Setelah terjadi percekcokan semalam di rumah keluarga Vanila, dan Anya tiba – tiba datang kemudian membawa Vanila pergi dari rumahnya sendiri. Anya membawa Vanila menginap dirumahnya, selama diperjalanan Anya hanya diam, bahkan saat Vanila mengajaknya bicara gadis itu tidak kunjung memberikan jawaban. Saat tiba dirumahnya Anya juga hanya menyapa ibunya yang kebetulan membuka pintu kemudian masuk ke dalam kamar. Saat Vanila masuk, gadis itu masih tetap diam, sampai akhirnya setelah beberapa menit saling berdiaman Anya tiba – tiba menangis.
“Ada apa ?” tanya Vanila, dengan lembut setelah tangis Anya sudah mulai mereda.
“Lo tuh ya Van jadi temen jangan keras kepala, ngapain lo masih milih bertahan di rumah yang orang – orangnya gak pernah hargain elo, mereka jahat sama lo, ngapain ? lo mau bunuh diri lo secara perlahan di sana iya ?” tanya Anya, sambil menatap Vanila dengan tatapan kesal tapi air mata masih mengalir dari pelupuk matanya.
Vanila menatap Anya selama beberapa saat, kemudian dia langsung memeluk tubuh gadis yang sudah menjadi sahabatnya itu, “Makasih ya Nya, kamu emang sahabat terbaik aku, makasih karena selama tiga tahun kita kenal kamu selalu ada buat aku, kamu tuh selama ini kaya malaikat yang selalu hadir diwaktu yang tepat buat nolong aku” ujar Vanila, sambil memeluk Anya dengan erat.
“Tapi Nya, seburuk apapun perlakuan mereka sama aku mereka tetap keluarga aku, mereka adalah tempat aku pulang sejauh manapun aku pergi” lanjut Vanila, sambil membawa tangan Anya ke dalam genggaman tangannya setelah pelukan mereka terlepas.
Keluarga adalah tempatnya pulang, itulah hal yang selalu Vanila pegang dalam hidupnya selama ini, dan hal itu jugalah yang membuat Vanila mampu bertahan dirumah ayahnya walaupun Vanila lebih merasa seperti menumpang.
***
Keesokan harinya, selepas pulang sekolah Anya dengan segala upaya berusaha membujuk Vanila agar mau pulang ke rumahnya lagi, karena memang misi Anya adalah mengajak Vanila tinggal di rumahnya untuk selamanya, dia tidak pernah berharap Vanila pulang ke rumah kedua orang tuanya.
“Nya, aku harus pulang ke rumah ku, nanti mamah sama papah aku marah lagi gara - gara aku gak pulang” ujar Vanila, dengan wajah memelasnya karena dia sudah kehabisan cara untuk membujuk Anya agar tidak memaksa pulang ke rumahnya lagi.
Melihat wajah memelas Vanila, Anya hanya mampu menggela nafas. Saat itu, Anya sadar jika Vanila memang terlampau menyayangi keluarganya, dan Anya tidak bisa menyalahkan hal itu karena setiap anak pasti akan menyayangi keluarganya. Akhirnya, dengan berat hati Anya menganggukan kepala.
“Makasih Anya sayang” ujar Vanila, sambil mengecup pipi Anya dengan cepat kemudian berlari meninggalkannya sebelum gadis itu menjerit karena Vanila sudah mencuri satu kecupan dipipinya.
Setelah berlari dari Anya, Vanila langsung mencari angkutan umum. Dia berusaha secepat mungkin meninggalkan sekolah, karena jika dia sampai bertemu Anya lagi, Vanila yakin gadis itu pasti akan kembali memaksa untuk mengantarkannya pulang, dan Vanila tidak menginginkan hal itu terjadi, karena dia merasa sudah terlalu banyak merepotkan sahabatnya itu.
Saat bus datang, Vanila langsung naik. Hanya 30 menit waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan pulang dari sekolah ke rumah Vanila jika menggunakan angkutan umum.
Saat bus yang ditumpanginya sudah sampai ditempat biasa Vanila berhenti, dia lansung turun, tinggal beberapa langkah lagi dia akan segera sampai di rumah. Hatinya sedikit diliputi perasaan takut, dia membayangkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi saat dia sudah sampai dirumah. Matanya menatap bangunan rumah orang tuanya saat Vanila sudah sampai di depan gerbang. Kemudian, dengan mengucapkan bismillah Vanila memberanikan dirinya untuk masuk.
“Masih inget rumah, kenapa enggak selamanya aja kamu pergi dari sini ?”, Vanila menghentikan langkahnya saat dia mendengar suara yang sudah tidak asing lagi masuk ke dalam indra pendengarannya. Saat itu, Vanila hanya mampu berdiri tanpa melakukan pergerakan apapun, kepalanya menunduk tidak berani menoleh kearah sosok yang sedang berjalan mendekat kearahnya.
“Kenapa pulang ?!”, untuk yang kedua kalinya mamah Herma bertanya setelah posisinya berada didekat Vanila. “Jawab pertanyaan saya, kenapa kamu pulang ? kenapa kepala kamu nunduk ?” tanya mamah Herma, sambil mengangkat dagu Vanila sehingga wajah Vanila terangkat dan langsung menatap wajahnya.
“Karena ini rumah aku Mah” jawab Vanila, dengan suara yang terdengar ketakutan.
“Rumah kamu ?” ujar mamah Herma, sambil tersenyum sinis dan menghempaskan pipi Vanila yang sempat dia cengkram dengan keras.
“Asal kamu tahu Vanila, kamu ada di sini itu cuma numpang, dan nanti akan ada saatnya kamu benar – benar ditendang”, mamah Herma kembali mencengkram kedua pipi Vanila dengan keras. “Jadi, selama kamu masih diizinkan tinggal di sini, lakukan apapun yang tuan rumah ini pinta, dan jika kamu membantahnya sekali saja maka kamu akan tahu akibatnya” ujar mamah Herma, sambil mendorong Vanila hingga gadis itu terjatuh.
“Kamu tahu, semalam kamu pergi dari rumah ini berarti kamu sudah melakukan kesalahan ?”, Mamah Herma berjongkok mensejajarkan posisi tubuhnya dengan Vanila yang saat itu masih terduduk dilantai. “Abi, gara – gara kamu semua nilainya berantakan, apa gunanya otak kamu cerdas kalau adik kamu sendiri nilainya jelek begitu, mau niat sombong kamu, iya ?!” lanjut mamah Herma, sambil menoyor kepala Vanila dengan keras.
Tidak ada yang Vanila lakukan, gadis itu hanya diam dengan tetasan air mata yang sudah jatuh di pelupuk matanya, hatinya sakit saat kata kamu ada disini itu cuma numpang terus terngian – ngian ditelinganya. Dia tidak menyangka jika dia benar – benar dianggap orang asing yang menumpang tinggal dirumah ayah kandungnya sendiri.
“Kenapa kamu nangis ? asal kamu tahu, gara – gara kamu nginep Abi sampai dihukum karena kamu gak ngerjain tugasnya, kamu jadi kakak ko gitu banget, Abituh udah cape sekolah masa kamu dimintain tolong ngerjain tugas aja enggak bisa, kakak macam apa kamu ?” ujar mamah Herma, sambil menatap Vanila dari posisi yang sangat dekat.
“Kenapa kamu nangis ?!!” tanya mamah Herma, berhasil membuat Vanila kaget.
“Ayo bangun sini kamu, kamu juga harus dapet hukuman karena udah bikin Abi dihukum juga disekolahnya” ujar mamah Herma, sambil menyeret tubuh Vanila menuju dapur,
Saat itu, perasaan Vanila sudah diliputi perasaan tidak enak dan takut. Dia takut dengan hal yang akan dilakukan mamah Herma kepadanya. Sampai akhirnya mereka benar – benar tiba didapur, selama beberapa saat mamah Herma hanya diam sambil menatap Vanila dengan tatapan yang sulit untuk di definisikan.
“Aaaaaaaaaaaaaaa, panas Mah, ampun panas Mah” teriak Vanila, saat tangannya tiba – tiba dimasukan ke dalam air panas dan sepertinya baru saja selesai dipanaskan.
Tangis Vanila yang semula sudah mereda, kembali tumpah saat rasa sakit bercampur panas dia rasakan, kemudian mmamah Herma menghempaskan tangan Vanila begitu saja saat tangan Vanila sudah dikeluarkan dari air panas. Perempuan itu, hanya tersenyum puas saat dia melihat Vanila terlihat sangat kesakitan.
“Panas ?”, tanyanya sambil tersenyum puas. “Biar dingin, sekalian biar kamu mikir dan otak kamu kebuka kamu memang perlu dikasih yang dingin biar sensasinya jadi lebih sejuk, sini kamu !!” ujar mamah Herma, sambil menarik Vanila kemudian mendorongnya masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dapur.
Byurrrr….
Mamah Herma mengguyur tubuh Vanila lengkap dengan seragam yang masih dia gunakan, tidak ada yang bisa Vanila lakukan saat itu selain diam.
“Mamah, Mamah mau kemana ? tunggu Mah jangan kunci aku di sini” ujar Vanila, saat Mamah Herma tiba – tiba keluar dan mengunci Vanila di dalam kamar mandi.
“Itu hubungan yang pas buat kamu karena udah terlalu banyak bertingkah, hukuman ini pelajaran biar kamu kapok kalau berani melawan saya” ujar mamah Herma, setelah dia menggunci pintu kamar mandi dari luar.
Setelah itu, mamah Herma pergi, dia tidak lagi mempedulikan Vanila yang menggedor – gedor pintu kamar mandi. Berharap ibu tirinya bisa luluh dan membukakan pintu untuknya. Namun, beberapa jam Vanila menunggu, pintu tetap tidak dibuka.
“Mamah, bukain pintunya Mah” ujar Vanila, dengan suaranya yang sudah terdengar lemah karena tenaganya habis dia gunakan untuk menangis dan menggedor pintu.
“Mah itu apa yang gedor – gedor” tanya Papah Danu, yang kebetulan baru saja pulang bekerja.
“Vanila Pah, aku kurung dia dikamar mandi sebagai hukuman karena dia kabur dari rumah semalam” ujar mamah Herma, sambil mengambil alih tas kerja suaminya.
Papah Danu hanya mengangguk – anggukan kepala sambil mengendorkan tali dasinya. Matanya melirik kearah dapur sekilas lalu melanjutkan langkahnya diikuti mamah Herma yang selalu setia menggandengnya.
“Oh, mungkin dia memang harus digituin biar kapok” ujar papah Danu, sambil menaiki anak tangga.
***
“Mamah buka pintunya, aku kedinginan Mah” ujar Vanila, dengan suaranya yang sudah terdengar sangat lemah.
Tubuhnya menggigil kedinginan, tapi suhu tubunya terasa panas, Vanila tahu pasti saat itu dia sudah terserang demam. Jadi, sebisa mungkin Vanila berharap bisa segera keluar dari kamar mandi agar bisa segera pergi kesekolah dan meminum obat dari UKS.
“Mamah buka Mah, aku harus sekolah” ujar Vanila, sambil memeluk lututnya sendiri dengan tubuh yang sudah menggigil kedinginan.
Tepat setelah Vanila bicara, tiba – tiba pintu terbuka, dan diambang pintu berdiri sosok mamah Herma yang sedang menatapnya dengan tatapan tajam.
“Siapin sarapan, abis itu kamu baru boleh berangkat” ujar mamah Herma, dengan wajahnya yang terlihat tidak bersahabat.
Vanila hanya menganggukan kepalanya dengan lemah, kemudian dia segera menyiapkan sarapan dengan sisa tenaga yang dia miliki. Saat itu, Vanila memilih menyiapkan roti, agar lebih sederhana. Kemudian, setelah itu Vanila memutuskan untuk mandi dan menggunakan seragam yang semalam dia gunakan, dan saat itu masih dalam keadaan setengah karing karena memang dia hanya memiliki satu seragam, kemudian setelah itu dia berangkat sekolah.
Namun, belum sampai sekolah, bahkan saat itu dia baru sampai dihalte terdekat dengan rumahnya, Vanila tiba – tiba merasa tubuhnya terasa sangat lemas, kepalanya sakit dan terasa berat.
“Kalau sakit itu istirahat, jangan so kuat,” Vanila menoleh saat merasakan pundaknya dipegang sepasang tangan yang Vanila sendiri tidak tahu milik siapa, saat itu Vanila terlalu pusing untuk melihat siapakah orang yang baru saja bicara kepadanya itu.
“Lagian, kemarin udah bikin orang luka dan sakit, sekarang kenapa malah jadi kamu yang sakit,” saat itu Vanila tidak bisa melihat siapa orang yang sejak tadi mengajaknya bicara karena tatapannya sudah terlihat sangat buram.
“Eh … eh… pingsan,” hanya itu suara yang mampu Vanila dengan sebelum matanya benar – benar tertutup rapat.