"Jika saatnya tiba, sedih akan menjadi tawa, perih akan menjadi cerita, kenangan akan menjadi guru, rindu akan menjadi temu, kau dan aku akan menjadi kita."
Begitulah salah satu kutipan kata-kata manis dari sebuah karya berjudul "Garis Waktu". Penciptaannya membuat Senandung Arimbi sempat berharap semalam, bahwa dia dan suaminya bisa menjadi satu. Namun, sepertinya itu hanya mimpi dan ilusi bagi gadis beralis melengkung sempurna tersebut.
Takut akan cibiran berikutnya, Sena menunduk pasrah bersama rasa malu di dalam benaknya. Ada jeda beberapa menit yang kian membuatnya jengah. Namun, ia mendengar gumaman kekesalan dari bibir suaminya sekali lagi, dan akhirnya Sena memberanikan diri untuk menatap.
"Jangan kamu pikir kalau aku bahagia berada pada posisi ini, Mas!" ungkap Sena yang terus memompa keberaniannya. Suara lembut itu, Sama-sama menembus kebisingan di hotel mewah tersebut. "Sejak awal, aku merasa sangat bodoh karena mengizinkan pria asing yang tidak mencintaiku untuk menjadi suamiku!" desis Sena tajam, sambil menekan nada suaranya agar tak ada satu pun yang mendengar ucapannya kecuali suaminya.
"Apa maumu?" tantang Raden, tanpa menatap Sena.
Sena meremas pakaian pengantin yang ia kenakan. "Aku harap, kamu bisa sedikit menghilangkan tatapan merendahkan terhadapku itu, Mas!" sergahnya yang mulai risih saat melihat sorot mata Raden, ketika menghina dirinya ataupun keluarganya.
Namun, pria itu tidak menjawab. Dia hanya menaikkan sebelas alisnya sembari menjinjitkan kedua kaki, tanda tak perduli. Detik berikutnya, pria itu memalingkan wajahnya begitu saja dari Sena.
Hari pernikahan yang seharusnya dimulai dengan senyum, dan diakhiri dengan percintaan, kini hanya tinggal mimpi. Namun, ada satu hal yang masih membuat Sena mampu menarik napas ikhlas. Laki-laki ini, sama sekali tidak melarangnya untuk melanjutkan pendidikan. Bahkan, ia mengatakan akan menanggung semua biaya kuliah Sena sampai jenjang tertinggi, di luar negeri sekali pun.
***
Malam hari tiba, Sena tak berani untuk bergerak dari depan cermin ukuran besar tak jauh dari ranjang yang sudah ditaburi ratusan kelopak bunga mawar merah. Ia bingung dan takut dengan apa pun yang akan terjadi sebentar lagi. Tiba-tiba sebuah bayangan muncul, memperlihatkan pria itu melakukan segalanya dengan kasar. Hal tersebut membuat Sena terperanjat dan terjatuh dari kursi rias.
Pria itu menghela napas panjang, seolah melihat kebodohan Sena yang pertama. Begitu memalukan untuk ukuran pria perfeksionis seperti dirinya. Sembari memunggungi Sena, dengan ekspresi wajah tak peduli, Raden melepas jas formal yang sejak pagi tadi ia kenakan. Kemudian, menarik dasi berwarna kuning keemasan, lalu membuka kancing bajunya.
Seperti tak ada siapa pun di kamar ini, pria itu membuka bagian atas busananya dan berjalan menuju kamar mandi di samping kanan Sena. Ketika ia berjalan, wajahnya mendongak seakan mempertegas keangkuhannya. Tak dapat dipungkiri, tubuh atletis yang dipenuhi dengan otot panas itu, berhasil mencuri perhatian Sena. Gadis cantik pemilik bibir penuh tersebut pun menelan berat air liurnya, dan segera berdiri untuk memperbaiki posisi duduknya.
'Penampilan barusan ... sangat buruk, Sena.' Ujar gadis ini tanpa suara. 'Dengar saja! Sebentar lagi dia akan mengejekku. Hahaha." Sena menertawakan dirinya sendiri dan bulir-bulir air matanya menggenang di kelopak bagian dalam.
Setelah lebih dari tiga puluh menit, pria kekar itu keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk mini yang hanya menutupi bagian bawah perut, dan atas lututnya saja. Sena pun penasaran dan memutuskan untuk melirik.
'Bagaimana jika handuk itu tergelincir? Ya Tuhan ... aku sangat kesal dan benci padanya. Tetapi kenapa jadi penasaran seperti ini?' Tanya Sena di dalam hatinya. Sebab seumur hidup, baru kali ini ia melihat pria sempurna tanpa celah. Namun sayang, mereka berada pada server yang berbeda. 'Jangan-jangan? Dia benar-benar tak menyukai wanita.' Sena yang sempat mendengar isu itu, langsung terbawa dan ikut memikirkan hal yang sama.
Suara resleting cover yang dibuka dengan kerasnya, terdengar jelas di rongga telinga Senandung Arimbi. Dalam posisi jongkok, pria itu memilih pakaiannya. Tidak ingin ketahuan memperhatikan sejak awal, Sena pura-pura sibuk dengan melepas aksesoris di kepalanya.
"Sebaiknya kamu mandi!" kata Raden dengan tatapan tak bersahabat. "Aku ngeri dengan riasanmu itu. Lagipula, aku harus tahu wajah aslimu, agar tidak salah saat memanggilmu suatu saat nanti." Raden mengibas baju yang hendak ia kenakan dan langsung menyorongkannya ke kepala.
Sena memperhatikan suaminya dari dalam cermin. 'Suatu saat nanti? Dia masih saja merendahkanku.' Gerutunya tanpa suara.
"Tunggu apa lagi?" tanya Raden sambil mengernyitkan dahi, semakin berpikir. "Ingat! Tidak ada cinta-cintaan, apalagi malam pertama. Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan!" Raden kembali menatap sinis, dan menjatuhkan mental Sena dengan menunjuk ke arah wajah gadis itu menggunakan jari telunjuk tangan kirinya.
'Lagi-lagi, dia menghinaku.' Bagian dari diri Sena yang lainnya, mengiba.
Jantung Sena kembali teriris, matanya pun langsung membendung kolam kecil yang sejak tadi hampir membanjiri wajahnya. Rasanya, ia tidak mungkin bisa bertahan hidup dengan pria sedingin es ini.
Raden mendekat, namun tetap menjaga jarak seolah Sena adalah sumber penyakit berbahaya dan menular, sehingga harus berbatas. "Apa lagi? Apa yang kamu pikirkan? Katakan saja!" tentang pria tampan pemilik garis rahang tegas, sambil melipat dahi dan menatap tajam.
"Aku ingin, kamu tidak menatapku dengan cara seperti itu!" pinta Sena dan suaranya terdengar menyedihkan.
"Kamu yang memulainya." Raden membentak, sembari memasang wajah kaku. "Jika kamu menolak pernikahan ini, semua tidak akan pernah terjadi." Wajah geram pria dingin itu, kini menerjang jiwa Sena hingga gadis itu menggigil di balik gaun indahnya.
"Aku ini hanya seorang anak yang tak pernah dianggap. Mana bisa menolak apa yang mereka inginkan," tepis Sena yang melakukan perlawanan keras kali ini. "Ternyata, kamu dan mereka sama saja. Kalian seperti pohon pisang yang memiliki jantung, tapi tidak memiliki hati." Bulir-bulir air mata Sena menetes, ketika ia mengedipkan matanya.
Jantung Raden terhenti. Kata-kata cerdas yang keluar dari bibir Sena berhasil memukul mundur jiwa dan membungkam mulutnya nan tajam. Untuk pertama kali di dalam hidupnya, Raden menerima kalimat jenius yang tak pernah terbayangkan olehnya.
'Apa? Aku seperti pohon pisang?' Raden bergumam di dalam hatinya. 'Memiliki jantung, tapi tidak mempunyai hati.' Pria tampan itu, mengulang perumpamaan yang Senandung Arimbi sematkan untuk dirinya.
Setelah menyadari suaminya mematung, Sena membalik arah tatapannya dan langsung menarik tas jinjing ke dalam kamar mandi. Gadis ini pun berdiam diri sejenak untuk menumpahkan kesedihannya.
Tak lama, ia memutuskan untuk menanggalkan busananya dan berendam di dalam bathtub berkaki yang telah tersedia di kamar hotel, tempat mereka seharusnya menghabiskan waktu dengan berbulan madu.
Sesak dan kesal, hanya itu yang gadis ini rasakan. Tanpa pikir panjang, Senandung Arimbi memukuli kepalanya sendiri dengan botol kaca demi melampiaskan kemarahannya, hingga menggeser jahitan lama di bagian tersebut. Darah segar pun mulai menetes perlahan dan Sena tidak berniat untuk menghentikannya.
Entah berapa lama ia berniat untuk membiarkan darah itu terbuang sia-sia. Yang jelas, air berbusa putih di dalam bathtub mewah itu, kini telah berubah warna menjadi merah cerah. Sena menangis, rongga telinganya mendengar suara iringan musik tari balet yang sering ia dengarkan. Tak lama, pikirannya melayang, dan rasa sakit itu pun hilang.
Bersambung.