13

4453 Kata
Paginya, Faith bangun beberapa menit lebih cepat dari Ian. Setelah berendam, Faith merasa lebih baik sekaligus lebih segar. Ia mengenakan setelan sederhana berwarna khaki dan celana denim hitam. Sekujur tubuhnya tampak kosong tanpa aksesori. Meski hanya memoleskan sedikit alat kosmetik di wajahnya, Faith masih tampak menarik dengan rambut ikal panjang yang tergerai di belakang bahunya. Faith tengah berkutat dengan adonan kue dan oven ketika Ian menuju konter di dapur. Ian berdiri membatu di lorong pembatas begitu melihat istrinya berkutat dengan buku resep masakan. Rambut cokelat Faith digelung ke atas, tubuhnya ditutupi celemek berwarna putih polos. Ketika wanita itu menyampirkan helai rambut yang terlepas dari ikatan ke telinga, sisa adonan di tangannya mengenai wajah. Ian tidak bisa menahan senyumnya setelah melihat pemandangan itu. Bunyi oven mengalihkan perhatian Ian yang dengan segera beranjak untuk bergabung. Ian menarik sebuah kursi dan dalam prosesnya telah mengalihkan perhatian Faith. Begitu ia sudah mengambil posisi duduk, Ian bertemu tatap dengan Faith. Faith tersenyum lebar, Ian mengangkat kedua alisnya. "Butuh bantuan?” Faith memilih untuk tidak menggubris pertanyaan itu saat mengatakan, "kau sudah bangun rupanya.” Faith meletakkan buku resepnya, menari satu kursi lain dan berhadap-hadapan dengan Ian. Dengan wajah bersemi, Faith bicara, "pagi ini kau tidak perlu menyiapkan sarapan lagi." Ian meragukannya. Aroma lezat dari adonan di pematang mulai tercium. "Kue tar?" Faith mengangguk dengan antusias. "Spesial untukmu. Sejauh ini aku hanya mengonsumsinya, sekarang aku sudah belajar untuk memproduksi kue buatanku sendiri." "Aku harap kau tidak meletakkan terlalu banyak gula dalam adonannya," goda Ian dan Faith tertawa. "Aku tidak bisa jamin." "Aku pikir aku akan tetap mencobanya," aroma lain menyeruak masuk ke dalam indra penciuman mereka. Ian tertegun, kelihatan menimbang sebentar sebelum angkat bicara, "berapa lama waktu yang kau ambil untuk meletakkan adonannya ke dalam pemanggang?" "Tiga puluh.. Oh, mungkin empat puluh menit." Mata Ian membeliak penuh. "Mungkin rasanya akan sedikit berbeda." Begitu menyadarinya Faith segera menghambur menuju alat pemanggangan, mematikan mesinnya dan meringis begitu mengeluarkan kue tar berwarna kecokelatan. Ia membawanya ke hadapan Ian, duduk dengan wajah masam. Mereka tidak bicara dan sejauh itu juga Ian hanya diam memerhatikan kue buatan Faith. Menatap Faith kemudian Ian meraih krim dalam plastik yang sudah disiapkan, semangkuk kismis dan cokelat cair. Tindakannya lantas mendapat perhatian penuh dari Faith. "Kita hanya perlu menambahkan sedikit sentuhan untuk kelezatannya," kata Ian sembari memoleskan krim vanila ditambah dengan coklat dan kismis. Faith tersenyum, merasa terenyuh ketika dengan sabar Ian memotong bagian kue dan melahapnya sampai hambis. Ian tidak bicara, setidaknya sampai potongan kuenya masuk ke kerongkongan. Lelaki itu tidak mengunjukkan kesulitan ketika menelan habis jatahnya sebelum menyuguhkan senyum manis di hadapan Faith. "Siapa bilang bebas gula itu menyenangkan? Kuemu lebih dari yang kuharapkan." Bahkan, ketika Faith melihat bagaimana bentuk dan warna kuenya, ia sangat merasa terusik. Ian mengambil satu potongan lagi, melahapnya dengan ringan sebelum pintu kamar terbuka dan Hope bergabung dengan mereka. Hope kelihatan kacau dengan rambut berantakan dan riasan wajah bekas semalam. Wanita itu datang dengan pakaian minim yang melekat erat hingga membentuk posturnya yang berisi. Kemudian celana setinggi paha yang dikenakannya semakin membuat Ian merasa risih begitu mendapati Hope duduk bersebelahan dengannya di konter. Faith juga tampak membisu. Bahkan ketika Hope menyapa, Faith hanya memberi anggukan kecil. Ia merasakan sekelibat emosi yang berkecamuk begitu Hope mendaratkan kecupan singkat di wajah Ian dan berniat menggodanya. Ian terkesiap di tempatnya, merasa takut untuk menatap Faith dan disatu waktu merasa perlu memberi Hope peringatan. Alih-alih ia hanya duduk diam di tempatnya, dengan sisa potongan kue di satu tangan. "Hai, darling. Bukankah ini pagi yang cerah?" Faith mengangguk lagi, berusaha mengabaikan pemandangan ketika wanita lain mencium suaminya. Hope tidak meminta izin ketika meraih potngan kue dan melahapnya sambil bergumam, "ide untuk memulai pagi dengan kue tar terasa menyenangkan." Dan tidak membutuhkan banyak waktu bagi Hope untuk menghentikan pergerakan mulutnya dan memuntahkan kembali seisi mulutnya dalam kantong muntah di konter. Matanya membeliak sempurna. "Astaga apa yang kau panggang itu? Racun?" Faith menatap Ian dan lelaki itu hanya diam sembari memasukkan potongan terakhir ke dalam mulutnya. "Bagaimana rasanya?" tanya Faith kemudian. "Terlalu banyak gula, dan dipanggang dengan sangat masak hingga rasanya lebih pahit dari obat racikan. Aku pernah memakan yang sepertu ini. Astaga, perutku bisa berkontraksi lagi." Ian menatap Hope dengan kesal, tapi pandangan Faith terperangkap pada wajahnya dan Ian tidak sanggup berkata apa-apa. Hope berlari ke lemari pendingin, mencari sebotol s**u dan meneguknya dengan cepat. "Aku pikir aku perlu menyelesaikan kontraksi dalam perutku." Kemudian wanita itu berlalu pergi begitu saja, meninggalkan kedua pasangan itu. Faith tidak menunggu Ian ketika angkat bicara, "kenapa kau menghabiskannya untuk dirimu sendiri?" "Kuemu enak," tutur Ian dengan suara yang meyakinkan. Tatapan Faith kosong, tidak ada senyum yang terulas di wajahnya. Wanita itu tidak terlihat senang seperti beberapa menit yang lalu. "Kau bisa saja sakit." "Kau tidak mencampurkan racun dalam adonannya, kan? Mengapa aku harus takut? Lagipula aku menyukainya." pertanyaan Ian berkesan retoris dan pengakuannya jelas berbanding terbalik dengan fakta yang ada. Menghela nafas, Faith menarik sisa kuenya, memasukan sisa kue itu ke dalam bak sampah dengan cepat bahkan sebelum Ian sempat mencegahnya. "Apa yang kau lakukan?" "Kueku bisa saja memicu diabetes." Ian menyetujuinya, “memang. Tapi aku hanya akan memakan yang seperti itu sekali. Kalau aku tinggal bersama istriku dan tidak pernah mencoba masakannya, itu akan buruk sekali.” "Aku menghargai usahamu." Ian tertawa miris. "Baik jika itu yang kau mau. Anggaplah aku mengalami berapa besar kerugian untuk adonan, kismis serta cokelatnya?" "Harganya tidak mahal!" gerutu Faith. Ian mengangguk dan Faith tersenyum. "Lain kali, sebaiknya kau tidak perlu menyenangkanku.” Ian tersenyum miris. “Aku mengatakan yang sebenarnya.” Tapi Faith menolak untuk mengacuhkannya ketika berkata, “Ian.. aku harus pergi." Pernyataan yang dihanturkan Faith mendapat perhatian Ian. "Kau bilang apa?" "Aku harus menemui Mike," bahu Ian merosot namun wajahnya setenang air. Ian pikir semuanya sudah berakhir. "Aku belum bicara dengan Mike hingga saat ini. Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja," jelas Faith dan Ian - tanpa berpikir panjang - segera mengangguk. "Apa tidak sebaiknya aku mengantarmu?" Faith tidak berharap mempertemukan Ian dengan Mike. Faith tidak mengharapkan perseteruan apapun yang terjadi. "Tidak. Tidak perlu. Aku akan mengemudi sendiri. Aku akan menghubungimu jika butuh sesuatu." "Menurutmu begitu?" Faith mengangguk dan Ian menghela nafas. "Kalau kau berjanji akan kembali dalam keadaan seperti semula," "Akan kuusahakan." Tapi itu bukan janji. Ian merasa berat hati, tapi tindakannya kontras. Ia mengangguk dan Faith tersenyum. *** Siangnya Faith tiba di halaman depan vila yang ditempati Mike. Faith segera turun dari cadillac kemudian berjalan ke ambang pintu. Vila itu tampak senyap. Suasananya hening, beberapa daun kering bertebaran di halaman depan. Kolam yang terdapat di sudut digenangi air yang hampir keruh dan jendela rumah terbelalak. Faith segera memutuskan untuk mengetuk pintu. Pada ketukan pertama, tidak ada jawaban. Faith mencobanya untuk kali kedua dan ketika itu juga seorang wanita bertubuh kurus dengan tinggi mencapai seratus tujuhpuluh sentimeter, membukakan pintu untuknya. Faith terperanjat di tempat ketika wanita berambut merah mencolok dengan blus berwarna biru navy sepanjang lutut dan bot hitam memandang dan mencoba mengenalinya. Faith sempat berpikir bahwa ia mengetuk pintu yang salah, tapi otaknya memproses dengan cepat dan ia segera sadar bahwa tidak ada yang salah dengan dirinya - kecuali wanita berambut pirang yang berdiri di ambang pintu dengan yang melihatnya dengan tatapan mengintimidasi. "Maaf?" suara wanita itu kental dan aksennya khas. Berbanding terbalik dengan penampilannya yang feminin. Tubuhnya kurus dengan d**a dan bagian b****g yang penuh. Wanita itu memiliki mata besar dan bibir tipis serta hidung bengkok. Warna kulitnya putih dengan hiasan tato di seputar lehernya. Faith baru berniat untuk angkat bicara ketika Mike muncul di ambang pintu dan segera menengahi keduanya. Senyum Mike kelihatan sangat dipaksakan dan Faith mampu membaca kerutan sebagai tanda gelisah dalam tatapan Mike. "Faith?" Mike berpaling sejenak pada wanita di sampingnya, memberi isyarat hingga wanita itu berlalu pergi keluar tanpa bicara banyak. Faith tidak bicara, tatapannya mengekor bagian punggung wanita itu hingga menghilang di balik pagar pembatas. Berbalik, Faith mulai menghadapi Mike. "Apa aku mengenalnya?" "Emily klienku. Dia datang untuk mengajukan pembatalan travel. Dia pernah menjadi anggota Silvertour sebelum mengeluarkan diri dan pindah ke Memphis." Faith mengangguk, merasa tidak sanggup memilin kata-kata lagi. "Kenapa kau datang, Faith?" Kembali menatap Mike, Faith memberi jeda sebelum menjawab, "aku hanya merasa perlu menemuimu." Mike mengangkat satu alisnya, bibirnya membentuk satu gatis tipis dan mata birunya menjarah Faith, "aku pikir kau sudah mengusir aku jauh dari hidupmu?" Mike merancu. Sepanjang perjalanan, Faith berharap Mike tidak membahas apa yang telah terjadi sebelumnya. "Mike, aku minta maaf. Aku bisa jelaskan semuanya padamu." "Bagaimana kau bisa berpikir aku akan mendengar penjelasanmu. Kau jelas-jelas telah menolakku malam itu dan itu berarti kau sudah tidak menginginkan aku lagi." "Bukan itu. Aku hanya tidak bisa berpikir baik saat kau datang. Aku hanya terlalu lelah dan aku mengatakan semua hal yang tidak benar-benar aku pikirkan." Mike menatap Faith sejenak. Bertolak pinggang dengan caranya yang khas sebelum meraih kedua bahu Faith dan mulai berbicara dengan lembut, "apa kau ingin aku pergi, Faith? Aku tidak akan mengacau atau mengganggumu lagi jika kau ingin. Mungkin kau lebih suka membagi waktumu dengan dokter ahli bedah itu." "Apa yang kau bicarakan, Mike?" "Aku mencintaimu, Faith. Kau tahu itu. Tapi aku tidak bisa terus berada di dekatmu kalau kau menolakku, kan?" Apa yang dipikirkan Mike tidak mampu diserap oleh Faith dengan baik. Hal itu terbukti ketika Faith dengan tegas menolak. "Ini tidak ada kaitannya dengan apapun yang kau bicarakan. Kau tidak bisa langsung menyimpulkan begitu." Mike mengangkat bahu, memiringkan sedikit wajahnya. "Lalu bagaimana? Bagiku semuanya sudah sangat jelas, dan aku sudah memutuskan untuk kembali." "Apa?" Mike mengabaikan Faith sambil lalu, berbalik ia beranjak masuk ke dalam rumah dan membiarkan Faith mengekor di belakang. Mike berhenti di ruang utama untuk membenahi beberapa barangnya kemudian memasukkan barang tersebut ke dalam koper. Sementara itu, Faith terus berusaha untuk bicara dengannya. "Mike, apa kau serius? Tolong, pikirkan lagi. Aku tidak benar-benar serius soal malam itu." "Maafkan aku Faith, tapi kau menyinggung perasaanku." "Demi Tuhan, Ian juga ada disana!" ujar Faith, nada suaranya meninggi beberapa oktaf. "Bisa kau pikirkan posisi Ian seandainya aku membiarkanmu?" Sejenak Mike menghentikan pergerakannya, matanya menatap lurus ke arah Faith dan tubuhnya kaku. "Lantas kenapa? Kau yang bilang kalau dia yang membuat kesepakatan ini, kan? Kapan aku pernah menyetujuinya? Dan sekarang, kau meminta aku untuk menghargai pria itu? Suamimu?" "Mike.." "Tidak Faith," Mike meninggalkan Faith, beranjak menuju lemari dan memilin beberapa porselen miliknya yang ia tinggalkan. Dalam beberapa detik Faith sudah menyusul di belakang. "Biarkan ini jadi kesepakatan kita." Pergerakan Mike terhenti untuk kali kedua. Dahinya mengernyit dan kedua matanya menyipit ketika ia berbalik untuk menatap wanita di belakangnya. "Apa maksudmu?" "Aku tidak tahu kapan semua ini akan berakhir tapi aku mohon berikan aku satu kesempatan lagi." Terjadi keheningan dalam beberapa saat. Wajah Mike diam tanpa ekspresi dan Faith berusaha menatapnya dengan penuh harap. Tidak ada senyum yang mengambang di wajah Mike, seperti yang selalu dilihatnya, ketika pria itu mengalungkan lengannya ke seputar pinggul Faith dan menarik Faith mendekat. Mike memberinya ciuman singkat dan Faith merasakan sensasi yang berbeda dari yang sudah-sudah. Perasaan buruk menguasainya. Faith tidak membiarkan semua itu berlangsung lama ketika serangan perasaan asing mulai melanda. Ia menarik diri secepat mungkin kemudian menatap Mike hingga membuat lelaki itu luluh. "Katakan Faith, apa kau mencintaiku?" Faith meragukan perasaannya, namun ia juga tidak bisa menghentikan dirinya ketika berujar, "ya, aku mencintaimu." Mike mengangguk, melepas genggamannya dari tubuh Faith sebelum menarik wanita itu lagi dan memeluknya. Wajah Mike tenggelam di dalam kelembutan rambut gelap Faith dan ia menghela nafas. *** Sore menjelang malam Ian hanya sanggup duduk di atas meja makan dan mengaduk santapannya sambil terus berpikir. Jasadnya ada di tempat, namun pikirannya sudah melayang jauh entah kemana. Hope duduk di seberang, tampak antusias dengan santapannya selagi Ian melamun. Baru setelah makanannya habis, Hope mulai memerhatikan Ian. Lelaki itu tidak sedikitpun menyentuh jatah makanannya, selain berusaha menghancurkan estetika dengan mengaduknya. Setelah semenit penuh, Hope baru berani menegur Ian. "Kit!" seruannya membuat Ian menatapnya secara spontan. "Apa yang kau pikirkan?" Ian menunduk, merasa jengah dengan dirinya. "Bukan apapun." Ketika ia berusaha mengaduk makanannya kembali, Hope menangkup punggung tangannya dengan keras sampai ia harus menengadah untuk melihat bagaimana wanita itu menuntut jawaban dari tatapannya. “Apa yang kubilamg soal 'jangan ikut campur?'" "Sebaiknya kau pergi menyusul istrimu." "Faith mungkin tidak akan suka jika aku bergabung." "Omong kosong." Tatapan Ian menjadi semakin intens. Ekspresinya tampak kaku dan garis wajahnya tegas. "Kau pikir aku akan mendengarmu?" Hope mendorong kursi ke belakang, berdiri menjulang di hadapan Ian hingga Ian harus menegadah agar dapat menatapmya secara langsung. Ian bergeming ketika Hope membuka celah kemejanya hingga menyibak pakaian dalam yang berwarna merah menyala dan tulang selangka yang dipenuhi tato. Ekspresi Ian menjadi sekeras batu, meski begitu tatapannya tidak pernah lepas dari Hope. Bahkan, ketika Hope tersenyum dan mulai mendekat untuk menggodanya. "Kalau begitu apa yang bisa kita lakukan malam ini, bos? Coba pikirkan hal-hal yang menyenangkan." Ian mendengus muak, membuang wajah dan tatapannya dari Hope sebelum mendorong kursi ke belakang dan berdiri tegap. "Aku pikir aku sudah tidak lapar." Pikiran Ian sudah kalut dan Hope terus mengacau. Hope menahan lengan Ian membawanya mendekat dan menggoda rahang Ian dengan embusan nafas yang terasa panas. "Faith tidak ada di sini." Ian menahan Hope di tempat, satu tangannya berusaha melepaskan diri dari tangan Hope yang menggerayang. "Aku tidak membayarmu untuk ini!" geram Ian, tapi Hope tidak berhenti. Bahkan wanita itu membisikan sesuatu dengan lembut ke telinganya. "Aku tidak pernah mencobanya tanpa pengaman." "Kalau begitu kau harus menundanya begitu ada target yang tepat." Hope baru akan mencium Ian sebelum Ian menarik diri dengan kasar. Rahangnya berdenyut dan tatapannya tajam. Ian sanggup merasakan wajahnya merah padam, tapi ia tidak menemukan penyesalan sedikitpun dalam raut wajah Hope. "Terkadang aku harus bersikap kasar untuk membuatmu berpikir dengan otakmu," kata Ian. "Maaf jika aku menolakmu. Percayalah, kau wanita yang menarik Hope, tidak ada pria yang mampu untuk menolakmu, tapi kau juga harus mengerti. Yang kuinginkan hanyalah Faith." Dan demikian itu menjadi hal terakhir yang dikatakan Ian sebelum memutuskan untuk pergi meninggalkan Hope di tempat. Ia mengambil mantelnya, beranjak keluar dan membanting pintu di belakangnya kemudian mengendarai SUV miliknya menjumpai langit gelap di kota Memphis. *** Mike menghentikan cadillac tua yang mereka kendarai di depan sebuah bar. Ia memilih tempat parkir yang strategis, tepat di antara celah pembatas yang memisahkan mobil hitam mulus dengan jeep besar. Di depannya terdapat papan dengan tulisan 'jalur terbuka di sepanjang jalan' yang dicetak dengan huruf besar. Kemudian Faith menyapukan pandangannya ke sekitar. Langit gelap telah menutup warna kota, digantikan oleh cahaya gemerlap dari lampu-lampu di sudit jalan. Pohon-pohon berbaris rapi sepanjang jalur pembatas dan tak jauh disana terdapat sebuah bangunan tertutup yang dipenuhi oleh cahaya temaram. Di kedua sisinya terdapat sebuah dinding pembatas berwarna hitam pekat dan di sudut paling kiri, tepat di ambang pintu kedua, seseorag yang usil menuliskan kata 'tidak ada uang, tidak ada seks' secara gamblang. Faith merasa terusik saat melihatnya. Awalnya Faith ragu, namun ia tidak menghentikan langkahnya ketika turun dari dalam mobil bersama Mike dengan setelan blus merah dan rok terusan dari gaun setinggi lutut yang dikenakanya. Faith membiarkan rambutmya tergerai indah di belakang, membingkai wajah dan memperlembut aura cantiknya. Mike menunggu Faith sampai di sampingnya sebelum meraih lengan wanita itu dan mendekapnya dari samping. Mike membawa Faith melangkah maju mendekati gedung dengan cahaya temaram yang tampak sunyi dan senyap, namun mengukur jarak dan tempat dimana mereka berada, Faith masih sanggup mendengar suara musik yang menggema keras di dalam bagunan. Keraguan Faith kian memuncak begitu ia menangkap pemandangan sepasang kekasih yang tengah berseteru di dekat dinding pembatas. Pria berambut hitam dengan kulit gelap itu tampak memaksakan diri pada wanita pirang bertubuh mungil. Wanita itu mengenakan riasan gelap yang membuat wajahnya hampir terlihat seperti paranormal juga dilengkapi oleh anting di hidung dan tato di seputar lengannya yang terekspos. Wanita itu jauh berbeda jika dibandingkan dengan kesan orang saat pertama kali melihat penampilannya, wanita itu tampak rapuh ketika pria betubuh besar mendesaknya ke tebing dan memaksakan diri. Dengan usaha keras, Faith mengaibaikan pemandangan di sekitarnya dan hanya berjalan mengikuti kemana langkah kaki Mike membawanya. "Kenapa kau membawaku kesini?" tanya Faith akhirnya. Mike tersenyum sejenak sebelum bicara, "kita butuh sedikit hiburan, kan? Tenangkan dirimu untuk sejenak saja. Kita akan memesan beberapa botol wiski untuk malam ini. Dan kali ini, aku yang traktir." Faith teringat akan Ian, semua ocehan lelaki itu tentang bir dan kesehatan. Faith tidak tahu fakta mana yang lebih mengejutkannya: bahwa ia peduli, atau fakta bahwa ia tidak berniat meneguk alkohol jenis apapun lagi. Tapi Faith memilih untuk membungkam. Ia tidak berniat untuk menolak Mike dan membuat lelaki itu tersinggung, tidak untuk saat ini. Jadi, Faith diam seribu bahasa ketika Mike membimbingnya masuk di antara rerumunan orang di bar. Ruangan itu padat, dipenuhi oleh gemerlap dari cahaya lampu yang redup redam, Musiknya menggema begitu keras sampai Faith bisa merasakan bulu romanya bergetar. Faith merapat pada lengan Mike, diam ketika lelaki itu membawanya menembus kerumunan dan hanya sanggup menjaga langkahnya. Mike berhenti di depan sofa berwarna biru dengan dua pasangan yang telah menghuni jauh sebelum mereka tiba. Kedua pasangan itu tampak sedang b******u ketika Faith dan Mike bergabung. Hal itu tidak begitu mengejutkan Faith mengingat dimana ia berada. Yang mengejutkan Faith adalah fakta bahwa kedua pasangan itu tidak lain tidak bukan adalah relasi Mike di Memphis. Faith tidak tahu lagi dan tidak bisa menduga seberapa banyak relasi yang Mike kenal di penjuru kota. Mike menarik Faith untuk duduk di sebelahnya sebelum memesan wiski pada pelayan. Pelayan kemudian datang lebih cepat dengan dua botol wiski dilengkapi dua gelas kosong. Mike menawarkan Faith dan Faith hanya mengangguk, merasa tidak sanggup menemukan kata yang tepat untuk menolak, alih-alih Faith hanya mengenggam cangkir berisi alkohol miliknya sembari menatap ke sekitar tanpa berniat meneguk alkoholnya. Faith butuh agar dirinya tetap sadar. Setidaknya untuk saat itu saja. Faith hanya diam memerhatikan ketika Mike mulai brrbincang-bincang dengan kedua relasinya. Tak seperti dirinya, Mike tampak santai, senyumnya lebar ketika dua wanita di sofa menatap ke arahnya. "Aku bisa saja menghabiskan malamku disini, tapi sepertinya kau akan tetap tinggal," goda Mike pada salah seorang relasinya yang dikenali Faith sebagai Fredd. Sementara satu yang lain adalah Aaron. Sesekali Faith melirik ke arah mereka, merasa terusik begitu menjumpai tatapan Aaron yang begitu intens. Aaron memberi Faith senyuman lebar dan Faith hanya mengangguk sesekali, merasa malu setelah melihat bagaimana pria itu menatapnya. Mike masih berusaha menggoda Fredd, sesekali Aaron menimpali, namun lelaki itu juga tidak berhenti menatap Faith. Faith mulai merasa resah. Sebagian dari dirinya berharap agar ia bisa pergi jauh dari tempat itu, namun sebagian yang lain menolak untuk bekerja sama dan memilih untuk diam di tempat. "Kekasihmu pendiam sekali," komentar Fredd, dan Faith langsung mengalihkan pandangan awasnya dari Aaron. Faith dengan gugup mencoba bersikap wajar, terutama ketika Mike mulai memerhatikannya dan mendekat untuk berbisik. "Apa kau baik-baik saja?" Faith ragu tapi ia mengangguk, menelan liurnya ketika Mike meraih segelas alkohol yang masih penuh di tangannya. "Ada apa?" tanya Mike kemudian. "Apa kau tidak suka wiski?" "Aku hanya merasa perlu pergi ke toilet. Dimana aku bisa menemukan toiletnya?" "Berjalan lurus dari sini kemudian berbelok di lorong." Faith mengangguk, menatap Aaron untuk terakhir kalinya sebelum beranjak pergi meninggalkan Mike. Semenit setelah kepergiannya, Aaron menyusul dengan alasan yang sama. Kaca di toilet tampak kumuh dan aromanya berbau busuk. Wangi bir dan seks bertebaran di penjuru tempat. Hal itu membuat Faith merasa terusik dan disatu waktu merasa perlu untuk segera keluar. Namun, Faith belum siap menghadapi Mike dan dua relasinya lagi. Belum siap untuk bergabung dengan para penggila seks dan bir di ruangan yang kedap. Jadi Faith hanya diam dan berkaca, berharap ia bisa kembali dan mengalami perbincangan singkat dengan Ian seperti yang selalu mereka lakukan beberapa hari belakangan. Tiba-tiba, hasrat untuk menemui Ian membubuh dalam benaknya. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin di tanyakannya. Faith ingin tahu lebih banyak tentang Ian dan kehidupannya, merasa haus akan pengetahuannya yang dangkal seputar kesehatan, merasa perlu untuk menulis walau hanya satu paragraf dan merasa perlu untuk membicarakan rencananya seputar usaha hortikultura pada Ian. Dan dengan semua pemikiran itu, senyum Faith kembali merekah. Ia mungkin dapat mencari alasan agar Mike membawanya kembali secepat mungkin. Begitu hasratnya membubuh, Faith tidak ragu-ragu ketika melangkahkan kakinya keluar dari pintu toilet. Faith berjalan menyusuri lorong pertama, baru akan kembali bergabung sebelum mendapati Aaron tengah bersandar di dinding pembatas dan menghalanginya. Tatapan Aaron bertemu dengan tatapan Faith dan senyum buas terulas di wajah lelaki bertubuh besar dengan rambut kecokelatan itu. Kulit Aaron pucat dan di sepanjang hidungnya terdapat bekas luka baret. Aaron adalah pria yang menjulang tinggi, dengan tubuh besarnya, Aaron mampu mendominasi sebagian jalur di lorong sehingga kecil kemungkinan bagi Faith untuk dapat bebes tanpa terlibat percakapan sedikitpun dengan pria itu. Fakta bahwa Aaron ada di hadapannya, berusaha menghadangnya dengan tatapan yang mengatakan-temani-aku-malam-ini, membuat Faith berdiri kaku di tempat. Diluar sadar, kedua tangannya sudah terkepal dan emosi di wajahnya tampak kentara. "Permisi!" ujar Faith dengan suara datar yang tidak dilebih-lebihkan. Usahanya terasa sia-sia ketika Aaron tidak menyingkir, justru lelaki itu berjalan mendekat dan membuat Faith bersikap waspada dengan mengambil satu langkah ke belakang. "Aku tidak berharap melibatkan Mike karena hal sesepele ini, tapi bisa kau beri aku jalan? Aku akan sangat menghargai tindakan itu." Aaron tidak mengacuhkannya dan jantung Faith berdegup semakin cepat. Faith mampu merasakan aliran darah dan denyut nadinya dalam situasi mencekam itu. Aaron melangkah mendekat dan secara beriringan Faith melangkah mundur. Faith mulai panik, pandangannya menyapu sekitar, merasa resah ketika tak menemukan seorangpun yang berlalu lalang disana. Harapannya untuk kabur pupus begitu ia mengambil satu langah terakhir dan punggungnya membentur dinding di lorong. Aaron tersenyum lebar, lelaki itu mengangkat kedua tangan besarnya untuk memerangkap Faith di dinding dan sejenak Faith melihat kilau melintas dimata obsidian itu. "Ah, kau cantik sekali," setelah beberapa detik Aaron baru bicara. "Berapa tarif yang kau pasang untuk Mike? Bagaimana dia sanggup membayarmu sementata utang-utangnya menumpuk?" Faith berusaha menahan lengan pria itu dan membebaskan dirinya ketika Aaron semakin mendekat. "Mike tidak membayarku dan aku bukan pelacurnya. Hubungan kami lebih baik dari itu." Aaron tertawa rendah, tawanya lebih mirip dengusan dan suaranya berat. "Jika kau benar, dia tidak akan membawamu kemari." Seharusnya Faith tidak peduli."Apa maksudmu?" "Kau tahu apa maksudku." Faith membuang tatapannya dari Aaron. "Aku pikir kau teman baiknya." "Itu memang benar. Kami sudah beberapa tahun berteman." "Kalau begitu kau tentu tidak ingin bermasalah dengannya." Aaron tertawa lagi. "Tidak dalam hal ini, sayang." Kemudian Aaron menenggelamkan wajahnya pada sisi rambut Faith dan disaat yang bersamaan, Faith hanya sanggup berteriak, berharap Mike atau seseorang dapat menolongnya. Namun, tindakan itu justru memancing amarah Aaron hingga membuatnya mendekap mulut Faith dengan satu tangan dan memberikan pelototan sengit. Aaron kemudian menariknya, membawanya keluar secara diam-diam melalui pintu belakang. Faith sudah berusaha memeberontak, namun tangannya terlalu kecil dan berat tubuhnya tidak lebih dari setengah berat tubuh Aaron hingga ia tak kuasa melepaskan diri. Aaron membawa Faith ke bagian belakang gedung, mendorongnya ke dinding dan membuat Faith mati rasa ketika kepala bagian belakangnya membentur suatu benda padat di belakangnya dengan benturan yang amat kasar. Faith meraih ke belakang kepalanya, meringis ketika merasakan cairan hangat di sana, tapi penyiksaannya tidak berhenti sampai disitu. Faith berusaha mencegah Aaron ketika lelaki itu hendak menciumnya. Faith terus menghindar dan memberontak. Namun, ia juga tidak sanggup membebaskan dirinya dari cengkaraman kuat Aaron. Satu tangan Aaron yang terangkat berusaha menyibak blus yang dikenakan Faith dan sampai saat itu, Faith masih sanggup memghindar. Dalam usahanya, ia justru membuat sebagian blusnya sobek hingga mengekspos lebih banyak bagian tubuhnya. Aaron kemudian mengerahkan tangannya untuk mengangkat rok yang dikenakan Faith dan ketika Faith merasa tidak sanggup melakukan lebih dengan sisa tenaganya, Faith berteriak lebih keras. Faith bisa merasakan tangan Aaron menangkup bokongmya sebelum segala kesakitan itu ditarik darinya secara tiba-tiba dan suara pukulan keras terdengar sampai ke telinganya. Pandangan Faith kabur, samar-samar ia sanggup mengenali sosok lain yang menjulang tinggi disana, sedang berusaha memberi tinju keras yang tiada henti pada wajah dan bagian perut Aaron. Pria itu terlihat seperti setan yang mengamuk, matanya dipenuhi amarah dan tangannya tidak bisa berhenti untuk memukuli bagian tubuh Aaron hingga darah segar mengalir dari hidungnya. Baru setelah Aaron jatuh terkujur lemas dengan luka berdarah di wajahnya yang memar, lelaki itu menghentikan aksinya. Kepala Faith berdenyut-denyut dan samar-samar ia mendengar aksen Spanyol yang familier sedang berusaha menyumpah di hadapan Aaron. Lelaki itu kemudian mendekat, meraih tangan Faith dan seketika Faith mampu melihat wajah Ian dengan jelas. Ian menarik Faith mendekat, mencoba menelunsuri jejak luka di kepala bagian belakang Faith, merabanya dan berdecak kesal begitu merasakan cairan hangat disana. Faith terluka dan itu menjadi bagian dari kesalahannya karena tidak mampu menjaga wanita itu dengan baik. "Faith,," di tengah kegelisahannya Ian berbisik, otaknya tidak pernah berhenti menyalahkan dirinya. Faith sanggup mendengar suara itu, suara yang penuh dengan amarah dan penyesalan. Dalam sekejap Faith merasakan dunianya runtuh di bawah kakinya. Faith mulai bertanya-tanya akan apa yang bisa saja terjadi seandainya Ian tidak datang tepat waktu untuk menolongnya. Dan satu lagi utang yang tidak sanggup Faith lunasi terhadap Ian. Faith merasakan tubuhnya bergetar dan diluar kehendaknya, ia mencengkram tangan Ian dengan kuat, namun sepertinya lelaki itu tidak keberatan karena Ian justru membiarkan Faith jatuh di pelukannya. "Tidak apa-apa, Faith. Tidak apa-apa," bisik Ian lembut ke telinga Faith. "Kau aman sekarang." Faith masih merasakan nafasnya yang memburu namun dengan tenang Ian mengusap punggungnya, membuat Faith sadar bahwa wanita itu sudah aman. Mike muncul dari balik pintu beberapa detik kemudian bersama Fredd. Lelaki itu membeliak begitu melihat bagaimana kondisi Aaron yang sudah babak belur, lebih lagi Faith. Mike berniat meraih Faith, tapi Ian segera mencegahnya dan dengan tegas mengatakan, "dia harus kembali. Lukanya tidak bisa menunggu lagi." Mike mengumpat kasar. "Berengsek, Aaron, apa yang kau lakukan!" Ian menatap Mike tanpa menghentikan pergerakannya untuk menenangkan Faith. "Urus pria itu, aku terpaksa mematahkan tulang kakinya agar dia tidak melawan. Kusarankan agar kau memberinya penawar karena dia pasti sedang mati rasa, sementara itu aku akan merawat Faith di rumah." Ian mengambil satu langkah dan Mike sudah mencegahnya. Mike menatap Faith saat kesadaran Faith ditarik semakin jauh dari tubuhnya. Satu-satunya yang bisa diharapkan Faith hanya ranjang empuk dan satu pil pereda rasa sakit di kepala. "Biarkan aku yang membawanya ke rumah sakit," ujar Mike. "Lukanya mungkin parah." Ian menolak. "Aku tidak bisa melakukan kesalahan yang sama dengan membiarkannya pergi bersamamu kali ini. Jangan halangi kami!" Ian mengambil satu langkah lagi dan Mike dengan cepat menghadang. Mike tidak menatap Ian dan hanya berharap Faith mau ikut bersamanya. Tapi tatapannya tidak membantu ketika Faith, dengan suara lemah yang dipaksakan, berkata, "aku ikut bersama Ian." Pernyataan itu memperjelas segalanya. Ian tidak banyak bicara lagi dan segera membantu Faith beranjak menuju SUV-nya. Ian mengangkat Faith hingga wanita itu duduk di kursi penumpang sebelum memasangkan sabuk pengaman ke seputar tubuh Faith. Kemudian, Ian mengitari mobil untuk sampai di kursi kemudi. Ian menatap Faith, menghela nafas dan dengan resah menstater mobilnya. Lampu SUV menyala dan mereka meninggalkan area bar dengan cepat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN