Dalam rangkaian harap yang tak kunjung bertepi, Raden terus saja menjaga diri dan hatinya hanya untuk satu nama. Lautan asmara itu seakan lupa bergejolak, dan milih tenang di dalam hatinya yang kecil nan rapuh. Entah bagaimana, harapan itu selalu menyala, meskipun kenyataan terus memperlihatkan ketidakpastian.
Terkadang, di balik semua kesabaran. Raden juga benci akan caranya dalam mencintai Nena. Semua terasa tanpa jeda, tanpa napas, dan tanpa logika. Jika dipikir-pikir, hembusan angin saja memiliki jedanya sendiri. Tetapi pria pemilik tubuh proporsional ini, dengan segala ego, malah menarik seluruh keinginan untuk bersama Nena. Padahal sudah jelas-jelas wanita itu menghilang, bagai ditelan alam.
Dalam lamunan panjang, Raden terganggu akan suara gemericik air yang semakin lama, kian kuat. Ia yakin, bak di dalam kamar mandi sudah terisi penuh, tetapi Sena membiarkannya begitu saja. Merasa sikap istri yang tak diinginkannya itu salah, Raden memutuskan untuk melabrak dengan amarah.
Bukan tanpa alasan, salah satu sifat putra konglomerat yang satu ini adalah hemat. Jadi ia tidak bisa menerima, jika ada seseorang di sekitarnya membuang-buang sesuatu yang berharga.
Raden melangkah dengan gagahnya, seperti pemarah yang siap untuk membentak, mencaci, dan melucuti jiwa target melalui ucapannya. Namun ketika matanya tertuju pada genangan air di sisi bawah pintu yang telah bercampur dengan warna merah, emosinya menghilang dan berganti kekhawatiran.
"Jangan-jangan ... ," gumamnya seraya melipat dahi dan berpikir ekstra. "Agh! Kekesalan tampak jelas pada raut wajahnya yang kaku.
'Dasar bodoh.' Ujarnya yang menyangka bahwa Sena mungkin berusaha untuk mengakhiri hidupnya.
Tak ingin disalahkan, Raden keluar dari dalam kamar dengan langkah tergesa-gesa. Kemudian ia mengetuk pintu kamar kedua orangtuanya yang kebetulan menginap di hotel sama. Tak lama, ia memanggil bersama ketukan dari jari jemarinya nan terdengar kuat.
Suara Raden terdengar risau, akhirnya pintu pun dibuka. Ketika mata bertemu, sang papa juga melipat dahi karena tak percaya melihat putranya berada di depan kamarnya. "Kamu? Seharusnya tidak mencari Papa ataupun Mama, saat ini!"
"Pa, bantu Raden! Sepertinya gadis itu melukai dirinya sendiri."
"Apa? Dan kamu malah ke sini?" tanya tuan Wibowo, beliau langsung berjalan ke arah kamar putranya yang telah dipersiapkan sedemikian rupa agar malam pertama menjadi istimewa. "Kamu sungguh keterlaluan, Raden!" gerutu pria paruh baya itu terdengar kesal.
"Jangan nyalahin Raden, Pa! Itu tidak adil," tukas pria dengan rambut tertata rapi tersebut.
Tuan Wibowo mempercepat laju langkah kakinya, lalu menatap tajam ke arah sang putra. "Diam kamu!" titahnya sembari menunjuk wajah Raden dengan jari telunjuk tangan kirinya.
Seumur hidup, baru kali ini Raden melihat papanya melakukan hal semacam itu. Ia pun merasa berada diantara rasa bersalah dan penyesalan. Sebab sikap sang papa menunjukkan bahwa Raden memang sudah melakukan kesalahan.
Setibanya di kamar pengantin, tuan Wibowo langsung memperhatikan warna air yang terus bergerak cepat di sekitar pentilasi bagian bawah pintu. Wajahnya pun berubah drastis, dari yang tenang menjadi stres.
Terlalu kesal kepada Raden, tuan Wibowo mendobrak pintu kamar mandi seorang diri. Saat ini, bibirnya sama sekali tak dapat berbicara. Ia benar-benar marah dan ingin sekali memukul putranya hingga babak belur. Namun di sisi lain, beliau juga begitu menyayangi Raden.
Dalam upayanya, tampak sekali pria baya ini kesulitan karena kayu pintu yang kokoh. Tak ingin membuang waktu lebih lama lagi, tuan Wibowo memutuskan untuk menelepon petugas keamanan dari dalam kamar hotel, agar bisa segera membantu.
"Tenanglah, Pa!" pinta Raden terlihat begitu santai. "Mungkin ini hanya caranya saja untuk mendapatkan perhatian," gerutu pria yang sebenarnya tak banyak bicara tersebut.
Tuan Wibowo mengernyitkan dahi, tampak emosi dan tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh putra sulungnya. "Apa kamu bilang?" tanyanya dengan nada tinggi. "Bagaimana jika dia benar-benar ingin mati? Papa tak pernah mengajarimu untuk tak menghargai perempuan. Seandainya kamu memang nggak menyukainya, itu urusanmu. Tetapi sebagai seorang suami, kamu memiliki kewajiban penuh untuk menjaganya. Camkan itu!" kata pria baya tersebut, sembari menunjuk d**a sang putra.
Raden kembali terperangah, ia seperti tidak mempercayai tentang apa yang ia lihat dari papanya. Sebab selama ini, beliau hanya mengucapkan syukur dan terima kasih atas prestasi dan pencapaian putra yang telah menjadi contoh mutlak di dalam keluarga besar mereka. Ia pun menyadari, bahwa papanya telah kecewa berat dan terluka kali ini.
"Ada yang bisa dibantu, Tuan?" tanya petugas keamanan yang baru tiba dan masih berdiri di muka pintu kamar.
"Bantu saya untuk membuka pintu kamar mandi itu! Anak menantu saya, mungkin dia tergelincir di dalam sana," beber tuan Wibowo, sebenarnya juga tidak tahu mengenai apa yang telah terjadi.
Tanpa mengulur banyak waktu, petugas keamanan mendobrak pintu kamar mandi secara berulang. Sayangnya, pria dengan postur tubuh besar itu masih gagal. Sadar akan tatapan khawatir dan kecewa dari manik mata sang papa, Raden memutuskan untuk membantu agar bisa mendapatkan kata maaf dari beliau.
Dua kali hentakan dengan pundak kanan secara bersama-sama, akhirnya pintu kamar mandi itu berhasil di dobrak. Ketika masuk ke dalamnya, kedua mata Raden terbuka lebar. Ia tidak menyangka bahwa darah sudah memenuhi bathtub mewah berwarna putih, hingga tampak kontras dengan genangan darah.
"Astaga Sena!" ucap tuan Wibowo yang langsung histeris. "Tolong dia! Ya Tuhan ... anak baik sepertimu, bagaimana bisa bernasib malang seperti ini," ratap tuan Wibowo yang terdengar jauh lebih mengenali Sena, dibandingkan dengan Raden.
Situasi di dalam kamar pengantin yang sengaja dipesan khusus ini, berakhir dengan pemandangan yang tragis. Saat melihat botol kaca ukuran besar hancur berderai di atas lantai kamar mandi, Raden pun menyadari kebenaran ucapan papanya. Sena ingin mengakhiri hidupnya yang lelah, bukan cuma sekedar demi mencari sensasi.
Sesampainya di dalam mobil, tubuh tuan Wibowo terlihat bergetar hebat. Apalagi darah segar sudah membasahi pakaian tidur berwarna mint yang ia kenakan. Bahkan kacamata beliau terlihat tak berada di posisi yang benar, seperti biasanya. Pria baya itu benar-benar meratap dalam tangis.
Setibanya di rumah sakit, Sena langsung di bawa ke ruang IGD untuk ditangani. Dokter terbaik pun, tuan Wibowo hubungi agar dapat menyelamatkan menantu pilihan hatinya. Meskipun putranya tak suka, dan telah membuat kecewa.
"Ya Tuhan ... Sena. Apa yang sudah saya lakukan kepadanya?" kata tuan Wibowo yang sangat merasa bersalah dengan rencana pernikahan Sena dan putranya.
Raden menatap sang papa yang gusar, sembari menelaah keadaan. Ia memang tidak mengerti, tentang bagaimana papanya bisa begitu peduli dan sesayang itu kepada Sena. Rasa ingin tahunya pun mencuat dan ia memutuskan untuk mendekati sang papa.
Raden pun memilih duduk tepat di sebelah sang papa. Namun, ia tampak ragu-ragu untuk memulai perbincangan. Memahami tabiat putranya lebih dari siapa pun, tuan Wibowo memutuskan untuk memulai percakapan yang terasa canggung kali ini.
"Papa menemukannya sedang mengangkat karung beras ukuran 20 kg, sebanyak tiga tingkat di pasar tradisional. Waktu itu, mobil Papa mogok dan harus menepi." Tuan Wibowo mulai mengingat kenangan pertamanya dengan Sena. "Wajahnya lelah, dan ratusan peluh pun menutupi kecantikannya. Pakaiannya juga lusuh dan tampak pudar warnanya. Tapi, ketika ia mengembangkan bibir dan tersenyum, Papa bisa melihat cahaya lembut dan keceriaan di sana."
Raden mengangkat wajah, dan matanya langsung terlihat penasaran. Ia benar-benar tak menyangka bahwa Senandung Arimbi, bukanlah gadis manja seperti yang ia prediksi sebelumnya.
"Saat itu Papa sangat sibuk, jadi tak sempat untuk menyapanya. Namun, wajah Sena tak bisa lepas dari ingatan Papa. Bukan karena sedang jatuh cinta, tetapi merasa luar biasa terkesan. Sebab Papa menyadari satu hal, banyak wanita muda dan cantik parasnya di luar sana yang lebih memilih menjadi wanita penghibur, dari pada perempuan pekerja keras. Sejak hari itu, Papa sering mengikuti langkahnya, sekedar ingin tahu tentang siapa dia."
Raden yang tadinya ingin banyak bersuara, memutuskan untuk bungkam dan hanya mendengarkan saja. Menurutnya hal ini jauh lebih baik, karena dia memang tak mengenal istrinya sama sekali.
Tuan Wibowo menepuk paha kanan putranya dengan lembut, namun tegas. "Kamu tahu apa yang Papa lihat?" tanyanya yang ingin sedikit menggunggah hati sang putra.
"Apa, Pa?"
"Siang menjelang sore, Sena bergegas meninggalkan tempat itu menuju ke pom bensin. Papa semakin heran dan penasaran dengan sikapnya. Tetapi setelah membuntutinya cukup lama, Papa tahu tentang rencana Sena selanjutnya." Tuan Widodo menghela napas panjang. "Dia keluar dari pom dengan kondisi rapi, ya ... walaupun tak dapat dipungkiri, pakaian yang ia kenakan jauh dari kata bagus. Itu seperti baju dan celana lima tahun yang lalu, bahkan warnanya saja sudah pudar. Sambil berlari, tangannya menyeka keringat yang kembali membasahi wajahnya. Namun ia tidak berhenti, ia terus berpacu dengan waktu hingga memasuki gerbang besar di salah satu kampus kenamaan di kota ini."
"Dia ... ?"
"Seorang mahasiswi," timpal tuan Wibowo sambil tersenyum bangga.
"Benarkah? Tapi dia tidak terlihat kokoh dan pintar," ucap Raden yang sejak awal hanya melihat tatapan frustasi di wajah seorang Senandung Arimbi. "Menurut Raden, orang pintar tidak akan mengambil jalan pintas seperti saat sekarang ini."
"Jadi kamu menganggap penilaian Papa ini salah? Dia atau Papa yang bodoh?"
"Tentu saja bukan Papa," jawab Raden yang menahan tatapan marah dari papanya.
"Lalu bagaimana jika dia merasa sudah terlalu lelah? Tidak punya alasan untuk bertahan hidup? Atau ... dia terlalu marah pada keadaan, sehingga memukul dirinya sendiri agar bisa lebih tenang?"
"Cerita Papa sejak tadi, tidak singkron dengan apa yang Raden lihat sejak pagi," tukas pria bertubuh kekar tersebut, sambil menyela. "Rasanya sangat aneh, jika Papa mati-matian membela dia. Apalagi ... dia juga dari keluarga yang cukup berada, bukan?"
"Hmmm, soal itu ya? Sekitar pukul 18.45 WIB, dia pulang ke sebuah rumah yang cukup mewah. Setelah ditelusuri, ternyata Sena adalah putri dari Dani. Jika dilihat dari selisih usia, seharusnya Sena adalah anak yang manja (Bungsu). Namun pada kenyataannya, ia tidak diperlakukan dengan baik, oleh saudara laki-lakinya. Dari sana, Papa ingin menyelamatkan dia. Tentu saja dengan tujuan untuk menemanimu yang kaku terhadap wanita."
"Sejak kapan Papa menjadi detektif? Jika keluarganya saja tidak menyukai dia, itu berarti ada yang salah dengan perempuan itu." Raden terus melakukan penolakan terhadap Sena.
Tuan Wibowo mengangguk kecewa. "Baiklah jika itu menurut pendapatmu. Dari dulu, pria tua ini memang tidak pernah bisa memasuki hatimu dan memberi pengertian tentang cinta. Kamu selalu berjalan di lajur yang sama, sementara Papa yang berusaha menarikmu malah tersungkur. Mungkin karena saya ini sudah tua." Tuan Wibowo berdiri, tak mampu menahan kekesalannya lagi. "Jika tidak bisa banyak, tolong sedikit saja ... pedulikan dirinya!" pintanya dengan wajah layu dan lesu.
"Selamat malam, Tuan!" sapa salah seorang perawat sambil memaksakan senyumnya.
"Iya, Sus. Ada apa? Bagaimana keadaan Sena?" tanya tuan Wibowo tanpa henti, tampak jelas kegelisahan pada raut wajahnya yang sudah berkerut.
"Dokter ingin bicara dengan keluarganya, apa Anda ... ."
"Iya, saya papanya dan ini suaminya."
"Baik, kalau begitu silakan ikuti saya!"
"Iya," jawab pria baya tersebut sambil menarik tangan Raden dan memaksa.
Sesampainya di ruangan dokter yang menangani kasus Sena, tuan Wibowo langsung bertanya tanpa duduk akibat terlalu khawatir pada menantunya. Sebab di relung hati yang paling dalam, beliau percaya bahwa perempuan pilihannya ini mampu membawa kebahagiaan bagi putra sulungnya yang menutup diri untuk cinta.
"Hah ... ." Dokter pria menghela napas panjang. "Saya tidak tahu, Anda sudah mengerti soal ini atau belum."
"Katakan, Dokter!"
"Silakan duduk dulu, agar lebih tenang!" pintanya dengan wajah tertekan. "Saya dokter Anton," ucapnya memperkenalkan diri, seraya mengulurkan tangan.
"Saya papanya Sena, dan ini suaminya Raden."
"Baiklah. Begini, luka baru di kepala putri Anda dapat digolongkan ke dalam luka berat. Ini bukan karena senjata yang digunakan ataupun lebar koyak kulit kepalanya, melainkan luka baru tersebut telah membangkitkan luka lama yang berada pada posisi sama."
Tuan Wibowo melipat dahi, mencoba untuk memahami tanpa bertanya agar tidak terlihat bodoh.
"Sepertinya pasien pernah mengalami kecelakaan hebat, sehingga meninggalkan jejak luka yang dalam dan lebar. Lalu, luka kedua menumpuk luka pertama hingga membuat trauma pada sarafnya."
"Apa ... ."
"Dari lukanya ... kami mengidentifikasi bahwa pasien sudah mengalami hal yang buruk di masa lalu dan sepertinya akan semakin diperparah dengan keadaan saat ini. Untuk kondisi lukanya, saya akan mengatakannya setelah melakukan pemeriksaan dengan alat khusus. Besok pagi, kami akan segera menindaklanjuti pasien!"
"Anda membuat saya khawatir, Dok."
"Lebih baik saya mengatakannya diawal, sehingga kita bisa bersiap. Dari pada nanti, dan kondisinya terus menurun."
"Saya merasa, ini akan menjadi sangat buruk."
"Dokter ahli saraf sedang memeriksanya. Jika malam ini pasien harus diberi tindakan, kami akan menghubungi Anda."
"Operasi?"
"Ya," jawab dokter sambil menganggukkan kepala.
Tak lama, terdengar suara ketukan dari pintu yang terasa tergesa-gesa. Dokter pun mempersilahkan seseorang di luar sana untuk masuk. "Silakan!" ucap dokter dengan suara yang tinggi.
"Dokter, pasien mengalami kejang dan dokter Hanafi meminta Anda untuk ikut ke ruangan," kata si perawat sembari mengatur napasnya yang terengah-engah.
"Permisi!" kata dokter yang langsung meninggalkan tempat duduknya dan segera melangkah ke arah Sena.
Tuan Wibowo dan Raden turut mengikuti langkah dokter laki-laki tersebut. "Ya Tuhan ... ," gumam tuan Wibowo sangat merasa bersalah. "Sena."
"Papa jangan menyalahkan diri sendiri!" ujar Raden yang masih belum merasakan sensasi hati kepada istrinya.
Tuan Wibowo menghentikan langkahnya. "Jadi siapa yang harus bertanggung jawab?" tanyanya kesal." Kamu? Bahkan hingga detik ini, Papa tidak melihat kesedihan di matamu itu."
"Tuan, tolong tanda tangani ini." Perawat menyerahkan surat persetujuan untuk dilakukan operasi besar kepada Sena.
"Aku yang akan melakukannya," kata Raden, mengambil alih pulpen dari tangan papanya.
Tuan Wibowo menatap dalam. "Papa harap, Sena selamat dan kamu bisa mengambil tanggung jawab ini sepenuhnya!"
"Pa, please ... !"
"Papa hanya sedang berdoa."
Tak ingin berdebat, Raden melanjutkan aktivitas jemari tangannya dalam membubuhi tanda tangan. Bahkan untuk pertama kalinya, ia tidak membaca isi dari surat penting tersebut karena hanya ingin segera menyelamatkan Sena. Sayangnya, semua ini ia lakukan bukan untuk dirinya, melainkan sang papa. Mau tidak mau, suka tak suka, Raden terpaksa menjadi sosok yang bertanggung jawab atas operasi Sena malam ini.
'Bagaimana aku bisa terjebak dalam situasi ini?' Tanya Raden, sambil mengepal kedua tangannya. "Hah ... .' Keluhnya kesal.