18

4244 Kata
Malam ketika Faith tiba di rumah, sebuah karangan mawar yang tergeletak di atas ranjangnya membuat ia terperanjat di tempat. Faith bergerak untuk meraih karangan yang tersusun indah dengan wangi yang khas itu kemudian meraih secarik kertas putih yang dilipat rapi di dalamnya. Sebelum membuka isi pesannya, Faith sempat menduga dan dugaannya segera terbukti begitu ia mendapat isi pesan yang tak jauh berbeda dari sebelumnya. Tulisan tangannya khas. Ku mohon, beri aku kesempatan. Maafkan aku.. Putih? Ian Tersenyum Faith melipat kembali kertas itu dan meletakkannya di atas meja rias. Ia beranjak untuk meletakkan karangan mawar pada vas yang telah diberi air segar di ruang utama. Faith duduk sambil memerhatikan karangan itu ketika Ian datang dengan kemeja putih dan mantel hitamnya. Lelaki itu menatap Faith sejenak sebelum beralih pada sekumpulan mawar di dalam vas. Pemandangan itu membuat Ian berpikir bahwa Faith mungkin telah luluh dan bersedia memaafkannya. Karenanya, Ian memberanikan diri untuk tersenyum kemudian beranjak mendekat. Namun, semua dugaannya sirna begitu Ian mendapati Faith berdiri, berisiap untuk kembali ke ruangannya tepat setelah ia berniat untuk bergabung. Faith belum sempat melangkah ketika Ian menahan pergelangan tangannya di tempat dan memaksanya untuk kembali duduk di sofa. Mendebat Ian hanya akan jadi usaha yang sia-sia, itulah mengapa Faith memilih untuk menyerah. "Kau masih marah padaku?" tanya Ian sembari menjauhkan tangannya dari Faith. Wanita itu menghela nafas sejenak. "Aku tidak ingat aku pernah mengatakannya." "Kalau begitu bisakan setidaknya kau bersikap seperti biasa dan tidak perlu menjauhiku seperti orang asing yang baru bertemu?" Faith menatap Ian lamat-lamat, memerhatikan bagaimana cara kelopak mata itu mengatup dan terbuka, melihat sekelibat perasaan asing disana dan segera menemukan suaranya dalam hitungan detik. "Kalau begitu bisakah kau sedikit bersikap terbuka padaku dan bukannya menyembunyikan sesuatu dariku seolah aku ini orang asing yang pernah kau jumpai dalam hidupmu?" Ian berdecak, merasa putus asa dalam prosesnya. "Aku sudah bilang kalau aku tidak akan mengatakannya padamu dan itu berarti tidak." Kernyitan di dahi Faith bertambah dalam. "Kenapa Ian? Kau pasti punya alasan untuk itu." "Tentu saja dan kau tidak perlu tahu alasannya. Semua itu tidak ada kaitannya denganmu." "Apa aku hanya harus tahu semua hal yang berkaitan denganku? Kenapa kau tidak mengizinkanku untuk mengetahui sedikit tentang dirimu?" Pikiran Ian mulai kacau dan suasana hatinya tak keruan. "Tidak bisa." "Tapi kenapa?" "Pokoknya tidak bisa. Apa kau tidak mengerti juga? Aku berani bersumpah Faith, hal ini tidak terkait dengan apapun." Saat Faith menghela nafas, mata almond-nya menatap lurus ke arah Ian dan ia mengangguk dengan pilu. "Baiklah. Aku mengerti. Kau membuat semuanya semakin jelas." Ada kenyataan pahit yang meski ditelan Faith secara mentah-mentah: bahwa Ian tidak berani untuk bersikap terbuka padanya dan itu sudah menjelaskan semuanya secara konkret. Ian tidak berniat untuk membuka kesempatan dalam pernikahan mereka. Bagi Ian, semuanya ini hanya sandiwara dan atas dasar pemikiran itu, hati Faith mencelos. Tidak mau membuat dirinya terlihat bodoh, Faith beranjak dari tempatnya dan kali ini, Ian tidak menghentikannnya. Bahkan ketika Faith memutar kenop dan menghilang di balik pintu kamarnya. Ian tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Faith. Emosinya berkecamuk dan wajahnya tampak merah padam. Ian bisa merasakan urat-uratnya yang tegang dan tangannya terkepal erat. Memikirkan Faith membuatnya gila, namun, ia juga tidak bisa menghindar dari wanita itu. Faith tidak mengerti bahwa Ian tidak mampu mengungkapkan semua kebenarannya tanpa merasa sakit. Kenangan itu sudah terkubur begitu dalam dan sekarang Faith meminta untuk menguaknya kembali, sementara mengatakannya adalah hal terakhir yang sanggup Ian lakukam dalam hidupnya. Sebelum emosinya semakin menjadi-jadi, Ian memutuskan untuk pergi, meninggalkan ruang utama dan beralih ke ruang pribadinya. Entah bagaimana Ian merasa perlu mengistirahatkan otaknya. Setidaknya ia bisa meneguk pil dan tidur dengan nyaman, tanpa harus merasa resah tiap kali memikirkan Faith. Dalam tidurnya Ian memimpikan Faith menggeleng keras setelah ia menyebut warna putih. Pagi ketika Faith mengetuk pintu kamar Ian, lelaki itu sudah tidak ada di tempat. Awalnya Faith berniat membangunkan Ian dan berpamitan sebelum ia pergi ke taman hortikulturanya, tapi niat itu terurung begitu ia sampai di dalam ruang pribadi Ian. Ruangan itu tidak lebih besar dan tidak lebih nyaman dari ruangannya. Ranjangnya lebih kecil dan tidak banyak barang antik maupun pajangan yang mengisi ruangan selain sebuah lukisan berukuran besar di salah satu sudut dinding. Lukisan yang memperlihatkan keindahan itu tampak menakjubkan dan Faith segera jatuh cinta saat pertama memandanginya. Aroma khas Ian segera menyeruak dalam indra penciumannya: aroma yang selalu Faith suka yang merupakan perpaduan daun mint dan wangi cendana. Kamar Ian terlihat padat dan rapi. Terdapat sebuah lemari di sudut ruangan dan Sebuah lampu tidur di samping ranjang. Ian belum sempat membenahi setelan jasnya yang diletakkan di atas ranjang dan Faith segera bergegas untuk melipat jas itu, membuka pintu lemari dan meletakkannya disana. Dalam proses itu, secara tidak sengaja Faith menjatuhkan sebuah kotak berukuran sedang dari sana. Kotak itu tampak tua dan berwarna kecokelatan. Faith menatap kotak itu dan mulai menimbang sebelum menunduk untuk mengambilnya. Rasa penasaran telah mengerahkan tangannya untuk membuka penutup kotak dan melihat beberapa barang yang terdapat di dalamnya. Barang-barang itu berupa medali, tiga foto tua dan sebuah buku telepon. Faith meneliti satu persatu, ia memulainya dari sebuah medali biru dengan nama sebuah organisasi yang tertera di depannya. Medali berlogo mawar putih itu dilingkari dengan tulisan: kami siap, setia, dan mengabdi. Kemudian Faith beralih pada foto tua pertama. Dari suasana yang digambarkan dalam foto tersebut, sudah sangat jelas bahwa yang dipaparkan di dalamnya adalah potret masa remaja Ian. Lelaki itu tersenyum bangga sambil mengenakan medali yang sama di seputar lehernya dan sosok pria yang lebih tinggi, merangkul bahunya. Pria yang berdiri di samping Ian memiliki perawakan yang sama. Darah Spanyol terlukis jelas dalam setiap garis wajahnya dan matanya cekung seperti Ian. Benar-benar mirip. Pria itu mengenakan setelan kemeja dan celana denim berwarna senada. Faith mengira bahwa siapapun pria itu, pasti terlibat hubungan darah secara langsung dengan Ian. Ia kemudian membalik foto selanjutnya, foto ketika Ian dalam usia yang sama menggenggam sebuah surat kabar. Berbeda dari yang sebelumnya, foto kedua memampangkan raut wajah Ian yang keji. Tidak ada senyuman dan nanar di matanya hanya menunjukkan kebencian. Ketika Faith membalik satu foto terakhir, potret Ian bersama seluruh anggota organisasi yang rata-rata merupakan remaja pria sebaya, Faith semakin yakin bahwa ada sesuatu yang Ian sembunyikan dibalik semua foto-foto itu. Sesuatu yang membuat Ian membisu dan memilih untuk tidak mengatakannya. Sesuatu yang besar. Faith membuka lembar buku telepon kemudian mencatat beberapa nomor yang tertulis disana sebelum meletakkan semua barang kembali ke dalam kotak dan membenahinya ke tempat semula. *** Ian mendongak dari layar monitor begitu mendengar suara seseorang di luar mengetuk pintu ruangnya. Ia menunggu sampai seseorang muncul dari balik pintu sebelum bangkit berdiri. "Apa kau menemukannya?" Ian tidak menunggu pria itu berseru dan segera menanti apa yang dicarinya. Pria dengan tinggi mencapai seratus sembilan puluh yang menggunakan celana jeans dan jaket hitam yang menyelubungi kaus putih di baliknya, masuk tanpa banyak bicara. Pria itu memiliki perawakan yang tegas dengan rambut cokelat kayu dan tatapan intensnya. Tingginya tidak jauh berbeda dari Ian dan porsi mereka hampir sama persis. Pria itu mengulas senyumnya yang jarang dan menawan sebelum menyerahkan sebuah buku tebal yang ia bawa pada Ian. Ian menerimanya sedengan suka rela, mencoba membaca sampul depan buku dan tersenyum puas setelah membaca sedikit dari isi buku itu. "Aku berutang padamu untuk ini, Joe." Joseph menghela nafas sembari mencari posisi favoritnya dengan berdiri di dekat jendela. Adiknya, Joseph, adalah seseorang yang paling waspada. Sekalipun mereka ada dalam situasi senormal apapun, Joseph telah dilatih untuk bersikap siaga dan itu yang membuatnya selalu berpikir dalam setiap tindak tanduknya. Seperti yang selalu terjadi, Joseph tidak banyak bicara, lelaki itu menatap sesuatu seakan tengah berusaha mengintimidasinya, namun Ian sudah terbiasa, maka tak heran jika Ian bersikap lebih santai. Ian menyandarkan tubuhnya di tepian meja, menyampirkan seragam rawatnya dan mulai membalik halaman buku yang dibawakan Joseph untuknya. Sementara Ian membaca dengan tenang disana, mata Joseph tidak pernah berhenti bekerja untuk memerhatikan ruang kerja itu sembari bergumam, "Apa yang terjadi padamu?" Ian mendongak dari bacaannya dan memiringkan sedikit kepala ketika menatap Joseph di sudut ruangan. "Aku hanya berusaha belajar lebih tentang ini." Joseph tertawa miris, tawanya lebih mirip dengusan, terutama karena fakta bahwa lelaki itu jarang sekali tertawa. "Jangan bersikap bodoh! Kau tidak pernah begitu peduli tentang warna, Ian. Ada apa dengan dirimu dan buku kumpulan warna itu? Kau mungkin bisa saja mengalami gangguan mental sesaat. Aku sempat menemukan kasus yang sama pada klienku. Semacam trauma pasca menikah. Dia mengatakan bahwa melihat warna membuat hidupnya jadi lebih baik." "Apa kau bermaksud mengatakan bahwa akal sehatku terganggu?" Joseph tertegun, matanya menatap kosong ke arah Ian dan setiap kata yang terhantur di bibirnya dihanturkan dengan begitu hati-hati. "Aku bilang aku pernah menemukan kasus seperti itu." "Ah, ya. Kau benar. Ku pikir aku butuh banyak pilihan warna. Menurutmu warna apa yang akan disukai pasienku ketika sedang sekarat? Apa tosca warna yang memberi kenyamanan? Atau mungkin warna-warna pastel? Warna memengaruhi emosi setiap orang. Mata ini berfungsi membias cahaya dan mengantarkannya pada otak kita. Otak yang akan memproses emosi dan coba kau bayangkan betapa amat berperan besar cahaya itu. Cahaya adalah warna dan aku akan mempelajari lebih banyak tentang warna." Joseph menyipitkan kedua matanya ketika Ian terus berceloteh sambil membolak-balikkan halaman buku. "Menurutmu warna apa yang begitu disukai wanita? Apa kau pernah menemukan kasus dimana klien wanitamu tidak begitu menyukai warna-warna lembut seperti pink atau bahkan merah? Warna apa yang kira-kira disukai oleh wanita itu? Dia tidak menyukai warna terang dan tidak juga warna yang umumnya disebut orang. Mungkinkah wanita seperti itu menyukai hal-hal yang rumit seperti navy, atau mungkin.. violet?" "Kedengarannya kasusmu sangat rumit." Ian menimbang sejenak sebelum menyetujui. "Ya, begitu." Joseph beralih pada sebuah meja kayu tempat dimana sebuah vas diletakkan. Ia menyentuh tekstur meja yang diamplas sedemikian rupa kemudian memerhatikan mawar di dalam vas dengan lebih detail. Disela itu, ia bergumam. "Tampaknya pasienmu terserang sindrom tertentu?" "Tidak, tidak begitu tepatnya. Ini hanya masalah.. selera." "Ah!" Joseph berdecak. "Selera.. Sejak kapan selera pasien menjadi begitu penting untukmu?" Ian mengatup mulutnya hingga membentuk satu garis tipis dan berpikir sebelum bicara, "mungkin lebih tepatnya aku menjadi lebih peduli." "Soal warna?" "Soal pasienku," koreksi Ian. "Dan buku ikhtisar warna itu?" "Untuk menyenangkan pasienmu?" "Untuk menambah ilmu pengetahuanku," koreksi Ian lagi, semakin merasa bodoh dengan setiap ucapannya. "Tapi kau baru saja menanyakan pendapatku tentang warna kesukaan wanita?" "Itu benar." "Dan kau juga mengatakan soal intensitas warna yang mampu memengaruhi emosi seseorang?" "Sepertinya begitu." Joseph menepuk sisi pahanya sembari mendesah karena jengkel. "Aku mengerti, Ian. Faith mungkin menyukai warna yang rumit." Ian mendesah, merasa jengah karena Joseph selalu bisa menebak situasinya. Bahkan, lelaki itu mampu memahami siasat terburuknya untuk menyenangkan hati Faith hanya dengan mengetahui warna kesukaannya. Tapi Joseph adalah yang terbaik. Sekalipun pria itu bicara dan bersikap mengintimidasi, hanya Joseph yang benar-benar mampu memahami emosinya – seolah pria itu telah mengenali dirinya hingga ujung rambut terakhir. Ian meletakkan bukunya di atas meja dan mulai bersedekap. "Menurutmu begitu?" "Ya. Kau bilang dia tidak menyukai warna yang umum?" "Aku sudah mencobanya berulang kali dan hasilnya gagal." Joseph mendekat dan bersandar pada tepian meja, tepat di samping Ian berdiri. Ia tersenyum sembari memukul lengan Ian dengan ringan. "Ayo, dokter! Kau harus berusaha lebih keras. Faith bukan wanita yang mudah." "Kau benar," tatapan Ian lurus ke depan ketika mengatakannya. Joseph memerhatikan saudaranya dari samping dan mulai memahami segala emosi yang melintas di wajah Ian. Ia telah berulang kali dilatih untuk memahami emosi seseorang dan pelatihannya tidak pernah sia-sia. Joseph adalah satu agen yang menoreh prestasi gemilang dalam organisasinya. "Sekarang kau bisa menceritakan semua masalahnya." Ian sempat berpikir untuk menolak, tapi ia tahu, bahwa sangat tidak mungkin menghindari Joseph. Selain itu, hanya Joseph yang mampu memberinya masukan tanpa membuatnya merasa begitu bodoh dan dengan alasan apapun, Ian percaya bahwa Joseph mampu mengeluarkannya dari masalah. Sejak mereka remaja, Joseph yang begitu dekat dengan Ian. Mereka sering menghabiskan waktu bersama untuk memancing dan berolahraga. Terkadang perbedaan kemampuan membuat mereka jauh, tapi disela itu, mereka tidak pernah melewati kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama dengan playstation dan sesekali pergi ke museum untuk ilmu pengetahuan. Joseph sangat tertarik dengan politik dan kemiliteran sementara bidang Ian adalah penelitian ilmiah. Kecintaan mereka akan ilmu pengetahuan melebihi apapun dan itu yang menyatukan mereka. Keduanya telah saling melengkapi sampai sejauh itu. Saat ini, tidak ada yang lebih diinginkan Ian selain pendapat Joseph. *** Faith baru usai memastikan bahwa semua lahannya siap panen ketika seorang kurir datang untuk mengantarkan sebuah bingkisan. Ia segera menandatangani bukti terima kemudian kembali untuk menyelidiki bingkisan itu. Bingkisian itu berupa buah-buahan dan sebungkus cokelat yang ditata sedemikian rupa hingga kelihatan menarik. Di baliknya terselip sebuah kartu ucapan. Faith menarik kartu itu kemudian membaca tulisan yang sudah familier. Senyum tersungging di bibirnya ketika ia membaca kalimat sederhana yang tertera disana. Sedikit rasa manis mungkin tidak akan menghancurkan segalanya. Glaucous...? Ian Tidak ada yang lebih baik dari hadiah itu. Sepanjang hidupnya, Faith selalu memperoleh hadiah besar yang diberi Juan dan Kylee. Hadiah yang perlu dijaga dengan baik. Namun, Ian memberinya hadiah yang sederhana dengan beberapa buah berserat dan sebatang cokelat. Benar-benar manis dan memikat. Tetapi, jika lelaki itu berpikir bahwa Faith akan luluh dengan sebatang cokelat, maka Ian salah besar. Dan glaucous.. Bagaimana Ian bisa berpikir bahwa glaucous adalah warna yang tepat, sementara Faith tidak mengenali ciri identik warna itu. Memikirkan Ian menbuat ia teringat akan misinya. Faith segera merogoh ponselnya di saku kemudian menghubungi nomor yang tersimpan disana. Suara seorang wanita masuk pada deringan ketiga. Seorang petugas pekerja kantor yang menjawab panggilannya. "Namaku Faith. Aku ingin bertanya tentang seorang pengasuh bernama Mrs. Brookyln." “Maaf? Siapa katamu?" "Mrs. Brookyln. Salah seorang pengasuh di akademi Sky Blue." Petugas itu memberi jeda dalam percakapan mereka untuk memberi informasi akurat pada Faith. Selama kurang dari semenit, Faith telah memeroleh informasinya. "Mrs. Brooklyn sudah pensiun sejak delapan tahun lalu. Dia tidak lagi bekerja untuk akademi ini." Faith mencoba cara lain. "Apa aku bisa memperoleh informasi detail tentangnya? Atau bisa kau beri aku alamatnya?" "Bisa kau katakan keperluanmu?" Faith berpikir jika ia mengatakan yang sebenarnya, maka ia tidak akan memeroleh informasi apapun. "Aku keponakannya. Kami sudah bertahun-tahun tidak bertemu dan aku berharap aku bisa mengabarinya kembali." "Baiklah, aku akan mengirikan alamatnya." "Terima kasih." Hubungan telepon terputus. Faith tidak mengambil waktu lama untuk bergegas menemui Gorgie di kebun dan segera berpamitan pergi. Ia beruntung karena Gorgie tidak banyak bertanya. Kemudian, Faith mengendarai jeep milik Ian menuju alamat yang terkirim masuk ke ponselnya. Alamat tersebut tidak berada dalam jarak dekat, namun juga tidak begitu jauh. Setidaknya Faith butuh beberapa jam untuk tiba disana. Jalur yang ditempuhnya adalah jalur yang jarang kendaraan sehingga Faith dengan sigap menaikan kecepatan lajunya. Pikirannya berkecamuk sepanjang perjalanan hingga dalam hitungan jam, jeep yang dikendarainya berbelok di pertigaan menuju sebuah panti beratap kokoh. Faith menghentikan jeep-nya tak jauh dari bangunan itu. Ia mencoba memeriksa alamatnya sekali lagi dan merasa bimbang setelah mendapati nama dan nomor alamat yang sama persis seperti yang tertera. Faith tidak menduga bahwa Mrs. Brooklyn akan tinggal disebuah panti yang mengasuh anak jalanan. Namun, jika melihat latar belakang Mrs. Brooklyn sebagai pengajar di akademi, semuanya jadi terasa wajar. Sebelum memutuskan untuk turun, Faith memilih untuk memerhatikan keadaan sekitar. Semuanya terlihat aman dan terkendali. Beberapa anak berlari-larian dengan riang gembira di sekitar bangunan sementara di sudut pilar, seorang pengasuh muda tampak tersenyum sembari mengawasi para anak yang berkeliaran di halaman panti. Faith memantapkan diri kemudian melangkah keluar dari jeep, langkahnya membawanya masuk ke halaman panti dan berhadapan dengan salah seorang pengasuh disana. Faith tersenyum ketika pengasuh wanita yang sama menatapnya hangat. Ia mempercepat langkahnya hingga wanita itu mulai menyambutnya. "Permisi," kata Faith. "Namaku Faith." Wanita itu menjulurkan tangan kanannya yang segera dijabat oleh Faith. Sembari tersenyum, ia menperkenalkan diri. "Laura. Kupikir aku tidak pernah melihatmu sebelumnya?" "Ya, aku pendatang baru disini. Aku kesini untuk bertemu Mrs. Brooklyn. Aku meragukan alamat yang kuperoleh dan baru pertama kali aku kemari. Apa aku tidak salah alamat?" Laura tertawa rendah, wanita itu terjaga dalam sikap dan tutur katanya yang lembut. "Oh tentu tidak. Alamat yang kau peroleh sepenuhnya benar. Mari, kuantar kau pada mama." Mata Faith terbeliak sempurna. "Kau anaknya?" Laura mengangguk. "Aku Laura Brooklyn." Faith tertawa dan Laura tersenyum lebar. Ia meraih tangan Faith kemudian menuntunnya masuk ke dalam bangunan itu. "Mari, ku antar kau." Laura membawa Faith ke halaman belakang bangunan yang menampakkan taman luas dimana sebuah kolom terdapat pada salah satu sudutnya. Di teras, seorang wanita yang lebih tua tengah duduk dengan buku di atas pangkuannya dan kaca mata besar. Wanita itu berkulit pucat dan berambut pirang. Wajahnya ramah dan hangat, nyaris sama persis seperti milik Laura kecuali dengan rentang usia yang berbeda. Laura adalah wanita muda berusia belasan tahun sementara wanita itu kelihatan seperti wanita paruh baya yang memesona. "Mama!" Ketika Laura menyerukan namanya, wanita itu menengadah dari buku bacaan, membenahi posisi kaca matanya sebelum tersenyum ketika bertemu pandang dengan Faith. Bukan hanya wajah merah bersemi yang memesona namun juga mata violet yang berkilau sempurna membuat siapapun yang melihatnya akan merasa nyaman. Laura menarik Faith berdiri lebih dekat di hadapan Mrs. Brooklyn sembari berujar, "Faith ingin bertemu denganmu." Faith menjulurkan tangannya sembari tersenyum hangat dan wanita paruh baya itu merespons dengan tidak kalah hangatnya. Mrs. Brooklyn beralih pada putrinya sejenak. "Aku akan sangat senang jika kau mau pergi ke dapur untuk menyediakan minum bagi tamu kita." Laura mengangguk, "tentu." Ia merunduk dengan sopan sebelum pergi meninggalkan mereka. Mrs. Brooklyn meletakkan bukunya kemudian menunjuk pada kursi di seberang. Memahami isyarat itu, Faith segera beranjak untuk duduk di seberang. Ia menunggu ketika Mrs. Brooklyn berbicara padanya sebelum menjelaskan maksud kedatangannya. "Maaf, aku tidak menduga akan mendapat tamu siang ini. Biasanya aku dan Laura akan bersiap, tapi tidak ada yang mengabarkan kalau aku akan menerima tamu siang ini. Kau pasti ingin mengadopsi anak, ya? Aku belum sempat mempersiapkan apapun, tapi kupikir kita bisa membicarakannya sekarang." Faith tersenyum saat ia mengklarifikasi. "Tidak, bukan itu. Kesalahanku tidak menghubungimu. Sejujurnya aku datang untuk membicarakan sesuatu." "Oh, apa itu soal anak asuhku?" Faith tertegun sejenak ia sedikit menimbang ketika mengatakan, "perihal Akademi Blue Sky." Raut wajah Mrs. Brooklyn yang cerah dan hangat tiba-tiba menjadi suram. Mimik wajahnya kelihatan bimbang ketika Laura kembali hadir di tengah mereka dengan secangkir teh. Mrs. Brooklyn baru berani merespons begitu Laura pergi jauh meninggalkan mereka. Setiap kata yang diucapkannya dipilin dengan hati-hati. "Akademi itu? Bagaimana kau tahu?" Faith diam sejenak untuk menimbang sebelum memutuskan untuk menceritakan seluk beluknya. Sepanjang itu, Mrs. Brooklyn memberi perhatian penuh padanya kemudian di akhir kalimat, wanita itu mengangguk dengan penuh pemahaman. Meski kelihatan tenang di permukaan, Faith masih sanggup membaca keresahan dalam raut wajahnya dan ia semakin dibuat penasaran akan jawabannya. Selang beberapa menit, Faith usai memberi Mrs. Brooklyn pemahaman. Wanita itu meneguk secangkir tehnya ketika Faith menunggu jawaban. Ia meletakkan cangkir kembali kemudian mengaitkan jemarinya. "Itu.. Sudah sejak lama aku tidak berhubungan dengan akademi itu. Kau sebut siapa suamimu?" "Ian," jawab Faith, begitu melihat Mrs. Brooklyn mengernyitkan dahinya, Faith mencoba cara lain. "Ian Kite." "Kite?" Pemahaman segera melintas dalam benak Faith. "Ya." "Ah, Felix! Aku masih mengingatnya. Dia siswa baik yang ku kenal. Kami pernah berbicara dalam satu waktu, saat itu dia menyebutkan identitasnya padaku, dia berasal dari Memphis. Dia datang ke Texas untuk mencari pamannya dan aku mengenalinya sebagai remaja keturunan Spanyol yang sangat manis. Sayangnya.. Dia harus terlibat dalam akademi itu." Dahi Faith mengerut. "Ian juga mengatakan hal yang sama, tapi dia tidak pernah mengatakan soal akademi itu. Dia tidak menceritakan bagian dimana ia menjadi pelajar sebuah akademi dan aku benar-benar tidak mengerti mengapa kau menyesalinya?" Mrs. Brooklyn menelan liur. Pandangannya teralih pada lantai kayu di teras. "Jika aku mengatakannya, aku harap kau dapat menjamin kerahasiaan ini." Faith mengangguk dengan yakin. "Kau bisa memercayaiku." Mrs. Brooklyn menatap Faith lamat-lamat. "Mengapa kau begitu ingin mengetahuinya?" "Aku tidak tahu mengapa, aku hanya merasa bahwa aku tidak mengenali siapa pria yang aku nikahi. Aku berharap dia bersedia untuk bersikap terbuka padaku, tapi.. dia menolak untuk mengatakannya." "Aku pikir akan jadi hal yang wajar jika Felix memilih untuk tidak mengatakannya." Faith mencoba mengabaikan sebutan asing yang dikatakan Mrs. Brooklyn tentang Ian dan berusaha untuk fokus pada perbincangan mereka. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Dengar. Selama belasan tahun aku mengabdikan diri untuk bekerja disana. Itu adalah kesalahan terbesarku. Aku melihat dan membiarkan hal buruk terjadi tanpa melakukan apapun. Aku melihat murid yang kuasuh dibawa pergi dan aku tidak bisa berbuat apapun. Felix hanyalah satu dari sekian banyak muridku yang jadi korban. Aku tidak benar-benar mengenali muridku, mereka cukup banyak dan aku tidak bisa mendekatinya secara pribadi dalam waktu yang singkat. Tapi aku cukup mengenal suamimu. Aku ingat saat pertama kali datang. Dia datang bersama seorang pria sebagai perawat kuda, tapi kemudian dia dipilih untuk jadi bagian dari akademi dan bukan sekadar petugas perawat hewan. Felix senang sekali, ia menyambut tawaran itu dengan lapang dan dia berpikir bahwa dia akan menjadi pelajar yang lulus dengan nilai terbaik dan dia bisa melanjutkan hidupnya. Semua itu memang terjadi, sepanjang aku mendidiknya, dia adalah bocah yang luar biasa. Wawasannya luas dan kecintaannya pada ilmu pengetahuan sangat besar." Mrs. Brooklyn memberi jeda untuk mengatur nafasnya. Tatapannya terarah lurus ke depan dan emosinya kentara. "Pendidikan itu hanya berlangsung selama enam bulan penuh dan begitu tiba saatnya untuk melepas para pelajar, Felix menjadi satu dari belasan yang terpilih untuk menjalani tour singkatnya. Anak-anak itu dijanjikan sebuah tur singkat yang menyenangkan dan aku tau mereka tidak akan menolak. Semua terjadi seolah mereka akan menikmati kebahagiaan, tapi semua tidak murni seperti itu." "Kemana dia dibawa pergi?" Faith mulai merasa tidak enak pada perutnya. Pertanyaannya kali ini membuat Mrs. Brooklyn menunduk. Wanita itu memberi jeda sebelum menguak faktanya. "Ke suatu tempat perbudakan." Faith merasakan darahnya naik hingga keubun-ubun dan bulu romanya meremang. Matanya membeliak sempurna dan untuk menutupi rasa kalutnya, Faith mencengkram tepian kursi erat-erat. "Apa yang terjadi?" Mrs. Brooklyn menggeleng. Matanya terpejam dan dari cara wanita itu menutup kelopak matanya, Faith segera tahu bahwa Mrs. Brooklyn berusaha keras untuk mengendalikan emosinya. Sebagai bentuk kepedulian, Faith meletakkan satu tangannya untuk menangkup punggung tangan wanita itu. Ia tersenyum dan tangannya memberi kehangatan tersendiri bagi Mrs. Brooklyn. "Aku tidak bisa menjelaskannya padamu," putus Mrs. Brooklyn. "Mengapa?" Wajah Mrs. Brooklyn merah padam. Ketika menatap Faith, ada pancaran kebencian disana. "Karena aku tidak ingin mengingat wajah b******n itu lagi." Faith mencoba memahami emosi yang melintas dan mengerti apa yang dikatakan wanita itu namun hasilnya nihil sampai Faith melihat air mata yang tertahan di pelupuk matanya kemudian Mrs. Brooklyn angkat bicara. "Semua ini salahku. Aku tidak pernah berpikir akan menikahi pria sebejat itu. Dan betapa bodohnya aku karena ikut berperan dalam permainan gilanya. Suamiku bekerja untuk tempat p********n itu dan dia memengaruhiku hingga aku terlibat sebagai pengajar di akademi. Aku tahu seluk beluknya aku tahu persis kemana para pelajarku yang malang berakhir tapi aku tidak pernah mengatakannya pada siapapun. Hanya beberapa orang dalam akademi itu yang mengetahui ini dan mereka menjalin kerjasama. Yang mereka harapkan hanyalah keuntungan dan kesenangan b***t. Mereka membuat anak-anak malang itu mengalami kejadian yang sangat tidak pantas. Mereka keji. Tapi aku sudah bersumpah untuk menutup mulut pada publik. Suamiku mengancam akan membuat Laura, satu-satunya putri yang kumiliki memiliki pengalaman yang sama buruknya jika aku bicara dan aku tidak berharap hal itu akan terjadi. Laura putriku satu-satunya, aku mencintainya lebih dari apapun. Aku bercerai dengan suamiku dan meninggalkan akademi itu. Kemudian aku pindah ke New York untuk kehidupan baruku. Saat ini aku sudah tidak berniat mengingat semuanya lagi. Jika kau masih berharap lebih dari yang bisa ku katakan, kau harus membicarakannya langsung dengan Felix." Faith meremas punggung tangan Mrs. Brooklyn dengan lembut dan tersenyum lesu. "Ini kesalahanku. Maaf jika aku membuatmu kembali mengingat apa yang sudah kau kubur selama bertahun-tahun. Aku sangat menyesal untuk itu." Mrs. Brooklyn meletakkan satu tangannya yang bebas di atas punggung tangan Faith dan mulai luluh. "Tidak masalah selama itu bisa membantumu. Dengar, aku mengenal murid-muridku, aku mengenal Felix dan aku tahu dia pria yang baik. Pengalamannya mungkin buruk tapi aku kagum karena dari sekian banyak muridku yang jadi korban, dia sanggup keluar dari kegelapannya dan hidup kembali. Fakta itu saja sudah membuatku merasa lebih baik. Aku harap kau tidak mengatakan soal aku. Aku tidak berharap dia mengingat masa-masa kelamnya di akademi itu lagi. Semuanya sudah cukup sampai disini." Faith mengangguk, paham. "Aku mengerti." "Suamiku pernah menyumpah ketika mendengar kabar bahwa ada beberapa anak yang berhasil melarikan diri dari penyiksaan mereka. Sekarang aku tahu bahwa Felix menjadi salah satunya dan itu membuatku semakin mengangguminya. Dia bukan pria yang mudah, dia akan bertahan selama dia mampu melakukannya." Yang diketahui Faith bahwa pernyataan itu benar adanya dan Faith semakin mengerti. Ia mengangguk pada Mrs. Brooklyn, tersenyum dan berpikir untuk mengakhiri perbincangannya. "Aku pikir semuanya sudah selesai. Merupakan sebuah Aku berterima kasih kau bersedia menerima dan menjawab semua pertanyaanku." "Ya, itu tidak masalah." Faith berdiri, Mrs. Brooklyn menyusul pada detik berikutnya. Faith merasa lebih baik ketika wanita itu menggenggam tangannya erat-erat sambil berpesan, "aku tidak pernah terpikir akan berjumpa dengan istri dari pelajar yang kukagumi. Senang bertemu denganmu." Faith ikut tersenyum. "Aku juga begitu. Aku harus pergi. Terima kasih untuk semuanya." Mrs. Brooklyn menyerukan nama Laura yang dalam hitungan detik segera bergabung. Wanita puruh baya itu meminta putrinya untuk mengantar Faith kembali dan Laura menurut. Faith sudah berada di jeep-nya sepuluh menit kemudian. Ia mengendara menuju jalan bebas dan sepanjang perjalanan itu, pertanyaan yang bergelayutan membuatnya semakin penasaran. Dari apa yang telah diungkapkan Mrs. Brooklyn, Faith telah menguak sebagian fakta yang ada. Namun hanya sebagian. Ian tidak mungkin bersedia mengatakan sebagian yang lain karena seperti yang dikatakan Mrs. Brooklyn bahwa lelaki itu akan menunjukan reaksi traumatis yang dalam. Tapi, Faith berniat mengenali Ian lebih jauh. Jadi ia akan mencoba cara lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN