Raden Dan Pertanyaannya

1206 Kata
Dalam gerutu dan amarah yang mulai tersulut, Chika menyalahkan kedua orangtuanya yang dianggap tidak mampu memilah mana pria yang serasi dan pantas untuk dirinya, dan mana yang tidak. Sikap egois, keras kepala ini, dan selalu ingin menang sendiri ini, menurun langsung dari papa dan mamanya. Karena begitu sayang, mereka terus memanjakan putrinya dengan memberikan apa saja, hingga ia menjadi sosok yang tidak tahu berterima kasih serta terkesan mengerikan. Sesampainya di dalam mobil, Chika kembali menggerutu dan mengatakan tentang keinginannya. "Aku nggak suka, Ma, Pa," katanya sambil melipat tangan dan memeluk diri sendiri. "Aku mau laki-laki itu! Dia tipeku." Chika melanjutkan omelannya sesaat setelah tuan dan nyonya Dani masuk ke dalam mobil dengan wajah tegang. "Diam!" bentak tuan Dani, terdengar emosi. "Kamu yang sejak awal menolaknya, Chika. Bahkan mamamu sudah menjelaskan semuanya tentang Raden. Bibit, bebet, bobot, semua, hingga pekerjaan dan rutinitasnya. Dengan angkuhnya kamu bilang sudah punya pilihan, sekarang malah nyalahin Papa dan juga Mama. Seandainya di rumah kita ada anak perempuan lain, pastinya Papa akan menyerahkan dia untuk Raden, bukan Sena! Kami juga tidak punya pilihan, Ka. Mana mungkin melepas istana hanya untuk alasan bodoh yang kamu utarakan saat itu." Chika memukul pahanya sendiri karena kesal. "Agh!" pekiknya tidak bisa menerima kenyataan. "Aku nggak bisa ... aku nggak bisa!" tukasnya seperti orang setengah kesurupan. "Diam dong, Kak! Kayak orang gila kamu, berisik banget," timpal Bayu sambil membuka matanya lebar-lebar. "Kamu yang diam! Dasar anak kecil." Chika kembali membentak. "Kamu nggak ngerti apa-apa, jadi tutup mulut kamu!" "Makanya jadi orang jangan seenaknya aja, nyesel kan?" ledek Bayu. "Kasian banget!" "Igh ... ," tukas Chika, semakin geram sambil menutup mulut adiknya dengan tangan. Sementara di rumah sakit, Raden masih berdiri di sisi Senandung Arimbi dan memperhatikan setiap bagian wajah perempuan cantik itu. Alis mata yang melengkung tajam, jembatan hidung yang tinggi, kelopak mata yang bulat besar, serta bibir bervolume seperti bagian cupit panah yang sempurna. Ia pun mengakui, bahwa Sena memiliki kharisma yang tak dapat direndahkan begitu saja. "Permisi!" Dokter masuk ke dalam ruang perawatan Sena. "Silakan, Dok!" "Sebelum pulang, saya ingin memeriksa kondisi Sena." "Silakan!" Raden menjauh, namun tetap berada di sekitar istrinya. "Saya harap, pasien segera sadar!" "Emh, iya," jawab Raden setengah peduli. "Jujur saja. Pasien ini sangat kuat, jika orang lain ... mungkin sejak awal tidak akan tertolong." Dokter menatap Raden dalam-dalam. "Jantungnya juga sangat hebat memompa, seolah ingin ia hidup lebih lama. Semoga istri Anda segera kembali! Sebab saya melihat kalau Sena adalah perempuan cantik yang penuh dengan cinta." Raden mengangguk berulang. Dokter napas panjang. "Apa pun keadaannya, Anda harus membantunya!" "Baik, Dokter. Saya mengerti." Dokter memaksakan senyum, lalu melangkah lamban menuju ke pintu untuk keluar. Pada saat yang bersamaan, Raden kembali memperhatikan Sena dan hatinya mulai terenyuh serta kagum, dalam waktu yang bersamaan. 'Ada apa ini?' Tanyanya tanpa suara, seraya meremas kemeja yang digunakan. 'Maaf, aku tidak bisa memperlakukanmu dengan istimewa! Mungkin, lebih baik kita berpisah.' Ujarnya di dalam hati. Raden menunduk, memutuskan untuk kembali duduk di atas sofa yang jaraknya cukup jauh dari Sena. Tanpa sadar, sejak kemarin malam ia sama sekali belum menikmati apa pun. Tubuhnya seakan malas untuk makan maupun minum, seakan dapat merasakan sakit yang sama dengan Senandung Arimbi. Sedang sendiri dalam pikiran, Raden mendengar suara mamanya yang datang dengan membawakan makanan. Namun lagi-lagi, ia merasa tidak bersemangat untuk menelan apa pun, meskipun nyonya Mila berkata bahwa beliau membawakan menu spesial untuk Raden. "Mama nggak mau kamu sakit ya!" Nyonya Mila memberi peringatan dengan wajah cemas. "Atau jangan-jangan kamu masih marah karena perkataan Mama sebelumnya?" "Nggak kok, Ma." Raden menghela napas panjang. "Kalau boleh sih, Raden mau mandi dan ganti pakaian saja. Sudah nggak nyaman banget," ucapnya memberi alasan. "Emh, Mama mengerti. Pergilah! Lagipula, sebentar lagi papamu juga akan datang." "Thanks, Ma." Raden meninggalkan ruang perawatan, tanpa menyapa Sena atau mengatakan apa saja kepadanya. Nyonya Mila menarik napas dalam, masih kecewa akan sikap putranya yang seolah terus saja menutup diri dan menolak wanita pilihannya dan suaminya. Padahal beliau sangat yakin, bahwa Sena bisa membuat Raden bahagia. Sore menjelang malam, Raden yang sejak tadi berputar-putar tanpa arah tujuan, akhirnya tiba di kamar hotel yang sudah dibersihkan. Karena tidak melibatkan pihak yang berwajib, situasi di hotel tersebut masih terasa nyaman dan biasa. Bahkan hanya beberapa orang saja yang mengetahui tentang kejadian malam kemarin. Sambil melempar tas selempang miliknya yang terbuat dari kulit buaya asli, Raden menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk yang masih beraroma bunga. Tanpa diduga, bayangan tentang keributan malam sebelumnya terlintas kembali. Raden mulai memahami isi hati Sena yang benar-benar terluka akan ucapannya. Sadar bahwa semua yang ia lakukan merupakan penghinaan, Raden merasa tak enak hati dan bersalah. Seharusnya ia menutup mulut saja, lalu menjaga jarak. Dengan begitu, Sena tak langsung kena mental dan memutuskan untuk melukai dirinya. "Haaah ... ." Raden menutup wajah dengan kedua tangan yang ia satukan, lalu terdengar keluhan yang berat. 'Sebaiknya aku mandi!' Perintah Raden tanpa suara, pada dirinya sendiri. Pria pemilik bahu bidang itu langsung berdiri dan membuka seluruh pakaian yang ia kenakan. Kemudian menjajaki lantai kamar mandi, di mana Sena hampir memutuskan rantai nyawanya sendiri. Tanpa diduga, Raden merasa tertekan dan trauma akan kamar mandi tersebut. Ia pun diam dalam gigil, lalu memutuskan untuk keluar dan hanya menggunakan westafel guna membersihkan wajahnya. "Ada apa denganku?" tanyanya pada diri sendiri, sambil menendang apa saja yang ada di hadapannya. Pada detik yang sama, sebuah tas sandang cukup besar terjatuh dari sandarannya. Mata Raden teralihkan pada benda tersebut dan ia memutuskan untuk mencari tahu isinya. "Tasnya begini saja?" tanya Raden pada diri sendiri karena melihat tas tanpa model yang hanya disuguhi dua kantong yaitu ruangan utama (Besar) dan bagian depan. Raden mengambil posisi duduk jongkok dan mulai merogoh bagian terdepan. Ketika ia mengeluarkan isinya, wajah tampan itu tampak cukup heran. Bukan tanpa sebab, isi di dalamnya hanya ada bedak bayi, botol parfum plastik ukuran mini yang terkesan murahan, sebuah lip balm, dan sisir satu arah. Tak puas hati, Raden kembali menggeledah bagian belakang yang merupakan kantong utama. Dengan cepat, tangannya mulai menarik satu persatu pakaian yang tertata rapi di dalamnya. Menurut Raden, tidak ada satu pun benda berharga ataupun barang branded (Pakaian) yang dimiliki oleh Sena. Jika dilihat-lihat kembali, hanya bra wanita itu saja yang tampak cantik dengan cup nan kokoh. Raden mengangkat kelopak matanya. Ia membayangkan kembali tentang bagaimana gaya Chika yang merupakan putri sulung di dalam keluarga Dani. Dia begitu modis dan memiliki pakaian yang cukup bernilai. Lalu, bagaimana kondisi keduanya bisa begitu kontras, Raden mulai mempertanyakan mengenai keadaan Sena. 'Apa benar kalau dia disisihkan? Tapi kenapa?' Tanya Raden di dalam hatinya. 'Mungkin aku tidak perlu mencercanya lagi! Tapi, aku juga tidak boleh membiarkannya masuk ke zona pribadiku dengan alasan apa pun!' Raden kembali merapikan barang-barang milik Sena dan berniat untuk kembali ke rumah sakit. "Tidak! Sebaiknya aku membawa semuanya dan tidak kembali lagi ke tempat ini. Iya ... itu lebih bagus." Raden terus saja berdiskusi pada dirinya sendiri, seraya menatap kedua tangannya yang masih gemetar, tanpa alasan. 'Apa yang sebenarnya terjadi kepadaku? Ini baru pertama kali menyerangku.' Kata Raden yang berusaha menetralkan perasaannya. Liur itu tiba-tiba mencair, namun rongga tenggorokannya sakit seolah mulutnya tidak pernah basah. Iya, tanpa sadar dirinya tercekat seperti dicekik oleh bayang. Heran, pria tampan itu bergegas untuk meninggalkan kamar pengantin yang tak pernah ia jamah bersama percintaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN