Brother

1142 Kata
Syahir masih mengerjap samar dengan menggigit bibirnya pelan. Pemuda jangkung itu menoleh pelan saat mendengar langkah seseorang yang kini meraih tangannya menyodorkan minuman yang sudah dibukanya. Syahir tersenyum samar lalu meneguk mineral dingin itu. "Terima kasih ya, elo udah mau bantuin gue. Padahal kita gak kenal," tuturnya dengan mengerjap pelan walau kini hanya kegelapan yang ia lihat. Sosok dingin di sampingnya hanya menatapnya dalam diam tanpa menyentuh minuman dalam genggamannya. "Syahir." Panggil sosok di sebelahnya membuat pemuda itu tersentak kaget karena dikenali begini. "Elo kenal gue?" "Gue Syahid." Balas pemuda itu tanpa beban membuat Syahir menegak kaget. Bibirnya menganga kecil dengan pupil matanya yang perlahan melebar. Sejak awal Syahir sudah mengenali suara pemuda ini, Namun Syahir berulang kali berusaha menyadarkan dirinya kalau Syahid sudah tiada. "Maaf gue gak cerita dari lama. Sejak ledakan di sekolah dulu gue di rawat sama Oma ke Inggris. Dan selama dua tahun ini gue harus berurusan sama Oma, maafin gue gak bisa jadi abang yang baik." Tutur Syahid lirih dengan menjulurkan tangan mengusap kepala adiknya lembut. "Gue tahu, ini cuma alasan. Tapi gue benar-benar harus selesain masalah gue sama Oma tanpa libatin kalian." Tambahnya lagi dengan menghela pelan. "Tapi nyatanya Oma malah bikin lo kayak gini, gue minta maaf." Kata Syahid masih dengan nada dinginnya. Syahir membeku di tempatnya dengan tangan kanannya yang mencengkram erat tongkat miliknya. Pemuda itu meringis kecil mendadak merasa sesak mendengar penuturan Syahid. Selama ini Syahir berusaha untuk mengikhlaskan takdir yang kini menimpanya. Tidak mengapa kalau dirinya harus buta, tidak mengapa ia tidak bisa melihat. Mungkin ini adalah cara tuhan menghukumnya karena pernah membiarkan saja Syahid sendirian di atap sekolah dulu. Tanpa berniat membantu sang abang yang ternyata sedang berjuang untuk mereka semua. Syahir menelan salivanya kasar. Merasa tenggorokannya makin kering. Apalagi mendengar penjelasan tentang semua yang menimpanya sekarang adalah karena ulah Omanya. "Kenapa Oma sampai sebenci itu sama keluarga kita? Emang apa yang keluarga kita rampas dari Oma?" "Gak ada. Oma cuma bersikap semaunya, tanpa mikirin kebahagiaan orang lain." Syahir menghela panjang dengan merunduk dalam berusaha mengiri rongga dadanya yang hampa. "Gue sampai sekarang belum nyusul Syaqila. Gue gak mau dia sampai lihat kondisi gue yang sekarang. Gue gak mau dia sampai kepikiran," ujarnya dengan berusaha menarik kembali bulir hangat pada kelopak matanya. "Syaqila baik-baik saja. Dia di rumah mama Azura, dia juga udah mulai sekolah." Jelas Syahid membuat Syahir bernafas lega. "Gue sebenarnya kangen banget sama Qila, disaat begini gue pengen kumpul sama kalian. Mungkin dengan begitu gue bisa ngelewatin masa terberat gue." Cerita Syahir dengan mengepalkan tangannya erat berusaha untuk tetap tegar. "Gakpapa, sekarang gak akan ada yang gangguin lo lagi. Gue jamin," kata Syahid sembari mengusap bahu sang adik lembut. "Elo bisa kan bersabar sedikit lagi, gue janji akan nyatuin keluarga kita lagi. Ayah, lo, Syaqila dan gue. Kita akan sama-sama setelah semua masalah ini selesai," tambah Syahid berusaha menenagkan Syahir yang kini menganggukan kepalanya lemah. "Iya, gue juga punya teman baik di sekolah. Namanya Leo," "Gue tahu " "Dia teman gue juga di tempat kerja," "Gue tahu," "Dan sekarang Erisa juga kerja di sana," "Hm, gue tahu. Sekarang pun Erisa ngikutin kita dari tadi, dia dibalakang pohon mangga sana." Syahir mengerjap kaget dengan mencoba mencari keberadaan gadis itu walau hanya kegelapan yang ia lihat. Sedangkan, Erisa yang disebut namanya terlompat kaget karena ketangkap basah begini. Dengan menciut kecil gadis itu perlahan mendekat sembari berdehem pelan membuat Syahid beranjak berdiri. "Ja-jadi lo udah tahu kalau gue Erisa?" Tanya Erisa dengan berdehem pelan, Syahir mau tidak mau menganggukan kepalanya lemah dengan raut masamnya. "Terus kenapa lo pura-pura gak kenal gue? Elo sengajakan biar gue gak dekat-dekat sama lo lagi? Jadi ini alasan lo ngomong kasar ke gue pas terakhir kali kita ketemu." Cerocos Erisa panjang lebar dengan mendengus kasar berusaha tidak menjambak brutal kepala pemuda di hadapannya kini. Syahid yang masih berdiri diantara keduanya jadi menautkan alis merasa jadi nyamuk diantara dua orang itu. "Enggak. Emang gak ada alasan lagi buat gue dekat sama lo," balas Syahir masih dingin. Erisa menggigit bibirnya kasar berusaha meredam emosinya. Tidak terima dicampakan begini. Apalagi dengan alasan yang tidak masuk akal. "Syahir, dengarin gue. Gue gak peduli mau lo kehilangan kaki lo, mata lo ataupun pendengaran lo gue gak peduli. Gue tulus sama lo, gue nerima lo apa adanya." Tutur Erisa sudah hilang kendali membuat Syahir membeku ditempatnya. "Elo kalau gak mau sama gue kenapa dari dulu ngasih lampu ijo ke gue, hah? Pas gue ngamuk-ngamuk kenapa harus lo yang nenangin hati batu gue? Kenapa?" Syahid menarik diri perlahan mendudukan diri dengan meraih ponselnya dan memasang earphone membiarkan saja dua orang itu adu mulut. Syahid tidak ingin ikut campur. "I-itu karena lo teman gue." "Ck. Mana ada teman ngelus-ngelus kepala, terus lo juga pernah bilang kan kalau lo gak mau anak lo nanti kayak emaknya. Gue sekarang udah gak sebar-bar dulu, demi lo." Jelas Erisa tanpa basa-basi, Syahir mematung di tempatnya tidak menyangka Erisa akan blak-blakan begini tentang perasaannya. Erisa sama sekali tidak merasa malu. Apalagi sekarang ada Syahid. "Maaf. Gue emang main-main dulunya, gue sama sekali gak benar-benar suka sama lo," balas Syahir pedas membuat Erisa tertohok. Gadis itu memainkan lidah di dalam mulut merasa ingin meledak sekarang juga. "Itu cuma alasan lo kan, elo gak benar-benar cuma main-main sama gue kan?" "Maaf." "Gue gak butuh maaf lo?! Gue mau lo ngomong jujur sekarang?!" Syahir terdiam dengan berusaha tidak peduli. Pemuda itu beranjak dan menoleh ke samping membuat Syahid yang sedari tadi diam berdiri melirik pelan Erisa yang seperti ingin menelan orang hidup-hidup. "Gue udah jujur. Gue sama lo emang gak pernah saling ada rasa kan? Kita cuma sama-sama baper sebentar, dan kalaupun kita saling suka itu sia-sia Erisa. Gue sama lo punya tujuan hidup yang gak sejalan, kita bukan cuma beda perasaan tapi juga beda keyakinan. Gue gak mau lo ataupun gue nantinya terlalu lama menikmati hal yang sia-sia." Ujar Syahir panjang lebar membuat Erisa makin tertampar. Gadis itu menggigit bibir kasar sembari dengan perlahan merunduk melemaskan bahunya kecewa. Syahid berjalan memimpin walau menyempatkan menoleh ke Erisa yang sudah mendudukan diri di kursi panjang bekas Syahid dan Syahir. Gadis itu sudah hilang kata. Hatinya sudah dipatahkan, sepatah-patahnya. Syahir membasahi bibir bawahnya dengan menghela panjang. "Gue jahat ya?" Gumam Syahir masih berjalan beriringan dengan Syahid yang hanya berjalan tenang di sampingnya. "Gue seharusnya gak pernah buka hati buat Erisa. Gue terlalu b******k dan egois, mentingin perasaan gue tanpa mikirin gimana posisi kita berdua." Katanya lirih, merasa bersalah atas kelakuannya. Syahid mengerjap samar dengan mengedikan bahunya pelan. "Lo gak jahat. Emang lo harus tegas kalau menyangkut masalah hati." "Gitu ya?" "Hm." Syahid mendekati salah satu mobil dengan menarik lengan Syahir agar menghentikan langkahnya. Keduanya berdiri di samping mobil di bahu jalan. Syahir mengulum bibir dengan mengerjap samar. Pemuda itu tersentak saat bahunya dirangkul erat oleh seseorang membuat Syahid yang masih memegang lengannya memutar matanya jengah. "Gimana kabar lo, brother. Kangen gue gak nih?" Pekiknya dengan suara cemprengnya. Syahid berdecak samar menoyor pelan kepala sahabatnya itu. "Siapa?" "Anjiirrrr, gue sahabat tercinta lo nyet. Kita pernah berbagi selimut pas di isolasi," "Eh? Juna?" "Iyaa sayaaaaaannggg, ini aku Arjuna."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN