#R – Bertamu Tanpa Salam Perkenalan

2015 Kata
Tidak akan ada yang tahu bagaimana permainan takdir untuk kehidupan seseorang, takdir hanya skenario rahasia tanpa harus dihapal dialognya, karena semua akan berjalan sesuai naluri dengan di sutradarai langsung oleh Allah. Semua orang tidak akan pernah bisa menebak bagaimana takdir kehidupannya, karena setiap orang sudah mempunyai takdirnya masing – masing. “Ni anak, gak nyelakain orang ternyata nekad juga nyelakain diri sendiri” gumam seorang perawat, saat sedang mengobati luka – luka yang terdapat pada beberapa bagian tubuh seorang gadis SMA yang tanpa sengaja dia temui dihalte. Vanila, dialah sosok gadis yang pingsan di halte saat akan berangkat sekolah dan tanpa sengaja ditemukan oleh seorang perawat. Mendapati tubuh Vanila yang demam, dengan beberapa luka dibagia tubuhnya membuat perawat itu khawatir dan langsung membawanya ke rumah sakit, karena saat itu dia juga akan pergi ke rumah sakit untuk bekerja. “Dia kenapa ya, ko bisa pingsan di halte, padahal sekali ketemu dia aja gue bisa yakin kalau ni anak pasti enerjik banget” batin perawat yang masih mengobati luka – luka Vanila sambil memandang wajah Vanila yang belum sadarkan diri. “Sayang banget, luka memarnya nodain wajahnya yang cantik” lanjut gumamannya di dalam hati, sambil membersihkan luka dibagian bibir Vanila. Ada sebuah lukisan senyuman yang terbit dari bibir perawat itu saat dia memandang wajah damai Vanila yang masih pingsan, tangannya masih bergerak lincah membersihkan luka dan memasang perban dibagian tangan Vanila. Sampai akhirnya, kegiatan dia yang sejak tadi memandang wajah Vanila terhenti saat dia sadar dengan apa yang dia lakukan ditambah sinyal kesadaran sudah mulai ditunjukan Vanila. Pelan – pelan mata Vanila mulai terbuka, samar – samar dia bisa melihat sosok yang sedang berdiri disampingnya dan menatap tepat dibagian matanya. sesaat dahi Vanila mengerut saat dia sudah bisa melihat dengan jelas wajah sosok laki – laki yang sedang berdiri disampingnya itu. “Kenapa ada Kakak ? ini dimana ? perasaan tadi dari rumah mau berangkat ke sekolah, tapi ko bisa jadi ada di sini” gumam Vanila, sambil menatap sekeliling ruangan yang tidak dia kenali sedikitpun. Vanila menoleh kearah samping kirinya, tapatnya kearah tangan kirinya yang terasa sakit, disana ada sebuah infus yang menempel dipunggung tangannya, kemudian dia menoleh kesamping kanannya tepat dimana sosok perawat yang sedang sudah mengibati lukanya, matanya menatap perawat itu dari atas hingga bawah. “Ngapain Kakak pakai baju perawat ?” tanya Vanila, pada sosok laki – laki yang sejak tadi hanya diam. “Saya perawat di sini” jawabnya, tanpa melirik kearah Vanila dan sibuk mengecek beberapa luka dan suhu tubuh Vanila yang sempat demam tinggi. Selama beberapa saat Vanila terdiam, dia menatap sosok disampingnya dari atas hingga bawah lagi, kemudian dia terkekeh kecil. Hal itu, berhasil membuat sosok perawat yang masih berdiri disampingnya itu mengerutkan dahinya bingung. “Maaf Kak, waktu pas Kakak ketabrak temen aku, aku kira Kakak masih anak kuliahan, eh ternyata udah kerja, mukanya baby face bangetsih” ujar Vanila, sambil terkekeh. Sosok laki – laki yang Vanila panggil dengan sebutan Kakak itu hanya melirik Vanila dengan tatapan sinis, kemudian dia menyodorkan semangkuk bubur yang memang sudah disiapkan rumah sakit untuk Vanila. Melihat apa yang laki – laki itu berikan, Vanila tersenyum, kemudian dia busaha bangkit dari posisi berbaringnya. Namun, karena kepalanya masih terasa sakit, tiba – tiba Vanila meringis kesakitan saat dia bangun tidak hati – hati. “Tahu lagi sakit, kenapa enggak pelan – pelan sih, bisa enggak lebih hati – hati ?” tanyanya, sambil menangkap tubuh Vanila menggunakan sebelah tangannya saat dia melihat tubuh Vanila akan terjatuh. Vanila tersenyum sambil menunjukan giginya, “Ya Maaf, abisnya aku terlalu bersemangat untuk makan” jawab Vanila, sambil bangun dengan hati – hati dibantu sosok perawat disampingnya. Kemudian, Vanila mengambil semangkuk bubur yang diserahkan kepadanya, saat itu Vanila sempat kebigungan sekaligus kesusahan karena tangan kanannya dipasang infus dan tangan sebelah kanannya dipasang perban untuk menutupi luka yang terkena oleh air panas yang dilakukan oleh mamah Herma. Namun, sebisa mungkin Vanila berusaha memaksa tangan sebelah kanannya untuk dia gunakan makan, meskipun dia harus menahan sakit setiap tangannya digerakan untuk menyendok makanan. “Manusia itu makhluk social, pahamkan arti makhluk social, kalau enggak bisa bilang, minta tolong sama orang” ujar perawat tersebut, saat melihat Vanila kesusahan makan. Lagi – lagi Vanila hanya tersenyum sambil menunjukan deretan gigi rapihnya, kemudian dia menerima setiap suapan yang diberikan laki – laki berstatus perawat itu kepadanya. *** Waktu sudah menunjukan pukul 16.00, dan Vanila masih ditahan di rumah sakit oleh laki – laki berstatus perawat sekaligus orang yang sudah menolongnya. Vanila sudah merengek – rengek meminta pulang tapi laki – laki itu selalu melarang Vanila pulang dengan alasan jika Vanila masih harus dirawat minimal hingga besok. “Apa enggak ada kaluarga yang bisa kamu hubungi ? ada hal yang harus dibicarakan Dokter tentang kesehatan kamu” ujar sosok perawat, yang sejak tadi mondar mandir mengecek kondisinya. “Enggak ada, kalau ada apa – apa bisa langsung bilang sama aku aja Kak, enggak papa ko, kenapa memang ?” tanya Vanila, penasaran. Laki – laki itu menghela nafasnya saat mendengar jawaban Vanila. “Saat dibawa kesini demam kamu cukup tinggi, dan sampai sekarang pun demam kamu masih cukup tinggi meskipun sudah mengalami penurunan, jadi Dokter menyarankan agar kamu dirawat inap selama dua hari” ujarnya, berhasil membuat Vanila terdiam selama beberapa saat. Dirawat dua hari, Vanila tidak mungkin bisa dirawat di rumah sakit selama dua hari. Karena, alasan pertama dia tidak mungkin menghubungi ayah dan ibunya, dan saat Vanila bicara jika dia dirawat dirumah sakitpun pasti mereka tidak akan percaya, kedua Vanila tidak mempuanyai cukup uang untuk biaya rumah sakitnya. “Gak usah deh Kak, gak papa aku pulang aja, aku udah ngerasa lebih baik ko” ujar Vanila, sambil tersenyum berusaha meyakinkan sosok laki – laki dihadapannya. “Gak bisa, keadaan kamu tuh masih belum baik, kamu tuh udah dewasa belajar dong sayangin diri kamu sendiri, kamu tuh …” “Aku mohon Kak” potong Vanila, sambil memasang wajah memelasanya. Mendengar permohonan Vanila, lagi – lagi tidak ada yang bisa dia lakukan selain meyetujuinya. Setelah itu, dia berniat pergi untuk kembali menyampaikan keinginan Vanila untuk pulang kepada Dokter, langkahnya kembali terhenti karena suara Vanila yang tiba – tiba memanggilnya. “Apalagi ?” tanyanya, sambil memasang wajah datar. Vanila menyodorkan handphonenya kearah laki – laki itu, dan tentunya hanya ditanggapi dengan tatapan heran. “Pembayarannya pakai hanphone ini bisa enggak, aku yakin kalau dijual harganya pasti bisalah buat bayar rumah sakit sejak tadi aku di sini, bisakan K ak, aku gak bawa uang soalnya” ujar Vanila, lagi – lagi sambil tersenyum menggemaskan. Sesaat, sosok perawat itu menatap hendphone yang disodorkan Vanila, kemudian dia mengambilnya lalu pergi. Setelah merasa jika dia sendirian, Vanila menghela nafas sambil memejamkan matanya. Dalam keheningan dia merenungkan nasib kehidupannya sendiri, dia ingin mengeluh tapi tidak bisa, dia ingin menangis tapi tidak bisa juga, dia berusaha kuat untuk dirinya sendiri, karena dia sadar tidak punya siapapun yang bisa menolongnya selain tuhan dan dirinya sendiri. “Kamu boleh pulang, tapi kamu harus minum obatnya dengan teratur !” ujar seseorang, yang tiba – tiba sudah berdiri disampinya, membuat mata Vanila yang semula terpejam seketika terbuka karena kaget. “Keluarga kamu enggak ada yang bisa dihubungin buat jemput kamu ?” tanyanya lagi, sambil menatap Vanila dengan tatapan yang sulit untuk didefinisikan. “Iya obatnya pasti aku minum Kak, dan aku pulang sendiri aja, enggak ada yang bisa aku hubungi soalnya, aku terbiasa melakukan apapun sendiri” ujar Vanila, sambil bangun dari posisi berbaringnya, dan menyerahkan tangannya yang masih dipasang infus kearah perawat yang sejak tadi berdiri disampingnya. “Bukain Kak” ujar Vanila, dengan nada manjanya. Tidak ada jawaban dari perawat tersebut, dia hanya diam dan mulai membuka infus yang terpasang ditangan Vanila, karena kebetulan saat itu dia datang memang untuk membuka infus ditangan Vanila. Tidak lama, hanya 5 menit, jarum infus sudah terlepas dari tangan Vanila, setelah selesai dia meminta Vanila untuk bersiap – siap pulang. Tidak sampai setengah jam, Vanila sudah keluar dari ruang inapnya, dia sudah berjalan hendak keluar dari rumah sakit dengan pakaian seragam yang tadi pagi dia gunakan. Namun , saat baru saja keluar dari lobi, kepalanya yang masih terasa sakit, membuat jalan Vanila sedikit oleng karena saat itu dia kembali pusing. Namun, bertepatan ketikan Vanila hendak terjatuh, saat itulah ada dua tangan kokoh yang menangkap tubuhnya. “Aduh makasih, tadi aku hampir jat …” perkataan Vanila terhenti saat dia melihat sosok laki – laki yang untuk ke dua kalinya sudah menolong dia hari ini. “Makasih Kak” ujar Vanila, sambil tersenyum dan menegakan tubuhnya. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut orang yang Vanila panggil Kak itu, dia hanya diam, dan saat Vanila hendak pergi tiba – tiba dia memegang pergelangan tangan Vanila hingga membuat langkah Vanila terhenti dan kembali menoleh kearahnya. Tanpa banyak bicara, tiba – tiba dia menarik tangan Vanila dengan lembut menuju parkiran. “Ayo naik” ujarnya, setelah dia menaiki sebuah motor yang berdekatan dengan Vanila. “Ayo naik, mau pulangkan, biar saya anterin” ujarnya, sambil menatap Vanila dengan tatapan yang terlihat dingin. “Gak usah so soan nolak” lanjutnya, saat dia melihat mulut Vanila terbuka hendak mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. Setelah itu, Vanila lebih memilih diam, dia lebih memilih nurut dengan menaiki motor. Karena saat itu Vanila juga sebenarnya masih bingung dengan bagaimana cara agar dia bisa pulang, dia tidak punya uang untuk membayar ojek atau angkutan umum, selain itu Vanila juga merasa tubuhnya masih terlalu lemah dan kepalanya juga masih sakit jika harus dia paksa berjalan pulang dengan jarak antara rumah dan rumah sakit yang sangat jauh. Saat sedang diperjalanan, tidak ada yang memulai pembicaraan, mereka hanya bungkam dengan pikiran mereka masing – masing. Selain itu, meskipun Jakarta terkenal dengan panasnya, tapi dalam keadaan sore dengan kendaraan bermotor ditambah keadaan yang sedang sakit, membuat Vanila merasa sangat kedinginan, jadi selama diperjalanan Vanila sibuk menggosok - ngosokan tangannya, berusaha menciptakan kehangatan untuk tubuhnya sendiri. “Ko berenti Kak ?” tanya Vanila, saat laki – laki itu meminggirkan motornya, kemudian turun. Tidak ada jawaban, dia hanya membuka jaket yang sedang dia gunakan kemudian memakaikannya kepada Vanila. Mendapat semua perlakuan baik itu, Vanila sesaat terdiam, kemudian dia tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Kemudian merekapun segera melanjutkan perjalana, agar bisa segera sampai dirumah Vanila. “Makasih ya Kak untuk semua kebaikan Kakak hari in, aku yakin Allah pasti melihat semuanya, dan Dia akan membalasnya dengan kebaikan yang sangat indah sama Kakak” ujar Vanila, saat dia sudah turun dari motor karena memang sudah sampai dirumahnya. Laki – laki yang baru mengantar Vanila itu hanya menganggukan kepala, kemudian menyodorkan kantung plastik berisi obat kearah Vanila. “Inget, jangan lupa minum obatnya, cintai diri kamu, karena gak akan ada orang yang lebih mencintai diri kamu selain diri kamu sendiri” ujarnya, berhasil membuat Vanila tersenyum kemudian mengangguk. “Iya Kak, sekali lagi makasih untuk kebaikan dan perhatian Kakak, meskipun Kakak kaku dan dingin tapi aku tahu Kakak orang baik” ujar Vanila, sambil tersenyum dan dijawab sebuah anggukan kepala oleh laki - laki itu. “Yaudah aku masuk dulu ya Kak, selamat malam dan hati – hati pulangnya” lanjut Vanila, sambil berlalu hendak masuk. Namun, lagi – lagi pergerakan Vanila yang hendak masuk ke dalam rumah kembali terhenti karena laki – laki itu kembali menahan tangannya. “Ini handphone kamu, untuk biaya rumah sakit udah saya bayarin jangan kamu pikirin lagi, zaman sekarang handphone itu penting, sekalipun kamu gak suka main hanphone tetep aja kamu harus punya karena kadang sesuatu yang kamu anggap gak penting dan gak suka, akan mendadak penting dan kamu sukai diwaktu tertentu” ujarnya, sambil menyerahkan handphone berwarna pink milik Vanila. “Jangan bilang makasih lagi, saya udah kenyang dengernya, kalau gitu saya pamit, Assalamu’alaikum” ujarnya, saat melihat mulut Vanila hendak terbuka hendak bicara tapi tidak jadi karena didahuluinya. Setelah itu, dia pergi meninggalkan Vanila yang masih berdiri dengan senyuman yang mengembang dibibinya, perpisahan kedua dengan kesan manis tanpa meninggalkan jejak. Semuanya hanya akan menjadi rahasia takdir yang dua kali mempertemukan mereka dengan cara berbeda, tapi tidak menciptakan kisah perkenalan dalam dua pertemuan yang mereka lewatkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN