Hai, Aku Tunanganmu!

1010 Kata
Jam Pulang kerja. Navia menunggu angkot tidak jauh dari resto Rendi, awalnya dia yang ingin mengantarkan gadis itu pulang, tapi karena sikap pegawainya yang tidak suka dengan kedekatan Rendi dengan Navia, gadis itu memilih untuk pulang sendiri. Dari tatapan mereka, Navia sudah paham kalau mereka tidak menyukai dirinya. Mungkin di antara mereka ada yang menaruh hati pada Rendi, Navia juga tidak paham. Jelasnya, apa yang mereka tunjukkan itu membuat Navia tidak nyaman. Tiba-tiba dari belakang ada yang membekap gadis itu. Navia sangat yakin mereka anak buah papanya. Dia tidak tahu apa yang terjadi karena setelah itu dia tidak sadarkan diri karena efek obat bius yang dia hirup melalui sapu tangan yang digunakan untuk membekapnya. "Ini kamar siapa?" gumam Navia pelan sambil mengamati ornamen kamar yang tampak sangat asing baginya. Jelas-jelas, ini bukan kamar miliknya. Kamar cantik dengan pernak pernik berbau BT 21, kartun karakter dari boy grup kesayangannya, BTS itu tidak dapat ia temui lagi pagi ini. Gadis cantik itu mencoba mengingat-ingat lagi, apa yang terjadi. Dia dibekap oleh seseorang yang tidak dia ketahui siapa dan kesadaran yang dia miliki seketika menghilang. Dia benar-benar tidak tahu tentang apa yang terjadi setelah itu. Navia mencoba untuk bangkit dari tempat tidur. Menyingkirkan selimut yang membalut tubuhnya dan segera turun dari ranjang. Dia harus mendapatkan jawaban dari semua ini. Satu hal yang dia yakini, sekarang gadis itu tidak berada di rumahnya. Dia berada di rumah orang lain. Dengan langkah pasti, Navia berjalan menuju pintu. Dipandang dari arah manapun, gadis itu tampak seperti model. Tingginya mencapai 168 cm, dengan badan langsing tapi berisi di beberapa aset. Wajahnya juga cantik, di hiasi mata indah, hidung mancung dan juga bibir yang selalu tampak memikat dengan warna kemerahan alami. Navia menuruni tangga dengan kaki telanjangnya. Tentu saja ia masih memakai baju tidur. Matanya mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan yang mampu di gapai oleh jarak pandangnya. Dia berharap menemukan seseorang untuk bertanya, apakah ini sebuah mimpi atau memang nyata. Rumah itu benar-benar sunyi. Tidak ada suara apapun yang dapat dia dengar. Gadis itu mulai sedikit ketakutan. Ia mulai menerka-nerka, mungkin saat ini ia tengah di sekap di sebuah tempat yang jauh dari peradaban. Tapi siapa yang berani menculiknya? Samar-samar Navia mendengar suara dentingan piring dan sendok. Seperti ada yang tengah sarapan. Dengan bersemangat, dia segera mempercepat langkahnya setelah anak tangga terakhir selesai ia lalui. Perlahan ia melangkah mengikuti sumber suara yang ia dengar. Ada seorang pria yang tengah menikmati sarapannya dengan posisi membelakangi Navia. Gadis itu mengira, kalau lelaki itulah yang telah menculiknya. Navia juga berpikir, pasti pria itu tengah merencanakan sesuatu untuk mencelakainya. Navia terus berjalan mendekat. Kakinya sedikit gemetar karena ketakutan. Ia bahkan tidak memegang apapun. Kalau sampai pria itu menyerangnya, tamatlah sudah riwayat gadis yang beberapa kali memenangkan kontes kecantikan di kampusnya itu. "Sudah bangun? Duduk dan sarapan." tegur pria itu tanpa memandang ke arah Navia. Suaranya cukup indah, meski nadanya dingin. Navia yang sempat menghentikan langkahnya, kemudian menuruti apa kata pria itu. Ia menarik kursi yang ada di hadapan lelaki itu dan duduk. Navia tidak berani memandang ke arah pria yang ada di hadapannya. Bagaimana kalau ternyata, orang yang ada di hadapannya sangat menyeramkan? pertanyaan-pertanyaam itu menghinggapi pikirannya. "Makanlah. Jangan sungkan. Namaku Hiro. Aku adalah tunanganmu. Mulai sekarang kamu harus tinggal bersamaku." penjelasan pria yang menyebut dirinya bernama Hiro itu membuat Navia terbelalak. Ia menatap tidak senang ke arah lelaki itu. Navia mengakui, Hiro sangat tampan. Ia tampak maskulin dengan kemejanya, kacamatanya bertengger di pangkal hidungnya yang mancung menambah daya tarik pria yang tampak berpakaian rapi khas pegawai kantoran itu. Bukan masalah tampilannya, yang Navia permasalahkan sekarang adalah pengakuan Hiro. Tunangan? Omong kosong macam apa itu? "Tunangan? Kapan kita bertunangan? Umurku masih dua puluh tiga tahun, belum lulus kuliah, aku belum bertunangan dengan siapapun. Mana mungkin aku memiliki tunangan om-om sepertimu!" Navia setengah berteriak. Gadis itu berkacak pinggang karena kesal sambil menuding pria di hadapannya. Hiro tetap makan dengan tenang, seolah tidak sedang terjadi apapun. Setelah makanan yang ada di piringnya habis, pria itu mengelap bibirnya dengan tisu perlahan, barulah menatap Navia sambil menggunakan kedua punggung tangannya sebagai tumpuan dagunya sendiri. "Kamu mau aku menjawab yang mana dulu? Maaf, ingatanku kurang bagus, jadi tolong ulangi pertanyaanmu satu per satu dari awal." katanya tenang, tidak goyah sedikitpun. Pernyataan Hiro membuat Navia kesal. Ia merasa pria itu sengaja mempermainkannya. Bagaimana bisa pertanyaannya yang singkat-singkat itu membuat ingatan Hiro kacau. "Kapan kita tunangan?" tanya Navia dengan nada ketus. "Semalam. Papamu langsung yang datang melamarkanku untuk jadi suamimu." jawab Hiro santai. "What?! bagaimana aku bisa percaya kata-katamu?" tanyanya lagi, lebih tepatnya Navia sedang menaruh curiga pada Hiro. Bisa jadi, orang ini merupakan orang yang dijodohkan dengannya. Walau tidak terlalu tua, tetap saja lelaki itu tampak jauh lebih dewasa dibanding dirinya. "Aku berkata apa adanya. Hakmu untuk tidak percaya." sahutnya lagi, tetap tenang tanpa rasa terganggu. "Berapa usiamu?" "Tiga puluh tiga tahun." "Apa! Kau benar-benar om-om? Aku sungguh tak percaya ini. Bagaimana mungkin ayahku memilihmu untuk jadi suamiku?" Navia tampak syok. Gadis sepertinya yang bahkan belum menginjak dua puluh lima tahun harus menghadapi kenyataan bahwa calon suaminya sepuluh tahun lebih tua darinya. "Apa perlu aku telpon Om Herman supaya kamu percaya?" pria itu mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya lalu ia tampak mencari kontak seseorang dengan cepat. "Stop! tidak perlu. Aku tidak ingin berdebat dengan Ayahku. Aku sudah sering berdebat panjang dengannya. Kalau pagi ini aku berdebat lagi, bisa-bisa mulutku berbusa. Aku bosan terus mengulang hal yang sama dengan dia. Yah! Dia memang tidak seperti seorang papa yang aku inginkan. Buktinya, aku sudah menolak untuk dijodohkan denganmu dan dia tetap melakukannya. Aku benci semua ini!" Navia kembali duduk. Bukan mengalah, tetapi ia sudah tidak tahu harus berkata apa. Ia teringat perdebatannya dengan ayahnya terus saja terjadi. Dia lelah dalam keadaan ini. Setelah pelarian panjang, bertemu dengan Miko dan Rendi, sekarang nasib Navia tetap berada di tangan orang yang tidak diharapkan. Lelaki dengan usia sepuluh tahun lebih tua. Sialan! Ingin rasanya Navia mengumpat pada lelaki yang tidak lain ayahnya sendiri, tetapi di sisi yang lain ... Navia juga mencintai ayahnya. Sungguh pilihan yang sulit. Haruskah dia patuh dan menjalani perjodohan ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN