Kena Semprot

1042 Kata
Navia berusaha tiba secepat mungkin di kampusnya. Mata pelajaran yang diajarkan oleh Pak Jordi termasuk kategori terpenting dalam penentuan nilainya. Ia jelas tidak ingin melewatkannya begitu saja. Tempt tinggal Hiro yang lumayan jauh dari kampusnya membuat keterlambatan Navia semakin parah, belum lagi ia harus mengikuti aplikasi google maps untuk menemukan jalan keluar dari kompleks perumahan yang ditempati oleh Hiro. Setibanya di kampus, Navia segera berlari agar dapat mengikuti kelas Pak Jordi. Nafasnya tersengal-sengal karena harus menaiki tangga manual yang menghubungkan lantai dasar dengan lantai dua, tempat kelasnya berada. "Permisi, maaf Pak, saya terlambat." Navia membuka perlahan pintu kelasnya dan melangkah ragu, apalagi setelah melihat Pak Jordi yang tengah menatapnya dengan tatapan setajam tatapan elang. "Bagaimana bisa terlambat?! Bukankah jarak rumahmu dengan kampus ini dekat? Beno saja yang tetangga kamu tidak terlambat, kamu sengaja terlambat supaya tidak ikut kelas saya?!" semprot Pak Jordi, membuat nyali Navia menciut. "Bu-bukan begitu, sekarang saya tidak tinggal di rumah saya, saya tinggal di rumah tu... maksud saya Tante, yang sedikit jauh jaraknya dari kampus." jawab gadis itu pelan. Ia sangat berharap dosennya itu tidak murka dan mau menerima alasan yang ia berikan. "Kalau sudah tahu jauh, usaha dong. Bangun lebih pagi, datang lebih pagi. Bukannya malah santai dan menjadikan alasan jarak tempuh supaya telat mengikuti kelas saya. Memangnya di kelas ini hanya kamu yang tempat tinggalnya jauh?!" omel Pak Jordi, dosen yang masih jomblo di usianya yang menginjak kepala empat itu memang selalu menyulitkan mahasiswa yang membuat masalah saat jam pelajarannya. "Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Saya salah." Navia tidak ada pilihan selain mengalah dan mengakui kesalahannya. "Kamu memang salah, bagus kalau kamu menyadarinya. Sekarang kamu ke perpustakaan, cari buku yang berhubungan dengan materi saya hari ini, rangkum dengan tulis tangan yang rapi, setelah jam pelajaran saya selesai, segera serahkan hasil rangkuman kamu." perintah Pak Jordi dengan tegas. Navia hanya pasrah, menerima hukumannya tanpa protes. "Baik, Pak." Navia melangkah gontai keluar dari kelasnya. Menuruni tangga dengan malas. Setelah lelah berlarian, kini ia harus berjalan ke perpustakaan kampus yang letaknya lumayan jauh dari kelasnya. Navia merasa hari ini nasib baik tidak berpihak padanya. Gadis itu mendengar derap langkah di belakangnya dan hal itu sukses membuat Navia menengok. Gadis itu melihat Gilang, seniornya juga berjalan santai dengan arah yang tampaknya sama dengannya. "Navia, mau kemana?" tanya Gilang dengan ramah. Mereka berdua saling kenal karena sempat beberapa kali bertemu. "Ke perpustakaan, Kak Gilang. Kakak sendiri akan pergi kemana?" Navia balik bertanya pada cowok yang kini berjalan beriringan dengannya. "Sama, aku juga mau ke perpustakaan." jawabnya pelan seraya tersenyum. Seniornya itu memang cukup menggoda, tampilannya selalu manis dan dekat dengan siapapun. Orangnya sangat supel dan ramah, sehingga ia di kenal oleh hampir seluruh mahasiswa yang ada di kampus Navia. "Aku juga ke perpustakaan. Sambil menunggu jam masuk, aku bekerja paruh waktu di sana. Sekarang bukannya kamu ada kelas, mengapa kamu justru pergi ke perpustakaan?" tanya cowok itu lagi sambil terus berjalan dan menatap lurus ke depan. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. "Aku terlambat mengikuti kelas Pak Jordi dan di hukum untuk merangkum materi yang berhubungan dengan pelajaran yang ia ajarkan hari ini." Navia memberikan keterangan mengapa ia ke perpustakaan kampus di saat jam pelajaran seperti saat ini. "Pak Jordi memang kejam. Lain kali, kamu jangan sampai membuat masalah saat kelasnya di mulai." pernyataan Gilang seolah membenarkan apa yang ada di benak Navia saat ini. Pak Jordi memang dosen terkejam yang ada di kampusnya. "Sialnya aku hari ini lupa kalau ada mata pelajaran yang di ajarkan oleh Pak Jordi hari ini. Memangnya Kak gilang pernah di hukum juga oleh Pak Jordi?" Navia melirik sekilas, memandang wajah tampan yang sempat memikat hatinya beberapa waktu lalu, sebelum ia tahu kalau Gilang memiliki seorang kekasih. "Pernah beberapa kali. Bahkan, terkadang hanya karena masalah sepele. Tidak sengaja menjatuhkan pena saja di anggap tidak serius mengikuti pelajarannya, benar-benar..." Gilang tersenyum geli saat mengingat kembali bagaimana ia di hukum oleh Pak Jordi. "Mungkin karena terlalu lama jomblo, jadi Pak Jordi sedikit sensi." Navia tertawa kecil saat mengolok Pak Jordi, dosen yang menurutnya sedikit konyol. "Nah, bisa jadi. Sepertinya kita harus mencarikannya jodoh supaya terhindar dari omelannya, haha." imbuh Gilang sambil ikut tertawa. "Ide bagus, tuh kak. Kira-kira, siapa ya, yang cocok untuk mendampingi Pak Jordi?" Navia tampak berpikir. "Untuk sekarang aku belum menemukan yang cocok. Di kampus ini yang mendekati usia Pak Jordi, Bu Retno, tetapi mereka tidak pernah akur. Setiap hari selalu saja ada yang di perdebatkan." celoteh Gilang sedikit panjang. "Kok Kakak bisa tahu, Pak Jordi dan Bu Retno selalu berantem? Jangan-jangan Kak Gilang suka memata-matai mereka, ya?" tuduh Navia, kemudian ia tertawa setelahnya. "Dih, buat apa memata-matai mereka. Memangnya aku ini ada tampang detektif? Aku hanya pernah memergoki mereka beberapa kali terlibat adu mulut." Gilang memberikan pembelaan atas dirinya, agar Navia percaya ia mengetahui kebenaran tentang kedua dosen yang selalu menjadi trending topik itu. "Kakak bukan detektif, tetapi hanya seorang netizen jahil yang menguntit mereka berdua. Iya kan? Hayo ngaku..." goda Navia, membuat cowok tersebut tidak bisa menahan senyuman manisnya yang membuat Navia terpesona. "Ya ampun, Kak. Please, jangan lama-lama senyumnya, Itu lesung pipimu menggodaku untuk menyentuhnya." Batin Navia sedikit nakal. "Mana ada. Kalau aku niat jadi penguntit, mendingan aku nguntit kamu aja." ledekan Gilang sukses membuat pipi Navia sedikit memerah. "Jangan nguntit aku, Kak. Bahaya, nanti pacar kakak marah. Aku bisa diterkam sama dia." Navia teringat kembali kejadian di lapangan basket. Saat itu, tanpa sengaja ada sebuah bola yang melayang dan hampir mengenai Navia, untung ada Gilang yang menangkap bola basket tersebut. Meskipun beberapa saat kemudian datang seorang cewek yang merangkul tangan Gilang sambil mengajaknya berlalu tanpa peduli pada keadaan sekitar. "Pacarku sudah tidak seperti dulu, kok. Sekarang dia lebih sabar dan pengertian. Dia juga memberikan aku kebebasan. Tidak terlalu mengekang ku lagi." curhat Gilang, mengundang perhatian Navia. "Bagus, Kak. Lagipula, dia belum berhak untuk mengekang kakak. Kalian kan hanya baru berpacaran. Terlalu posesif itu tidak baik efeknya untuk hubungan." Navia mendadak bijak. Padahal dirinya termasuk golongan orang yang belum mengerti apa itu pacaran. Masih sangat polos. "Benar, pelan-pelan aku memberinya nasihat, akhirnya sekarang hatinya lebih lunak." cerita Gilang lagi. Mereka terus saling bercerita, sampai akhirnya mereka tiba di perpustakaan kampus. Navia segera tenggelam dalam tugasnya di sana, sementara Gilang telah disibukkan dengan mengecek letak-letak buku yang tidak pada tempatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN