Kekhawatiran Seorang Ayah

1143 Kata
Sesuai dengan permintaan Herman, Hiro menemui ayah dari tunangannya itu di sebuah kafe yang telah di tentukan oleh Herman sendiri. Setelah mendadak melamarnya untuk Navia, entah apa lagi yang akan dibicarakan pria itu padanya. Herman tengah duduk di sebuah kursi pelanggan sambil menikmati secangkir kopi hitam kesukaannya. Hiro yang masih memakai jas khas kantoran berjalan dengan langkah panjang agar segera sampai ke tempat dimana Herman berada. Para gadis yang sedang mengunjungi kafe itu saling berbisik perlahan, membicarakan ketampanan Hiro yang bisa di bilang di atas rata-rata. Pria itu hanya bisa bersikap acuh dan seolah tidak mendengar apa yang menjadi perbincangan mereka. Baginya, tidak ada gadis lain selain Navia yang pantas untuk mendapat perhatiannya. "Hiro, silahkan duduk." Herman menyambut ramah kehadiran Hiro. "Om Herman, apa kabar? Sepertinya Om tampak lebih bahagia di bandingkan kemarin malam." Hiro tersenyum lebar, mengomentari suasana hati calon mertuanya. "Kamu benar, setelah mengantarkan Navia ke rumahmu, aku sedikit lebih tenang. Aku percaya kamu bisa menjaganya dengan baik. Bagaimana keadaannya? Apakah putriku baik-baik saja?" Herman menatap Hiro dengan tatapan tak biasa. Lelaki ity tahu, pria paruh baya yang ada di sisinya itu sedang merindukan Navia, Putri kesayangannya. "Navia baik-baik saja, Om. Meskipun dia sedikit syok karena menjadi tunanganku, akhirnya aku dapat memenangkan hatinya. Aku berjanji pada Om, akan menjaga Navia sebaik-baiknya." ucapnya tulus. Hiro tidak akan membiarkan calon istrinya itu dalam bahaya. "Terima kasih, Hiro. Aku berharap banyak padamu, tolong jangan kamu kecewakan aku." Herman memegang erat tangan Hiro, ia seperti sedang menyerahkan beban yang berat pada pemuda yang ada di sampingnya. "Om, Navia sangat berarti buatku. Tanpa Om minta, aku akan menjaganya, apalagi saat ini Om mempercayaiku, tentu saja aku tidak akan mengecewakan Om." ujar Hiro dengan suara sedikit bergetar. Dia sangat paham, dalam sebuah kalimat yang ia ucapkan, ada tanggung jawab besar yang harus dia pikul. "Terima kasih. Tentang pernikahan kalian, aku sedang mempersiapkannya, dua minggu lagi, kalian akan melangsungkan pernikahan." Herman menyeruput kopi yang ada di cangkirnya, sorot matanya berubah menjadi kekecewaan. Hiro paham, apa yang sedang dirasakan oleh pria itu. "Aku tahu, Om melakukan ini semua agar Navia tidak mengikuti jejak Tante Diana. Om selalu berusaha keras agar dapat melakukan yang terbaik untuk dia. Kalau Om masih berat melepaskan Navia, tidak apa jika pernikahan kami di tunda dulu." Itu yang dapat Hiro tangkap, Herman masih belum siap melepaskan putrinya, putri kesayangannya. "Tidak. Aku takut, Navia akan salah jalan jika terus di biarkan sendiri. Gadisku itu sangat polos Hiro, aku takut dia termakan godaan laki-laki. Bagaimanapun, aku tidak bisa menyangkalnya lagi, gadis kecilku yang mungil telah tumbuh dewasa sekarang." mata Herman tampak berkaca-kaca. Pria itu berada di dalam sebuah dilema, terus mendekap putrinya dalam kekhawatiran atau melepas putrinya dengan kesedihan, sedih karena harus berjauhan. "Sebenarnya, Navia gadis yang baik, Om. Dia tidak akan bertingkah macam-macam. Melihat om sedih seperti ini, rasanya aku ingin mengembalikan Navia ke sisi Om lagi." Hiro mencoba memberikan sindiran kecil pada Herman. "Apa yang kamu katakan? Berani kamu mengembalikan putriku, aku akan menendang bokongmu sampai ke Afrika, haha." Herman tertawa kecil untuk menutupi kesedihannya. Rasanya cukup sulit untuk berjauhan dari Navia, bahkan saat ini mereka baru berpisah beberapa jam. "Ampun, Om. Aku tidak ingin bertemu badak, haha. Tentu saja aku tidak akan pernah mengembalikan Navia pada Om, karena dia akan menjadi istri kesayanganku." Hiro seakan memberikan jaminan pada Herman kalau anaknya akan bahagia hidup bersamanya. *** "Navia, kamu kemana aja, sampai telat jam pelajaran Pak Jordi? Kamu kan selama ini tidak pernah berulah saat ada mata kuliah dari dosen mengesalkan itu." cecar Delia saat mereka berdua berada di kantin kampus. "Kamu tidak tahu bagaimana aku syok tadi pagi. Kalau aku ceritakan ini, aku yakin, kamu juga akan terkejut." Navia yakin, sahabatnya itu juga akan bereaksi sama seperti dirinya saat mengalami kejadian yang seperti ia alami sekarang. "Memangnya tadi pagi ada apa? Kamu tiba-tiba melihat kucing bisa bicara? hihi." Delia menganggap apa yang akan Navia sampaikan sebagai lelucon. "Aku serius, Delia. Aku baru saja di tunangkan dengan seorang pria yang usianya sepuluh tahun lebih tua dari aku dan sekarang kami tinggal bersama." Delia menghentikan acara makannya saat mendengar penuturan Navia, gadis itu menatap kedua bola mata sahabatnya dengan seksama. "Hah! Seriusan? Kok kamu mau aja sih, ditunangkan sama cowok dewasa? Lagian kamu ngapain, pasrah saja dan mau tinggal bersama dengan dia?" Delia terus memberondong Navia dengan pertanyaan-pertanyaan. "Cih! Siapa yang menginginkan perjodohan ini?! Lagipula, aku juga tidak mau tinggal bersamanya, tapi bagaimana aku bisa menolak, saat aku bangun, aku sudah berada di kamar asing dengan seluruh barang-barangku yang sudah ada di kamar itu. Aku seperti dibuang oleh ayahku. Hiks.. hiks.." Navia bergelayut manja pada lengan sahabatnya itu. "Tega sekali ayahmu, ululu... kasihan sahabatku ini. Puk...puk sayang. Eh, aku punya ide, bagaimana kalau kamu kabur saja ke tempat kosku?" Dona menatap Bella dengan sorot mata berbinar, berharap sahabatnya itu sepemikiran dengannya. "Tidak. Aku tidak mau menambah masalah baru. Kamu tahu sendiri, ayahku galak dan suka mengamuk. Kalau aku berani kabur dari rumah tunanganku, dia akan marah besar." Navia tampak kecewa dan takut. Sebagai sahabat Navia, Delia sudah sering mendengar bagaimana perangai ayah sahabatnya itu. "Aku paham. Baiklah, sudah jangan bahas itu lagi, sekarang mari kita bahas, seperti apa calon suamimu itu? Apakah dia sangat tampan?" Delia tampak antusias saat membahas calon suami Navia, berbeda dengannya, gadis itu tampak biasa saja. "Lumayan. Dia seorang pengusaha, mungkin CEO, dan cukup kaya." jawab Navia santai. "Apa?! Pengusaha? kaya? Wah, kamu benar-benar beruntung, Bella. Sepertinya kamu harus berterima kasih pada ayahmu karena telah menjodohkanmu dengannya." Delia tampak kegirangan mendengar keterangan Navia tentang calon suaminya. Gadis itu hanya menggeleng heran melihat reaksi Delia yang menurutnya berlebihan. "Setidaknya dia menjanjikan kebebasan kalau aku mau menikah dengannya. Aku harap dia tidak mengingkari itu." Navia kembali melahap makanan yang ada dihadapannya. "Aku dukung seribu persen kamu menikah dengannya, aku yakin calon suamimu itu pria terbaik di seluruh dunia. Oh Tuhan, sisakan untukku satu, lelaki yang seperti dia..." Delia bertingkah konyol, membuat Navia tertawa. "Kamu bahkan belum pernah bertemu dengannya, bagaimana kamu bisa tahu dia pria yang baik? Kamu tahu kan Delia, kata orang-orang, hidup tak seindah drama Korea. Aku saja tidak begitu yakin, bisa saja dia hanya baik padaku di awal lalu jahat kemudian." ujar Navia pesimis. Dalam bayangannya, hanya Bram lelaki terbaik di dalam hidupnya. Miko juga baik. Dia rindu pria itu. Navia ingin sekali bertemu dengan Miko. Sayang sekali, dia tidak akan mungkin bisa bertemu dengan lelaki itu lagi. Dia juga tidak lupa pada Rendi yang juga baik. Bella beranggapan, selain mereka, semua pria sama seperti ayahnya, galak dan suka mengekang. "Bagaimana kamu bisa tahu kalau belum mencoba? Kapan-kapan, ajak aku ke rumah kalian, ya. Aku mau lihat, setampan apa calon suamimu itu. Siapa tahu dia kecantol denganku." celoteh Delia, masuk ke alam bawah sadarnya. "Asal kamu tahu, dia hanya mau menikah denganku." Navia tersenyum jahil. "Uhuk, tadi katanya nggak mau, tetapi nyatanya ptotektif juga." sindir Delia halus, Navia hanya tersenyum simpul.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN