan dia, dia di rawaT di rumah sakit ini juga kan ?” ujar Vanila, sambil kembali berusaha turun dari atas ranjangnya.
“Dasar keras kepala, tunggu biar saya ambilkan kursi roda dulu” ujar Rama, tegas seakan dia meminta kepada Vanila untuk jangan membantah perintahnya.
Setelah itu, Rama berlalu pergi untuk mengambil kursi roda, dan tidak lama dia kembali dengan kursi roda yang sudah dia janjikan kepada Vanila, dengan telaten dan penuh ke hati – hatian Rama membantu Vanila yang masih terlihat lemah untuk duduk diatas kursi roda, kemudian dia mendorongnya menuju bagian ruangan ICU, karena di sanalah Abimana di rawat. Rama tahu karena memang dia yang di tugaskaskan untuk menjaga ruangan ICU.
“Di sini saja Kak” ujar Vanila, saat mereka sudah sampai di depan ruang ICU tempat dimana ada Abimana di dalamnya.
Gadis itu memutuskan tidak masuk saat dia melihat di dalam ada orang tuanya sedang menjenguk Abimana. Dia memilih menunggu dan menonton kebersamaan mereka dari luar, bibirnya terlihat melukiskan senyuman saat dia melihat keberadaan orang tuanya yang sedang menjenguk Abimana yang belum sadarkan diri setelah kecelakaan yang terjadi.
“Kak, Vanila itu tidak pernah bahagia, hidupnya hanya di penuhi oleh drama kebahagiaan, dia selalu tanpak bahagia dihadapan siapapun termasuk dihadapan ku, tapi aslinya dia itu hancur,” sekarang Rama mengerti apa yang dimaksud perkataan Anya setelah melihatnya secara langsung. Gadis itu terlihat tersenyum dalam luka yang Rama yakin sedang dia rasakan saat melihat adiknya sedang sakit dan diperhatikan oleh orang tuanya, sedangkan dia sakit hanya seorang diri tanpa ada yang memperhatikannya.
“Lihat Pah, semua ini karena gadis pembawa sial itu, karena ada dia kita jadi kurang memperhatikan Abi, lihatlah hasilnya sekarang Abi jadi kecelakaan,” samar – samar Rama mendengar suara seorang ibu yang Rama yakin bukan ibu kandung Vanila, tapi Rama kira mungkin itu ibu sambungnya, dan Rama yakin kalimat itu pasti di dengar juga oleh Vanila.
“Iya Mah, Mamah tenang aja, sekarang diakan udah pergi, jadi sekarang kita bisa lebih fokus menjaga Abi, gadis itu tidak akan datang dan membawa masalah lagi” ujar sosok laki – laki yang Rama yakin adalah ayah Vanila dan Abimana.
Rama melirik Vanila karena dia yakin Vanila juga bisa mendengar semua yang dia dengar. Namun, tidak ada yang bisa Rama lihat dari wajah Vanila selain senyuman, senyuman yang selalu dia lihat selama ini, meskipun dari tatapan matanya Rama bisa melihat ada luka yang tidak bisa dia sembunyikan.
Setelah melihat langsung bagaimana cara orang tuanya memperlakukan Vanila, Rama tidak bisa membayangkan berapa banyak senyuman yang sudah Vanila tunjukan untuk menyembunyikan lukanya, untuk memanipulasi rasa sakit agar orang – orang agar tidak mengetahui lukanya.
“Kak aku ingin kembali ke ruangan ku, terima kasih ya sudah antar, oh iya kenapa Kakak belum pulang ?” ujar Vanila, sambil mendongakkan kepala dan tersenyum kearah Rama.
Rama benar – benar merasa tidak habis pikir, sekarang Rama justru melihat Vanila yang terlihat seperti biasa. Gadis itu bersikap seakan tidak terjadi apa – apa, dan tidak mendengar apa – apa. Namun, beberapa saat kemudian Rama tetap mendorong kursi rodanya, membawa dia kembali ke ruangannya.
“Saya shift malam, jadi nanggung kalau pulang” jawab Rama, singkat.
“Oh iya, makasih ya Kak, Anya bilang Kakak yang membantu aku sampai dibawa ke rumah sakit, tapi jangan terlalu baik sama aku ya Kak, nanti pacar Kakak cemburu lagi sama aku, padahal dia gak pantes ya cemburu sama aku, dia sama akukan kaya langit sama bumi” ujar Vanila, sambil terkekeh kecil.
Rama tahu siapa orang yang Vanila maksud, Sherly. Rama tahu sikap terakhir yang Sherly tunjukan kepada Vanila dipertemuan terakhir mereka, pasti akan membuat Vanila mengira jika Sherly adalah kekasihnya. Namun, ada yang harus Rama luruskan di sini mengenai hal itu kepada Vanila.
“Rama ..,” mulut Rama kembali terkantup saat dia akan menjelaskan hubungannya bersama Sherly, saat dia melihat seseorang yang sedang mereka bahas berjalan menghampiri dengan wajah dan tatapan kesal bercampur marah yang terpancar jelas dari matanya.
“Jadi ini yang kamu lakuin sampai gak pulang semaleman, kamu di sini cuma buat jagain cewe gak berguna ini” ujar Sherly, sambil menunjuk Vanila yang saat itu masih diam.
“Dan kamu, apa kamu gak punya malu, mendekati Rama yang sudah jelas dekat dengan saya, dasar cewe gak tahu diri” lanjut Sherly, sambil mendorong bahu Vanila hingga membuat dia terjatuh dari atas kursi roda karena keadaannya yang masih lemah.
Tubuh Vanila yang terjatuh, berhasil membuat tangan Vanila yang saat itu masih di pasang infus sedikit tertarik hingga membuat Vanila kesakitan. Gadis itu bahkan terlihat memegang tangannya karena rasa sakit yang dia rasakan, dengan cepat Rama langsung melihatnya, dan saat dilihat ternyata tangan Vanila berdarah. Rama langsung melepas infusannya karena dia khawatir saat infus itu tertarik menyebabkan jarum yang tertusuk di dalam tangan Vanila patah di dalam.
“Tidak usah Kak terima kasih, aku bisa meminta tolong pada Suster untuk menggantinya nanti” ujar Vanila, dengan senyum kecil yang tercetak di bibirnya saat Rama hendak berlalu mencari infus baru, tapi matanya terlihat berkaca – kaca karena menahan rasa sakit dibagian tangannya.
“Maaf ya, aku sama Kak Rama tidak punya kedekatan apapun, lagi pula mana mungkin Kak Rama bisa berpaling pada gadis seperti ku, sangat berbeda jauh dari Dokter yang terlihat cantik” ujar Vanila, lagi – lagi dengan senyuman yang tercetak dari bibirnya.
“Aku pergi dulu ya, maaf sudah membuat Dokter merasa tidak nyaman, permisi” ujar Vanila, sambil membungkukan sedikit tubuhnya sebagai tanda hormat.
Kemudian, Vanila terlihat berlalu tanpa menggunakan kursi rodanya, tangannya mengambil alih tiang infus yang sedang di pegang Rama. Saat Vanila hendak berlalu, Rama tentu saja langsung melarangnya karena dia tahu bagaimana keadaan Vanila.
“Gak papa, aku bisa, makasih ya Kak” ujar Vanila, sambil melanjutkan langkahnya lagi.
“Udahlah, lagian kenapa sih kamu perhatian banget sama cewe gak tahu diri itu, paling juga dia cuma sakit pura - pura” ujar Sherly, yang masih terdengar oleh Vanila.
Namun, saat itu Vanila lebih memilih untuk melanjutkan langkahnya. Ucapan yang ayah dan ibunya katakan, ditambah ucapan Sherly tentu membuat dia merasa terluka. Dia semakin merasa jika hidupnya selalu menyusahkan orang lain. Sedangkan, dibelakangnya Rama hanya mampu menatap Vanila dalam diam, dia tidak bisa melakukan apapun dan mengatakan apapun untuk membela Vanila yang dia yakin terluka.