Ayunda terjaga ketika azan subuh sudah berkumandang di seantero kota Jakarta. Kota besar, kota metropolitan yang kini jadi tempat ia berpijak dan berteduh di atas rumah yang masih jalan cicilannya. Rudi yang sudah membelikan rumah itu. Walau bukan rumah baru dengan bangunan luas dan pekarangan besar, namun masih nyaman untuk di tempati oleh Ayunda dan anak-anaknya.
Ayunda bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Wanita itu berniat mensucikan diri dan mengadukan nasibnya kepada sang pemilik diri.
Setelah selesai mensucikan diri, Ayunda pun membentang sajadah dan mengenakan mukenanya dengan baik. Ia shalat di kamar itu, tempat di mana dulunya ia sering melaksanakan kewajiban sebagai hamba bersama sang suami. Tapi kini, Ayunda sendirian. Sudah dua bulan ia menjalani peran sebagai single parent dan selama dua bulan ia hanya mengandalkan tabungan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Ayunda sudah berupaya mencari pekerjaan, namun belum ada juga pancingannya yang menyangkut. Hingga Reindra datang dan memberikan bantuan tanpa mampu ditolak oleh wanita itu.
Ayunda terus bermunajat, meminta petunjuk dari sang pemilik bumi untuk dirinya. Pasalnya, Reindra sudah melamarnya. Reindra sudah terlanjur jatuh cinta kepada wanita itu dan Ayunda pun tidak mampu menolaknya. Selain karena emang butuh tempat untuk bersandar, Reindra juga terkenal sangat baik dan tampan.
Namun sayang, pria itu bukan bujang atau duda yang bisa dinikahi dengan mudah dan seenaknya tanpa ada resiko. Sedangkan Rudi saja yang dulunya seorang bujang, tetap saja mendapat tantangan. Pertentangan dari keluarga Rudi yang sampai saat ini masih Ayunda rasakan.
Reindra?
Pria itu sudah beristri, bahkan sudah punya dua istri walau yang satunya hanya ia nikahi secara siri.
Malangnya, walau sudah punya dua istri, tetap saja Tuhan belum memberikan pria itu keturunan. Baik Nela sebagai istri pertama yang dinikahi secara sah secara hukum negara dan hukum agama, atau Saras yang dinikahi secara siri, belum juga mampu memberikan seorang bayi kecil untuk Reindra. Reindra belum punya keturunan dan pria itu sangat berharap bisa mendapatkan keturunan dari Ayunda yang notabene sudah punya dua orang anak dari mendiang suaminya.
Puas bermunajat, Ayunda pun kembali melipat peralatan shalatnya dengan baik dan meletakkan di atas sandaran kursi kerja Rudi. Ayunda mengusap kursi itu sesaat sebab sang mendiang suaminya dulunya sering duduk di sana untuk bekerja ketika ia sedang ada di rumah.
Lagi-lagi, air mata Ayunda tidak mampu terbendung. Wanita itu kembali menangis mengingat sang mantan suami yang saat ini sudah terbujur di dalam tanah. Pria yang sangat ia cintai yang sudah meninggalkannya begitu saja tanpa persiapan apa-apa.
Sadar akan dirinya yang terlalu larut dalam kesedihan, Ayunda pun segera mengusap air mata itu. Ia melangkah meninggalkan kamar menuju kamar anak-anaknya. Eril dan Nabila memang terbiasa bangun subuh dan melaksanakan kewajiban mereka sebagai hamba. Ayunda memang sudah menanamkan itu semenjak anak-anaknya masih sangat kecil.
“Eril … bangun, Nak. Shalat dulu, habis itu siap-siap ke sekolah. Mama akan siapin bekal dan akan buatin sarapan untuk kamu dan Nabila,” ucap Ayunda lembut seraya mengguncang tubuh putranya.
Eril tampak masih sangat malas untuk bangun. Bocah itu menggeliat dan menutupi wajahnya dengan bantal.
“Eril … Mama mohon jangan seperti ini, Nak. Katanya Eril mau jadi anak baik. Katanya mau jadi jagoan gantiin papa buat jagain mama dan dedek Nabila. Bangun, Sayang ….”
Mendengar ucapan sang ibu, Eril pun langsung duduk dan mengusap ke dua matanya.
“Eril akan mandi sekarang,” lirih bocah itu seraya berjalan ke kamar mandi.
“Iya, Sayang … habis itu langsung berwudu ya, shalat subuh.”
“Iya, Ma.”
Eril langsung masuk ke dalam kamar mandi yang terdapat di dalam kamarnya. Kebetulan, handuk ia gantung di balik pintu kamar mandi.
Setelah memastikan anak laki-lakinya mulai membersihkan diri, Ayunda pun berjalan menuju kamar Nabila. Ayunda masuk lalu menghidupkan lampu utama. Terlihat Nabila menggeliat ketika kamar yang sebelumnya temaram, kini berubah terang benderang.
“Sayang, bangun … Nabila harus shalat subuh dulu. Habis itu mandi dan sarapan. Nanti mama akan antar ke sekolah.”
“Tapi Nabila masih ngantuk, Ma ….”
“Sayang, jangan begitu dong. Katanya Nabila sayang sama papa. Kalau Nabila sayang papa, Nabila harus rajin ibadah agar pahalanya mengalir ke papa. Kalau Nabila nggak mau ibadah, nanti papanya Nabila malah disiksa lo sama Allah di dalam kubur. Nabila mau papa kesakitan karena anak-anaknya tidak mau ibadah?”
Bocah kecil itu seketika duduk dan bibirnya komat kamit menbaca doa baru bangun tidur.
Kini, Ayunda memang punya jurus ampuh untuk membangunkan ke dua anaknya. Padahal semua yang dikatakan Ayunda kepada Eril dan Nabila itu benar adanya.
Walau masih dengan mata yang malas, Nabila tetap saja berjalan menuju kamar mandi. Beruntung Anbila sudah mandiri. Sudah bisa mandi sendiri dan bersiap sendiri untuk ke sekolah.
“Sayang … Mama mau ke dapur dulu. Mau masak sarapan untuk kita dan siapin bekal untuk kamu dan bang Eril. Nabila mandi yang bersih, habis itu langsung wudu dan shalat subuh dua rakaat ya,” ucap Ayunda dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
“Iya, Mama ….” Nabila tersenyum lalu mendaratkan sebuah ciuman manis di pipi Ayunda.
Ayunda merasa sangat bahagia. Ke dua buah hatinya mampu mengobati lara yang kini tengah membelenggu hati akibat kehilangan sang suami.
Ayunda langsung beranjak menuju dapur setelah memastikan putrinya masuk ke dalam kamar mandi. Ia bersiap memasakn sarapan dan bekal untuk ke dua buah hatinya.
Beruntung, Eril dan Nabila bukanlah anak-anak yang rewel dengan segudang ulah dan permintaan. Apa pun yang dimasak dan disiapkan oleh ibu mereka, pasti akan mereka santap dengan lezat.
Dengan penuh senyuman, Ayunda mulai menyiapkan dua gelas s**u untuk ke dua buah hatinya. Menggoreng nugget buatannya sendiri yang sudah ia bekukan di dalam freezer untuk bekal sekolah ke dua buah hatinya.
Untuk sarapan pagi ini, Ayunda menyiapkan roti panggang selai cokelat kesukaan Eril dan Nabila. Tidak lupa, Ayunda menyiapkan uang jajan untuk ke duanya selama di sekolah nanti.
Baru saja semua itu tertata dengan rapi di atas meja makan, ponsel Ayunda kembali berdering. Ponsel itu memang berada di dalam kamar, tapi bunyinya sangat nyaring hingga menggema ke area dapur.
Ayunda bergegas menuju kamarnya dan mengambil ponsel itu. Ternyata ada panggilan dari Reindra.
Ayunda menghela napas. Wanita itu enggan mengangkatnya. Apa lagi mimpinya semalam membuatnya sangat tidak nyaman. Ia benar-benar tidak ingin dicap sebagai perebut suami orang, walau sejatinya ia memang membutuhkan seorang laki-laki dalam hidupnya.
Ayunda mengabaikan panggilan itu. Ia hanya mengecilkan volume ponselnya agar tidak terlalu berisik di rumah itu.
“Siapa yang telepon, Ma? Mengapa mama tidak mengangkatnya?” tanya Eril yang kini sudah sangat tampan dan rapi. Bocah itu sudah bersiap dengan seragam SD-nya.
“Bukan siapa-siapa, Sayang … hanya orang salah sambung saja. Mama malas mengangkat telepon dari nomor yang tidak mama kenal, soalnya belakangan ini banyak sekali penipuan. Nanti mama malah kena hipnotis lagi,” balas Ayunda dengan senyum merona.
Eril mendudukkan bokongnya di atas salah satu kursi makan, “Iya, Ma. Kemarin maminya teman Eril habis kenap tipu dari ponselnya juga. Katanya uangnya habis sampai puluhan juta.”
“Tuh’kan? Makanya mama nggak mau angkat telepon dari orang yang nggak mama kenal. Ya sudah, sebaiknya Eril jangan bahas masalah itu lagi. Sarapan yang baik lalu mama akan antar ke sekolah.”
Eril mengangguk seraya tersenyum. Senyum yang dimiliki bocah itu persis seperti senyum yang dimiliki Rudi. Lagi-lagi, Ayunda teringat dengan mantan suaminya. Wajah sang putra sulung memang seolah foto kopian wajah sang mendiang suami Ayunda.
“Mama mau ke kamar Nabila dulu. Kok lama sekali Nabila keluarnya,” ucap Ayunda mengalihkan pembicaraan. Ia tidak ingin putranya melihat netranya berkaca-kaca.
“Iya, Ma,” balas Eril dengan suara lembut. Bocah itu mulai menenggak susunya dan menikmati roti panggang buatan sang ibu.
Sesampai di depan pintu kamar Nabila, Ayunda segera mengusap air matanya yang kembali menetes tanpa bisa dicegah. Ia menghela napas untuk menetralkan perasaannya. Lalu ia mengetuk pintu perlahan dan membukanya dari luar.
Ternyata di dalam kamar, Nabila sudah bersiap dan hendak melangkah menuju pintu.
“Mama, kok ke sini?”
“Iya, habisnya Nabila lama sekali. Mama jadi khawatir.”
“Nabila siap-siap dulu, Ma ….” Nabila tersenyum manis. Senyum cantik yang membuat jiwa Ayunda kembali merona.
“Ke ruang makan sama mama yuk. Mama sudah buatkan s**u hangat dan roti panggang selai cokelat.”
“Wow, pasti lezat sekali.”
“Iya dong, ‘kan mama yang buat. Ayo keluar sekarang ….” Ayunda merentangkan tangannya. Tangan itu langsung dibalas oleh Nabila. Ibu dan anak itu berjalan bersama-sama menuju meja makan.