Lonely

1475 Kata
Erlangga mengusap wajahnya kasar dengan masih berdiri di bawah derasnya hujan dengan mengerjapkan matanya karena tetesan air hujan yang mengenai wajahnya. Pemuda jangkung itu memandang tidak percaya ke arah gadis berkuncir yang terlihat menahan geramnya sedari  tadi. "Jangan bertindak  bodoh, agama bukan hal yang bisa lo jadikan candaan." Kata Angga membuat Erisa mengangkat wajah menatapnya, "dan jangan pernah mengambil keputusan disaat lo emosi begini. Nantinya elo yang nyesal  sendiri, apalagi mualaf? Elo benar-benar gila kalau ninggalin agama lo cuma karena seseorang," ujar Angga masih menatap Erisa dengan mengeraskan rahangnya. "Apalagi sama orang yang peduli aja gak sama lo, suka boleh tapi g****k jangan." tambah pemuda itu tegas membuat Erisa terdiam dengan d**a naik turun masih berusaha menetralkan nafasnya. "Cuma itu satu-satunya cara biar gue bisa sama-sama dia kan?" Erlangga tersenyum miring, merasa tidak habis pikir dengan gadis di hadapannya ini yang masih saja keras kepala. "Emang lo beneran siap jadi mualaf?" mendengar itu Erisa terdiam dengan mengerjapkan matanya sayu. "Lihat kan? Elo sendiri aja ragu sama pilihan lo." Kata Angga lalu menghela panjang sembari mendekat dan menarik lengan gadis itu agar pergi dari sana. "Gue antarin pulang," Erisa masih melangkah dengan terseok pasrah ditarik  cowok jangkung di depannya ini yang terlihat marah besar karena omongannya tadi. Ucapan Erlangga memang benar adanya, lagipula  Erisa belum pernah kepikiran untuk meninggalkan agamanya. Gadis itu lebih memilih tuhannya daripada Syahir. Meskipun Syahir masih membuat ia berpikiran pendek seperti tadi.  Namun, apapun yang terjadi Erisa tidak akan pernah meninggalkan agamanya. Erlangga melepaskan tangannya dari lengan Erisa lalu menaiki motor besarnya. Cowok itu masih menutup mulutnya rapat membuat Erisa mengulum bibirnya ke dalam. Seumur-umur ini pertama kalinya ia melihat Erlangga membentaknya  dengan ekspresi yang berbeda dari biasanya. Erisa baru paham sekarang, kalau Erlangga memang orang yang paling peduli padanya. "Naik," ujar Angga dingin tanpa menoleh lagi ke arah Erisa yang perlahan menaiki motor dengan menggigil kedinginan. Keduanya pun melaju pergi dnegan motor besar Angga menuju tempat tinggal  Erisa. Kedua remaja itu sama-sama terdiam dengan pikiran melangnangbuana, terlalu lelah dengan kejadian hari ini.  _______ Pemuda itu terlihat turun dari kendaraannya dengan menyampirkan helm miliknya pada spion motornya. Dengan melangkah pelan, ia pun memasuki halaman rumahnya dengan menyempatkan membuka jaketnya yang masih basah karena hujan deras. Cowok itu pun membuka pintu rumah dan masuk begitu saja membuat beberapa orang yang duduk di ruang tamu menoleh ke arahnya dengan raut kebingungan. "Erlangga, kenapa kamu basah-basahan begini?" tutur seorang wanita anggun itu dengan mendekat dan berusaha mengusap bekas air hujan pada wajah remaja itu. Namun, pemuda yang tidak lain adalah Erlangga itu sontak menepis dengan menatap wanita itu dingin. "Jadi ini Erlangga yang dulu masih sekecil ini ya?" tanya teman-teman mamanya membuat Erlangga mengangguk ramah saja dan melangkah pergi dari sana. Mamanya sontak mengekori dengan sedikit mengangkat gaun mahalnya membuat Erlangga menghentikan langkahnya. "Gak usah peduliin aku," tukasnya dingin dengan masih memegang jaket basah di tangannya, "gak usah bertingkah seakan anda adalah mama aku," tambah pemuda itu dingin lalu masuk saja ke dalam kamarnya dengan membanting pintunya kasar. Wanita yang masih berdiri di depan pintu kamarnya diam-diam menghela panjang, berusaha tersneyum saja mendengar ucapan pedas dari anaknya itu. Erlangga melempar jaketnya ke sembarang tempat lalu berjalan lesu ke arah kamar mandinya. Pemuda itu mengepalkan tangannya erat dengan menatap pantulan dirinya pada cermin. Wajah pucatnya dengan rambut basahnya membuat ia terlihat lebih kacau dari biasanya. Erlangga merunduk dalam dengan rahang yang semakin mengeras. Sudah terlalu muak berada satu atap dengan orang yang mengaku-ngaku sebagai mamanya. Walau kenyataannya wanita tadi adalah mama kandungnya. Namun, Erlangga tidak pernah mau menerima wanita itu dengan sepenuh hati. Selain karena kedua orang tuanya meninggalkannya sejak kecil dan tahu-tahu muncul setelah Erlangga berhasil meyembuhkan lukanya. Erlangga juga membenci mamanya yang mau-mau saja bekerja dengan orang-orang yang memperjual belikan manusia, bisnis prostitusi. Erlangga jadi kepikiran kalau selama ini ia termasuk anak yang terlahir dari hubungan terlarang itu. Cowok itu juga berharap kalau apa yang ia pikirkan selama ini hanyalah kecemasannya yang tidak beralasan. Erlangga mendesah panjang dengan merogoh sesuatu di dalam kantong celananya. Membaca kartu nama yang ia dapatkan dari orang kepercayaannya. Kartu nama  orang yang selama ini bekerja sama dengan mamanya. Kerjaan ilegal, prostitusi. Pemuda itu menggumamkan sebuah nama dengan tatapan amarahnya. Apapun yang terjadi, Angga akan menemukan orang itu dan menghancurkan semua usaha haramnya selama ini. Alisnya terangkat tinggi lalu mengucap lirih sebuah nama dalam kartu yang dipegangnya. "Clara Aurora," ***** Syahir masih berdiri di dekat jendela kostnya dengan mendengarkan suara hujan yang masih tidak ada tanda reda. Cowok itu tidak henti-hentinya menghela gusar merasa cemas meninggalkan gadis tadi di sana sendirian. Ia pun berbalik dengan meraba-raba letak tempat tidurnya dan mendudukan diri berusaha menenangkan rasa cemasnya sedari tadi. "Gue minta maaf, Er. Emang ini satu-satunya jalan biar lo tahu kalau perbedaan kita sekarang sangat tidak mungkin untuk disatukan," Lirihnya dengan bergumam sendiri, bibirnya menghela gusar dengan perasaan tidak enaknya. Masih merasa bersalah, namun tidak ada lagi yang bisa Syahir lakukan selain menjauh dan tidak memberi Erisa harapan lagi. Pemuda tuna netra itu membaringkan tubuhnya ke samping dengan berusaha memejamkan matanya. Dibeberapa tubuhnya terlihat beberapa luka lecet karena kecerobohannya menabrak sesuatu di depannya. Entah itu tembok yang membuat jidatnya terluka, atau pun lantai licin yang membuat ia harus terjatuh di kamar mandi. Selama penglihatannya menghilang, banyak sekali kesulitan yang Syahir alami. Entah dari hal yang sepele maupun yang besar sekali pun. Banyak hal yang membuat ia merasa lelah sekaligus merasa tidak berguna. Jangankan untuk menjaga Syaqila nantinya, menjaga dirinya saja ia tidak mampu. Entah bagaimana ia akan menjelaskan pada adik bungsunya itu. Orang yang paling ia rindukan adalah sang kembaran yang sampai sekarang terpisah dengannya. Sudah hampir dua tahun lamanya. Ingin rasanya Syahir menjemput Syaqila dan kembali tinggal bersama seperti dulu. Saling melengkapi dikala keduanya dilanda duka atau pun berbagai cobaan. Namun, semua itu kini tinggal angan. Mereka masih belum bias bertemu, bukan karena tidak ada keinginan namun ada banyak halangan yang harus mereka lewati.  Syahir menegak saat mendengar suara ketukan dari luar pintu kost membuat pemuda berwajah teduh itu beranjak berdiri dengan melangkah hati-hati sembari menjulurkan tangan meraba-raba ganggang pintu lalu membukanya lebar. "Hai, Syahir." Sapa cowok yang paling depan lalu mendorong pintu kasar membuat Syahir ikut terjengkang ke belakang sampai kepala pemuda itu terbentur sudut kasurnya. Kedua cowok yang lainnya secara naluri mengekori temannya yang lebih dulu masuk dan mendudukan diri pada tempat tidur Syahir yang mash terduduk di lantai. "Kita bertiga ke sini cuma mau mampir bentar, lagipula kita udah kangen banget sama lonya." Ujarnya mengulum bibir menahan tawa. Kedua temannya sudah cekikikan dengan berjalan ke arah dapur Syahir mencari makanan. "Masakin kita dong, kita lapar nih." Syahir menghela panjang dengan berdiri membuat ketiganya memandangnya tenang. "Keluar." "Ah elah bentaran doang, masa teman datang ke rumah lo gak lo sambut dengan manis sih," "Keluar gue bilang," "Ck, bentar dulu buta!" Syahir menggeram, menarik nafasnya dalam-dalam berusaha untuk tidak melampiaskan kemarahannya. Apalagi ketiga orang yang selalu 'mengganggunya' itu kini dating tanpa diundang ke rumahnya dengan alasan yang tidak jelas. Padahal Syahir tahu betul motif mereka datang ke sini, hanya ingin mencari apa yang mereka inginkan. "Elo kemarin udah gajian kan? Pesanin kita makan ya, go food aja kali ya," Ujar salah satu di antara mereka tanpa malu. "Boleh tuh, sekalian sama rokok dong. Gue udah dua hari gak ngerokok nih ketahuan nyokap jadi uang jajan gue ditahan," "b**o, makanya kalau ngerokok tuh di tempat gue aja. Berani aja lo ngerokok di rumah lo," "Ya gue gak tahu kalau nyokap lagi di rumah, biasanya pacaran mulu," "Haahaha mendingan lo cariin pacar baru aja buat nyokap lo, siapa tahu dengan begitu uang jajan lo tambah," "Gak gitu juga, njeng."  "Lah lo enak, gue kemarin di cekik bokap dong karena nilai gue merah semua," "Gue dong, ditampar depan nyokap sama adik tiri gue gara-gara di sekolah cari masalah mulu," "Miris amat hidup kita," Ujar ketiganya sudah terkikik geli menertawakan hidup mereka yang miris. Syahir yang awalnya geram karena kehadiran mereka jadi perlahan menghela lirih. Merasa simpati dengan ketiga teman kelasnya itu. Mereka mencari masalah, mengganggu Syahir setiap harinya bukan karena mereka membenci Syahir. Hanya saja mereka butuh hiburan ditengah masalah keluarga mereka. Syahir membasahi bibir, Pemuda itu berjalan ke arah kasurnya meraba sesuatu dibawah bantalnya membuat ketiga teman kelasnya menatap bingung ke arahnya. Syahir tersenyum samar saat menemukan beberapa lembar uangnya di bawah bantal. "Kalian tunggu di sini ya, gue beliin martabak di depan jalan sana," ujarnya dengan beranjak berdiri membuat ketiganya terdiam, menelan salivanya kasar. "Tiduran aja dulu, kalau mau ganti baju ambil aja di lemari. Gue pergi bentar ya," pamitnya lalu berjalan ke samping pintu mengambil tongkat miliknya. Ketiganya masih saling pandang dengan membasahi tenggorokan mereka yang mendadak kering. Mereka memandangi Syahir yang sudah berjalan ke arah pintu dan menyempatkan menutupnya membuat salah satu di antara mereka melompat dan mendekat ke arah Syahir, menarik pemuda itu untuk masuk lagi. "Gu-gue aja yang pergi beli, ke-kebetulan gue juga mau beli rokok. Sana masuk lo buta, jangan nyusahin orang mulu," katanya terbata dengan berdehem pelan lalu mengambil beberapa lembar uang di genggaman Syahir sembari berjalan pergi. Syahir mengerjap samar dengan menggaruk tengkuknya. Pemuda jangkung itu berdehem pelan lalu tersenyum samar. "Bisa peduli juga ternyata,"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN