7

2328 Kata
Ian terperanjat begitu ia sampai di dalam dan melihat kekacauan yang dibuat oleh tiga bocah Austin. Sebuah mangkuk porselen jatuh telungkup di atas lantai kayu, serbuk putih yang tampak seperti s**u bubuk bertabur di lantai. Sup beserta isinya juga tumpah dan alat makan berserakan dimana-mana. Para bocah Austin segera menghentikan pekikannya begitu mendapati Ian berdiri disana, menatap kekacauan dengan pilu. Mengalihkan pandangan dari kekacauan, Ian menatap ketiga bocah kembar itu satu persatu. Penampilan mereka kacau dengan krim dan s**u bubuk yang menodai pakaiannya. Sementara ketiga bocah itu berdiri dengan wajah memelas, takut jika Ian membentaknya seperti yang selalu dilakukan Lucy. Ketiga bocah itu kembar, namun Ian mengenali mereka dengan ciri identik yang berbeda. Yang tertua adalah Michael, berdiri di sisi paling kanan dengan wajah bersih dan sorot mata yang intens. Michael tipe bocah pemikir dan bertindak dengan berbagai pertimbangan. Setelah lama tidak bertemu, Ian terkesan karena ia masih sanggup mengenali mereka. Yang kedua adalah Kevin, bocah yang memiliki perawakan sangar dan bersikap lebih keras ketimbang dua kembarannya yang lain. Kevin memiliki tanda lahir di dekat pelipis, jadi Ian masih bisa mengenali bocah itu. Dan yang bediri di sisi pojok kiri adalah Aiden, si bungsu dari dua saudara kembarnya yang lain. Aiden memiliki rambut yang lebih terang dibandingkan dengan kedua saudaranya, rambutnya mewarisi gen Lucy dan hampir terlihat pirang. Meski menjadi yang termuda, Aiden selalu tampak percaya diri. Berdirinya tegap dan yang paling disuka Ian darinya adalah, bocah itu juga mewarisi sebagian gen Austin, yang ia kenal sebagai seorang dokter spesialis hebat, hingga memiliki jiwa penyembuh terhadap apapun. Dahi Ian berkerut ketika para bocah itu memandangnya dengan sorot takut, seakan menunggunya untuk memaki. Meski kekacauan membuat emosinya sarat, Ian tidak bisa menahan godaan untuk tersenyum dan mendekat. "Apa di antara kalian ada yang bersedia mengatakan kekacauan apa yang baru saja kalian buat?" suara Ian bersahabat, tidak disampaikan dengan nada tinggi sehingga para bocah itupun menyingkirkan perasaan takutnya dan mulai menghambur selagi Ian membenahi kekacauan. Ketika mereka hendak melarikan diri, Ian menangkap satu di antara mereka yang dikenalinya sebagai Aiden. Bocah itu memekik lagi, bukan karena takut melainkan perasaan kesal karena tidak bisa meloloskan diri dari Ian. "Lepaskan aku!" pinta Aiden dengan suara melengking. Ian mengulas senyum lebar, terutama ketika dua bocah Austin lainnya kembali untuk membantu membebaskan kembaran mereka dari genggaman Ian. "Tidak, sampai salah satu dari kalian mengatakan apa yang baru saja terjadi." "Ada serangga di dalam makanan Aiden," Ian menoleh dan segera menyadari bahwa Michael yang berbicara, kemudian suara lain yang tak jauh berbeda menyusul dari sisi yang berseberangan. "Aiden takut serangga." Pekik Kevin, seolah mengatakannya menjadi hiburan tersendiri untuk dirinya. Aiden, yang merasa tidak terima, mulai memprotes. "Aku tidak takut serangga!" "Kau menumpahkan mangkuk sup-mu ketika melihatnya," timpal Michael dengan percaya diri. Kevin terkikik dan wajah Aiden merah padam. Aiden mengacungkan jari telunjuknya dengan sikap menuduh pada Kevin. "Kau memasukkan serangga ke dalam mangkuk sup-ku. Aku akan mengatakannya pada ibu dan kau tidak akan mendapat jatah sup untuk dua minggu." Kevin terkikik semakin keras dan Michael tidak bisa menahan senyumnya. Ketika Aiden merasa semakin panas, bocah itu berusaha membebaskan diri dari genggaman Ian dan bersiap melakukan serangan pada Kevin sebelum Ian menangkapnya lagi. "Oh-hoh, mau apa jagoan?" "Memberinya pelajaran agar dia tidak berani meletakkan serangga itu lagi!" Ian menimbang sebentar, tersenyum kemudian mengatakan, "tubuhmu masih terlalu kecil, tinjumu tidak akan berarti apapun untuknya, bagaimana jika kau membiarkan aku yang melakukannya?" Aiden menatap Ian sambil tersenyum puas. "Ya, lakukan! Pukul dia!" Kevin tidak menampakkan raut wajah takut atau gelisah sedikitpun, justru ia melakukan yang sebaliknya, dengan bersiap menghadapi serangan Ian dalam posisi menantang, seperti tokoh hero yang ditontonnya. “Kau ingin memukulku? Aku akan membuatmu menyesal." "Aku ingin sekali," aku Ian. "Hanya tidak adil rasanya jika kita menyelesaikan ini dengan cepat. Biarkan aku menantangmu dan aku akan menawarkan sebatang cokelat jika kau keluar sebagai juara." Mata Kevin langsung berbinar-binar, begitu pula dua kembarannya yang lain. Sindrom anak kembar rupanya. Satu suka cokelat, yang lain juga suka. "Cokelat?" Ian mengangguk cepat. "Apa ibumu melarang kalian makan cokelat?" "Dia menyembunyikannya. Sudah lama aku tidak makan cokelat," kata Kevin. Suara Aiden menyusul. "Kata ibu, cokelat bisa membuat kami gemuk dan perut kami akan meledak." Ian tertawa sangat keras ketika Aiden mengutarakannya dengan cara yang tidak bisa diyakini Ian. Gagasan untuk menjadi seorang ayah tidak pernah terpikir dalam benaknya. Namun, siapa yang bisa menyangka kalau menghadapi tiga bocah polos dapat membuatnya merasa lebih baik? "Ibumu bilang begitu?” Michael mengangguk, dua bocah yang lain ikut mengangguk. "Dan kalian tetap ingin makan cokelat?” Aiden yang mengangguk paling yakin. Binar di matanya menunjukkan antusiasme hingga membuat hati siapapun akan luluh. "Kenapa begitu? Apa kalian tidak takut?" "Daddy memberi kami sebungkus cokelat tiap minggu malam," ujar Aiden secara terang-terangan dan Kevin langsung membeliak. "Kau akan mendapat hukuman! Itu rahasia." Aiden tidak tampak seolah baru saja melakukan kesalahan. "Dia tidak akan bicara apapun pada mom. Iya, kan?" "Aku ahli dalam menjaga rahasia," sahut Ian sambil memandang ketiga bocah itu satu persatu. "Begini saja, sekarang bagaimana kalau aku menantang kalian. Jika kalian berhasil mengalahkanku, maka kalian akan mendapat sekotak penuh cokelat, tapi jika tidak, kalian harus mencoba jus." "Apa itu jus?" tanya Kevin. "Sejenis minuman buah bervitamin." "Apa rasanya seperti cokelat?' "Rasanya seperti cokelat," Ian membeokan dengan seringai di wajah. "Itu berarti kalah tidak akan memberi banyak dampak buruk," kata Michael, ia melanjutkan. "Aku setuju." Aiden dan Kevin mengangguk secara serempak. "Kau mengoleksi tanaman sejenis apa?" Lucy memegang sekop di tangan kanannya, ia menciduk timbunan tanah merah kemudian memindahkannya ke dalam pot secara bergilir. Kakinya yang terbalut oleh bot berwarna hijau mencoba menekan tanah basah itu hingga merekat dengan yang lain. "Sejauh ini aku hanya mengembangkan jenis olerikultura dan biofarmaka. Dua bulan yang lalu aku baru menerima tawaran bibit untuk jenis florikultura. Jumlahnya masih sangat sedikit dan ada beberapa jenis bibit yang gagal panen." "Pasti karena kondisi cuaca, benar?" "Tepat sekali." Lucy selesai memupuk bibit pertama dan baru akan beralih untuk bibit kedua sebelum Faith menawarkan jasa. "Boleh kucoba?" Lucy mengangguk, tersenyum sembari menyerahkan sekop dan sekantong bibit pada Faith. Faith menanamnya dengan cara yang mahir. Pergerakannya begitu luwes hingga membuat Lucy terkagum. "Berapa lama kau menggemari holtikultura?" Faith tersenyum, menunduk kemudian merapatkan tanah basah yang berwarna cokelat kemerahan itu menggunakan kedua tangannya yang ditutupi oleh sarung tangan elastis. Ia meraih teko air yang diberikan Lucy, menggunakannya untuk menyiram bibit yang baru. Disela kegiatan itu, Faith berbicara, "ibuku salah satu pengagum holtikultura. Aku sering diajak mengunjungi rumah hortikultura sejak usiaku delapan tahun. Dan dari itu aku belajar lebih banyak tentang holtikultura." "Kalau begitu kau tahu bagaimana cara membuat bibit baru tumbuh subur?" Faith menimbang, pergerakannya terhenti ketika ia bicara. "Aku pernah mempelajari sedikit tentang florikultuta dan beberapa jenis bibitnya seperti, anyelir, anturium daun, pakis, sansivera, krisan, helicona, euphorbia dan adenium." "Aku punya sedikit masalah dengan bibit helicona." "Bisa ku lihat?” "Tentu saja," Lucy menunjuk ke arah yang berlawanan. "Lewat sini!" Kemudian Faith membuntutinya. Mereka melewati beberapa bibit yang tumbuh subur dan Faith dibuat kagum dengan hasil kerja Lucy. Bukan hanya tumbuh dengan tatanan bunga yang indah, beberapa di antara tanaman itu juga sudah berbuah. "Berapa kali kau mengunjungi wal-mart dalam sebulan?" "Dua sampai tiga kali. Terkadang. Hanya ketika aku benar-benar membutuhkan sesuatu. Kenapa?" "Aku hanya berpikir kau memanen seluruh persediaan masakmu disini. Jelas kau tidak perlu repot-repot pergi berbelanja." Lucy tertawa. "Itulah keuntungan berbisnis hortikultuta. Tapi di musim dingin, aku selalu gagal panen. Itulah mengapa aku lebih giat memanen sepanjang musim panas. Distribusi seluruh tanamanku jadi terhambat dan biasanya para pelanggan merasa tidak puas karena harus menunggu hingga musim panen mendatang." "Sudah berapa lama kau memulai bisnis ini?" "Sejak aku dan Austin pindah ke Memphis. Tiga tahun yang lalu tepatnya. Saat itu aku hanya mengengembangkan jenis bibit sayuran karena hanya itu yang bisa kudapatkan dengan mudah, tapi kemudian aku bertemu Josiah. Dia penasihat hortikultura yang baik. Dia memberi aku beberapa bibit tanaman obat sekaligus mengajariku bagaimana cara mengembangkannya." "Oh, ya? Aku tidak tahu banyak tentang jenis biofarmaka." "Akan kuberi tahu. Josiah memberiku dua jenis bibit. Biofarmaka non rimpang dan biofarmaka rimpang. Biofarmaka non rimpang dan rimpang sama-sama dilestarikan sebagai bahan obat untuk kesehatan dan kosmetik, yang membedakan hanya biofarmaka rimpang memanfaatkan bagian umi rimpang sebagai bahan obatnya." "Ada berapa jenis yang kau punya?" "Aku punya jahe dan dlingo untuk biofarmaka rimpang. Sementara untuk biofarmaka non rimpang aku punya lidah buaya, sambiloto, mengkudu, kejibeling dan mahoni." Faith berhenti begitu Lucy mengunjukkan bibit dalam pot yang gagal. Ia memperhatikan bibit itu sebelum mencabut daun yang sudah layu kemudian meraih segenggam tanah basah dan meletakkannya di atas bibit yang gagal. Faith menambahkan air di atasnya kemudian tersenyum ketika melihat Lucy terheran-heran. Seakan mampu menafsirkan isi pikiran Lucy, Faith menjelaskan, "bibit helicona cukup sensitif dan memerlukan banyak air. Tidak bisa tumbuh dalam cuaca yang kedap udara dan minim sinar matahari. Kau hanya perlu memindahkannya ke tempat yang lebih banyak sinar matahari." Sekali lagi Lucy terkagum-kagum. "Kau pasti tahu lebih banyak dari aku." "Tidak sebanyak itu. Aku hanya mengenali beberapa jenis kekurangan dari setiap tanaman." "Kau cukup mahir di bidangmu. Tidak salah Ian menikahimu." Untuk kalimat pertama, Faith merasa bisa menyetujuinya tapi untuk kalimat terakhir, Faith tidak merasa demikian. *** Satu jam kemudian Ian berhasil membawa para bocah itu duduk tenang dan saling berhadapan di atas meja makan. Tiga cangkir gelas telah terisi penuh di hadapan mereka, seolah menunggu salah satu dari mereka akan mengangkat dan meneguk cairannya. Aiden tampak merengut, begitu pula Kevin, tapi Michael kelihatan semringah dengan memerhatikan isi cairan berwarna merah jambu di dalam cangkirnya. "Apa rasanya enak?" tanya Michael dengan antusias. Reaksi para bocah itu membuat Ian tersenyum. "Silakan dicoba! Kalian akan menyukainya." "Aku lebih suka cokelat," aku Kevin secara terang-terangan. Kedua alis Ian bertaut dan dahinya membentuk satu kerutan tipis. "Aku yakin kau bicara begitu sebelumnya, tapi kau sudah sepakat, jika kau kalah, kau harus mengganti menumu untuk sementara. Tidak ada cokelat minggu ini." Aiden yang tampak pasrah menghela nafas sembari mengangkat kedua bahu kecilnya. "Yah, aku yakin Superman tidak pernah melanggar kesepakatannya." kemudian Aiden mengangkat cangkir itu dan meneguk minumannya. Michael menyusul, kemudian Kevin menjadi yang terakhir. Sebelum kedua saudaranya bereaksi, Kevin yang pertama kali meletakkan gelasnya. Dari cara bocah itu menjulurkan lidahnya, Ian tahu kemungkinan buruk akan diucapkan. "Kau bilang rasanya seperti cokelat." "Aku bilang begitu?" "Ya," sahut Kevin. "Aku rasa kau salah dengar," kilah Ian. "Aku bilang, rasanya manis seperti cokelat. Bukan berarti sama seperti cokelat." "Minuman ini tidak enak!" Ian memerhatikan Aiden dan Michael secara bergiliran. Dua bocah itu bahkan tidak sampai mendengus ataupun menjauhkan cangkirnya. Michael yang pertama menurunkan cangkir kosongnya, kemudian Aiden menyusul. "Aku rasa dua saudaramu tidak sependapat." "Rasanya memang manis seperti cokelat," sahut Michael sembari menyeka sisa jus di sudut bibirnya. Aiden segera menyusul Michael. "Apa kau akan membuat satu lagi untukku?" "Tentu saja." "Aku tidak suka jus," kata Kevin sambil memalingkan wajahnya. Ian tidak bisa menahan senyum ketika melihat mereka. "Sayangnya kesepakatannya kau harus minum sampai habis." Merasa tidak punya alasan yang lebih baik, Kevin melayangkan pelototan sengit pada Aiden di seberang. "Kenapa melihatku begitu?" "Ini permainanmu. Kau sengaja membuatnya menang agar aku harus menghabiskan minuman ini." "Apa yang salah? Minumannya enak," timpal Aiden dan Ian tertawa puas. "Jagoan, terima kekalahanmu dan patuhi kesepakatannya. Sekarang kau tahu betapa buruknya tindakanmu meletakkan serangga di atas makanan. Kalau kau tidak melakukan hal yang buruk, mungkin kau akan mendapat banyak cokelat di lemari pendingin." "Aku tidak akan melakukannya lagi," ujar Kevin, setengah berharap Ian tidak memaksanya menghabiskan minuman itu. "Begitu lebih baik. Bukan berarti kau bisa melanggar kesepakatanmu. Aku punya tiga gelas lagi yang perlu dihabiskan, aku harap kau suka." Bahu Kevin merosot. Ian dan ketiga bocah Austin itu sedang tertawa ketika Lucy dan Faith menyusul masuk ke dalam untuk menyantap makan siang mereka. Tatapan Faith terperanjat pada lelaki yang berusaha menghibur para bocah dengan humor anehnya. Ian tampak asyik berbicara, sedikitpun tidak berpaling atas kehadiran dua wanita disana. Faith memerhatikan ketika satu di antara ketiga bocah itu yang mengguncang lengan Ian untuk mendapatkan perhatiannya, dan Ian dengan pembawaannya yang santai berpaling untuk menjawab pertanyaan bocah itu. Kemudian bocah yang lain mengajukan pertanyaan susulan yang demikian itu juga ditanggapi Ian dengan cara yang sama. Tawa mereka menggema lagi sampai suara Lucy membuyarkan segalanya. "Aku tidak percaya ini," kata Lucy sembari beranjak untuk membenahi peralatan porselen di bak pencuci piring. "Bagaimana kau bisa duduk dan tertawa disana bersama bocah itu? Aku membayangkanmu sedang berusaha menendang b****g mereka." Ian tampak tidak menghiraukannya, justru terlihat semakin serius menanggapi setiap pertanyaan yang diajukan oleh para bocah Austin. Berikutnya, Lucy berpaling menatap Faith yang masih berdiri diam di lorong. "Apa yang kau tunggu? Duduklah! Biar ku lihat makanan apa yang kupunya." Faith mengangguk kemudian bergabung. Ia menarik kursi di samping Ian dan menghempaskan tubuh disana. Ian pasti tidak akan menyadari kehadirannya jika Aiden tidak menatap lurus ke arahnya dan bertanya, "Siapa dia?" Ian baru berpaling, tersenyum pada Faith dan bicara dengan bangga, "pasanganku. Katakan halo pada Faith!" "Hai!" Michael selalu jadi yang pertama di antara dua saudaranya yang lain. Faith duduk lebih tegap, tersenyum ramah pada bocah pirang itu kemudian mendengar ketika Ian memperkenalkan mereka. "Dia Michael, yang tertua. Kemudian ada Kevin dan Aiden jagoanku." "Suatu saat aku akan punya pasangan seperti kau," kata Aiden. Faith dibuat tergelak karenanya. "Tentu saja kau akan punya." "Apa kalian menikah seperti Lucy?" pertanyaan Aiden berikutnya menyusul. Namun, jauh sebelum Faith menanggapi bocah itu, Lucy memelototi Aiden dan bicara lebih dulu. "Aku yakin aku tidak salah dengar kalau kau menyebut namaku." "Daddy memanggilmu begitu," ungkap Aiden tanpa malu-malu. "Kenapa aku tidak boleh memanggilmu Lucy?" "Ada masalah dengan panggilan mom?" Aiden mengangkat bahu kecilnya, menunduk sambil menghela nafas. "Hanya saja Michael menyebut kalau panggilan itu hanya untuk bocah ingusan. Pria dewasa tidak memanggil dengan panggilan itu." Lucy mendelik hebat, wajah Michael merona karena malu sementara Faith dan Ian tertawa secara bersamaan. "Daddy memanggil mom begitu?" pancing Ian dan Aiden mengangguk. "Seperti apa seringnya?" "Seperti dear, atau honey, terkadang Lucy jika Daddy sedang marah." Kemudian segalanya dipenuhi oleh gelak tawa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN