Dia Kembali
***
'Kadang, cinta memang salah. Memenjarakan hati pada lubang yang digali sendiri. Terhenyak pada takdir konyol yang tak berkesudahan. Tapi, apalah daya sang pemilik hati, ketika cinta mengikat dengan akar berbalut tembaga, yang memaksa diri ingin lepas, hingga akhirnya, memilih mati sendiri, memeluk hati yang sudah hancur berkeping.'
***
"Rain, ini udah tiga tahun. Dan dalam tiga tahun ini, jujur, Gua sayang sama lo. Sayang yang gak bisa gua jelasin, yang gua tau, gua cinta sama, lo.." penggal Rafa cepat, Ia memegang kedua pipi Raina, meminta mata itu untuk membalas tatapan mata yang lebih dulu menatap matanya. Ia tidak bisa bersembunyi lagi, memendam rasa cinta dan berpura-pura tidak cinta, itu adalah hal yang paling menyakitkan bagi Rafa, sesuatu yang sangat menyelekit hati.
Raina mendorong tubuh Rafa dengan telak, ia menggeleng cepat, Rafa tidak boleh memiliki perasaan itu, dia harus segera menghilangkan perasaan konyol itu, sangat tidak mungkin, persahabatan mereka harus berujung cinta. Selama ini, Raina hanya menemukan kisah itu didalam TV atau n****+-n****+, dan sekarang, itu justru terjadi dalam hidupnya.
"Nggak, Raf.." Raina menggeleng, kedua matanya memanas, secara mendadak cairan hangat telah mengaburkan pandangannya.
"Lo nggak boleh kayak gini, lo itu cuman lagi ngelantur, lo nggak boleh cinta sama gua.." sambik mengangguka kepalanya, ia berusaha meyakinkan Rafa,
"Kenapa? Apa yang salah? Mencintai itu hak setiap orang, Rain." Rafa menatap Raina dengan tatapan tak habis fikir, menelan air liur yang secara menadak menjadi benda padat, hingga menyulitkan tenggorokannya. Padahal, ucapan yang tercetus dari mulutnya sangat jujur, tidak ada yang di lebih-lebihkan, Rafa sangat mencintai, Raina.
"Salah.. Ini nggak benar, Raf!" Raina menatap Rafa dengan bengis, bibir Raina mengatup rapat, kedua tangan yang mulai basah, ikut terkepal disisi tubuh. Ekor matanya ikut menatap Rafa berkilat-kilat.
Rafa tergemap, respons Raina sama sekali tidak membuat Rafa bahagia, tidak ada yang patut dikatakan spesial, semuanya hambar, seolah gerakan bumi tiba-tiba melamban. seperti inikah rasanya penolakan? Rasanya sangat sakit! Ya, untuk pertama kalinya Rafa mengalaminya.
"Apa alasannya Rain, apa karna lo masih menginginkan Arman?" tanya Rafa mengintimidasi, membuat tubuh Raina membeku seketika. Apa yang dikatakan Rafa telah berhasil menohok dadanya, terlebih nama laki-laki itu, jantungnya serasa ingin melompat keluar.
"Nggak! untuk saat ini, gua nggak mengingankan siapa-siapa." jawab Raina singkat. Rafa mengangguk mulai mengerti, ternyata dia sudah salah duga, selama ini, Raina tidak pernah mencintainya, dan nyatanya tetap, cinta Rafa hanya bertepuk sebelah tangan.
"Buat apa Rain, buat apa lo nunggu hal yang nggak pasti? Apa lo segitu cintanya sama cowok b******k itu?"
"Rafa, kalau lo sayang sama gua, pliss!! Jangan bebanin hidup gua, gua nggak bisa. Kalau gua bisa, dari dulu, dari awal gua udah kasih hati gua buat lo." Begitulah ucapan yang tercetus dari mulut Raina. Bukan Ia tidak mau, melainkan Ia lelah, lelah mengenal cinta yang pada akhirnya hanya menggoreskan luka tak berdarah. Tapi, berhasil menimbulkan rasa sakit yang teramat perih.
Rafa mengangguk, dia menerima keputusan Raina. Tapi itu tidak aka pernah membuatnya jerah, ia akan terus mencintai Raina, hingga ia menyerah, karena bagaimaapun, Rainalah perempuan satu-satunya yang telah berhasil membuat jantungnya berdetak tidak normal. Andai dari dulu ia memiliki perasaan itu, sudah pasti, ia tidak akan membiarkan Raina seperti ini, mengenal cinta Arman yang hanya datang sesaat.
"Sorri, Rain. Gua udah bikin lo nggak nyaman."
Raina bangkit dari tempat duduknya, meninggalkan Rafa yang masih diam berdiri ditempatnya, suasan kampus yang ramai pun bahkan tidak berpengaruh bagi Rafa, tidak mengabaikan sorotan ekor mata yang menatapnya keheranan, seperti orang hilang, yang lupa jalan pulang.
***
"Rain... Tadi gua liat dia."
"Maksud, lo?" Kening Raina mengerut bingung,
"Gua liat Arman, di Toko Bayi. Gua liat dia gendong seorang bayi." ucap Salsa hipotesis, mengingat kembali kejadian tadi siang. Salsa tidak salah orang, dan lelaki itu memang Arman.
Salsa mengantarkan Tante Ruri membeli keperluan bayinya yang baru lahir beberapa hari belakangan, suaminya yang sedang bertugas diluar kota tidak memungkinkan untuk segera pulang, bahkan saat tante Ruri melahirkan pun, Dia tetap tidak bisa pulang.
"Ini lucu, Tan." sembari memeragakan sepatu mungil berwarna biru muda, Ruri tersenyum, sepatu itu sangat cocok untuk bayi, bulu-bulunya yang lembut tidak akan merusak kulit kakinya yang masih sangat sensitif.
"Bagus, Sal. Tante suka." Tante Ruri mengangguk-anggukan kepalanya sebagai pertanda bahwa dia sangat menyukai sepatu yang dipikihkan Salsa,
Sambil terus memilih keperluan untuk anak tantenya, kedua mata Salsa tanpa sengaja menangkap sosok yang tidak terlalu asing, dia melihat seorang laki-laki di masa lalu, lelaki yang baru saja keluar dari toko bayi, di tangannya terseimpan seorang bayi mungil yang masih di balut selimut bayi tebal berwarna biru muda, lengkap dengan boneka-boneka beruang kecil yang menghiasi kain pembalut tubuhnya itu.
Salsa yang merasa penasaran, memilih ikut keluar, mendorong knop pintu utama, saat itu juga, Arman masuk kedalam mobilnya, dan wajah utu terlihat jelas di mata Salsa, sangat nyata.
"Mungkin lo salah orang, Sal."
"Nggak mungkin, Raina. Gua sampai nguntitin dia, dan gua benar-benar liat wajah dia, tapi sayang, saat gua mau ngikutin dia, gua udah dipanggil sama Tante Ruri."
Raina masih gemang,
"Kalau dia datang bersama seorang bayi, itu artinya disudah menikah Rain. Sumpah, dia benar-benar b******n!" Salsa mengertaka gigi geram, memukul meja dengan kepalan tangannya, merasa marah.
Wajahnya ikut memerah, serasa ingin menonjok mulut lelaki itu hingga bibirnya pecah, mengekuarkan darah merah nan segar.
Raina tercenung, Arman datang bersama seorang bayi? dan itu artinya benar, dia memang sudah menikah.
Tubuh Raina masing linggung, bagaikan tersengat listrik, ia melemah, tidak bisa bergerak, ternyata pertahanan cinta yang ia bangun selama tiga tahun berakhir dengan pedih, pada akhirnya lelaki itu memilih menikah dengan wanita lain. Tanpa memutuskan hubunga mereka terlebih dahulu, apa memang? Lelaki itu sebrengsek yang mereka katakan?
"Yaudah, biarin aja. Lagian bukan urusan gua juga kan?"
"Tapi, harusnya cowok itu datang ke lo, minta maaf, dan kasih penjelasan biar lo nggak nungguin sesuatu yang nggak pasti, " ucap Salsa dengan nada kecewa, "atau seenggaknya, dari tahun-tahun sebelunya, dia berusaha menghubungi lo, nomor telpon lo masih sama kan? Dan dia bisa hubungun lo."
Raina hanya tersenyum getir sebagai respons,
"Mungkin, Dia lupa."
"Gua nggak ngerti sama apa yang lo pikirin, Rain. Yang jelas, kalau lo kayak gini, lo kelihatan kayak cewek b**o, yang mau di gantungin sama cowok kayak dia."
"Terus lo mau gua harus ngapain? Datang kerumah dia, maki-maki dia di depan istrinya? Gua nggak segila itu." Raina mendelikan mata, "kalau gua ngelakuin itu, sama aja gua ngelemparin kotoran ke muka gua sendiri."
"Tapi Rain. Dia udah main lo selama tiga tahun, dia udah sia-sian pengorbanan lo buat nungguin dia."
Raina hanya diam, sejujurnya pernyataan yang tercetus dari bibir Salsa, benar-benar mengejutkan, tidak menyangka, lelaki itu kembali datang dengan keluarga kecilnya.
"Padahal, gua seneng kalau lo bisa bersatu sama Rafa, dia itu cowok yang baik, buktinya, dia selalu support lo selama ini, kan?"
"Justru itu. Karna dia orang yang baik, dan gua nggak pantes buat sakitin hati dia."
"Lo terlalu keras kepala, Rain." ucap Salsa pada akhirnya, Raina terlalu keras kepala, keinginannya tidak pernah bisa terbantahkan,
Di belakang Raina, Salsa melihat Rafa yang berdiri tegap, sepertinya lelaki itu telah mendengar semua pembicaraan mereka, dan Salsa baru menyadarinya.
Ada rasa sungkan yang membalut hati Salsa, ekspresi wajah Rafa terlihat begitu terlihat suram, wajahnya ditekuk seperti menahan kesedihan yang teramat.
Rafa hanya menundukan kepalanya, menatap lantai keramik dengan manik mata redup, Ia segera membakikan badannya, meninggalkan keduanya.
"Bahkan, di saat lo tau, Arman punya kehidupan baru, lo tetap nggak bisa buka hati lo buat Gua, Rain. Gua bahkan hampir seumur hidup gua buat ngenal lo, tapi gua nggak pernah tau, gimana caranya masuk ke dalam hati lo yang sempit itu."
Dalam perjalanannya, Rafa bertanya sendiri, menginterogasi dirinya sendiri, mencari sudut kesalahan yang tak pernah Ia mengerti, kekurangan apa yang membuat dia tidak bisa memiliki hati Raina, padahal, dia bisa melakukan apapun untuk kebahagiaan Raina.
"Apa gua harus jadi penjahat buat dapetin lo?"
"Nah, itu dia. Hoi! Rafa," merasa namanya dipanggil, Rafa mendogakan kepalanya, dari arah berlawanan Ia bisa melihat Kevin berlari kearahnya. Rafa mendesis, s**l! Mau apalagi dia?
"Dari mana aja, Lo? Oh, gimana, berhasil nggak?" tanya Kevin, dia tidak bisa menahan rasa keponya yang sudah stadium akhir, ingin segera mendengar jawaban dari mulut Rafa,
"Dia nolak gua! Puas lo?" Rafa menyingkirkan tangan Kevin denga telak, tangan itu sudah membuat bahunya memasa, akibat tepukan yang tidak terkontrol.
Kevin membuka mulutnya lebar, berusaha menyembunyikan keterkejutannya yang luar biasa.
"Oh iya, bisa nggak sehari aja lo itu ngga gangguin hidup gua, kayaknya dari dulu lo cuman bisa nguntitin hidup gua, gua jadi curiga, jangan-jangan lo jatuh cinta sama gua." tuduh Rafa mengintimidasi, Kevin tersentak.
"Apa lo bilang? Gua suka sama lo, najis gua!"
"Oh satu lagi, lo kan anak hukum, pernah nggak sih lo baca pasal yang isinya sangsi bagi orang yang mengganggu kenyamanan orang lain? Apa perlu gua ke perpus nyari buku KUHP dan KUHAP buat gua bacain satu persatu di depan lo sekarang juga?" tanya Rafa dengan wajah bersungut-sungut,
"Loe tau pasal yang mengatur tentang kenyamanan orang lain? Tentang pasal 335 itu?" Rafa menatap Kevin dengan wajah menantang, ia melangkah maju mendekati tubuh Kevin,
"dipasal itu dijelasin, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan tak menyenagkan,baik terhadap sendiri maupun oranglain itu diancam pidana penjara paling lama satu tahun atau denda empat ribu lima ratus rupiah." tukas Rafa lugas, ucapannya mulus tanpa hambatan, dan semuanya benar, tidak ada yang salah, dan Kevin pun tau, isi pasal 355 memang begitu adanya.
"Alah, hafal satu pasal aja, lo bangga nya kayak anak kecil bisa nagkep kecoa," Kevin mendelik. Jelas, Rafa terlalu berlenihan, padahal dia tidak menusik hidup Rafa dan melakukan tidakan kriminal, itu semua benar- benar terlalu berlebihan dan terlalu lebay sebagai seorang laki-laki.
***
Dikamar bernuasna serba putih,
Arman duduk di atas ranjang, menatap bayi mungil yang sudah larut dalam tidur indahnya. Kedua tangannya terkepal disisi kepala, mulutnya sedikit terbuka, dengan mata yang juga ikut setengah terbuka, tapi nyatanya bayi itu tetap lelap dalam tidurnya.
Arman bersandar diranjang, Ia mulai larut dalam histerical masa lalunya, membuat dia mendesis pelan. Seketika, rasa bersalah kembali membalut hati.
"Aku kembali, Rain. Aku kembali unyuk kamu. Apa kamu masih menungguku? Atau, justru kamu telah melupakan aku?" Arman membatin sendiri, lelaki itu memejamkan matanya sejenak, mencoba menetralisirkan tenggorokannya yang serasa tersedak.
"Tapi, aku nggak marah Rain, kalau ada laki-laki lain yang bisa bikin kamu bahagia dan tersenyum setelah aku pergi, dan disaat itu memang terjadi, aku harus siap ngelepasin kamu. Aku terlalu pengecut dan..." Arman mengehela nafas terberatnya, siap meluncurkan sesuatu kalimat, "b******k!!"
Beberapa bayangan masa lalu berhasil mendrobrak ingatan Arman, semua yang sempat terekam, kini berputar begitu jelas didalam otaknya, tidak bisa dikendalikan, ingatan itu telah berhasil mengalahkan Arman.
Sesuatu yang tidak nyata berhasil menjalar begitu agresif didalam d**a Arman, sesuatu yang sangat tidak nyata, tapi berhasil membuat dadanya pengap.
"Temuin dia besok,"
"Mamah..."
Tante Irene mengangguk, ia berjalan mendekati Arman.
"Mamah pingin kamu jelasin sama dia, tanpa ada yang ditutup-tutupin. Kasihan dia,"
"Tapi Mah, apa itu mungkin?"
"Nggak ada yang nggak mungkin, Arman. Semuanya butuh usaha, kamu harus berani. Setiap awal harus ada akhir, jangan jadi laki-laki pengecut. Mamah sama papah udah penuhin permintaan kamu untuk balik kesini." Tante Irena menepuk pundak Arman,
Arman mengangguk pelan, "Besok, besok aku akan temuin dia."
Tante Irene tersenyum, Ia mengelus kepala Ferrel yang basah karena keringat.
"Cucu mamah, benar-benar lucu. Tidur aja bisa gemesin," Dengan gemas, Tante Irene menjepit pelan pipi Ferrel yang lembut, ia sedikit membuka mulutnya, entah apa yang dia mimpikan, bayi tampan itu tersenyum dalam buaiyan mimpinya.
"Yasudah, malam ini biar Ferrel sama mamah, mamah tau kamu itu butuh istirahat."
"Nanti mamah repot." tolak Arman,
"Nggak ada orang tua yang repot karna anaknya. Dan Ferrel cucu mamah, mamah sama papah malah seneng bisa ikut jagain dia."
"Baiklah," sejenak Arman mencium kepala Ferrel yang harum, lalu dalam detik yang sama, bayi itu sudah berada didalam pangkuan tante Irene.
"Kamu istirahat."
"Iya, Mah."
Hening..
Sekarang, hanya ada Arman di dalam kamar itu, jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Ditangannya, tersimpan sebuah ponsel, rasanya ingin menghubungi gadis itu, tapi semua tantangan konyol dulu kini telah menjebaknya sendiri, lagi pula Arman juga tidak tahu, apakah nomor perempuan itu masih aktif atau malah dia sudah menggganti nomor ponsel.
***
Sudah tiga tahun tidak ada perubahan, semuanya masih sama seperti dulu. Hatinya yang masih mencintai laki-laki yang meninggalkannya tanpa alasan. Ia mendogakan kepalanya, menatap lamat-lamat langit kamar yang terlihat kosong. Benaknya secara refleks berputar bagaikan kaset rekaman, kejadian tadi siang benar-benar membuat Raina terperosok, seolah menjadi perempuan paling jahat.
Ada apa? Semuanya benar-benar di luar dugaan, Raina.
Rafa menyatakan perasaan cinta dan kabar mengejutkanpun datang, lelaki yang ia cintai sudah kembali bersama keluarga kecilnya, asa ingin memiliki kembali sudah pupus, Raina menyerah, dan selamat, takdir memang telah berhasilengalahkannya.
Besok tidak aja jam kampus, dan itu semakin membuat Raina malas, tidak ada kesibukan yang akan membuatnya lupa akan masalah.
"Rain, buka pintunya."
Raina melempar wajahnya ke arah pintu yang tertutup rapat, diluar sana Salsa mengetuk pintu kamar tak sabaran, benak Raina bertanya-tanya, untuk apa gadis itu datang kesini?
"Ngapain lo malam-malam ke sini?"
Pake, bawa-bawa koper kesini, gapain?" tanya Raina bingung, batu saja pintu dibuka, matanya sudah menangkap koper besar milik Salsa.
"Gua mau nginep yaa sebulan lah, boleh ya? Tadi gua udah ijin sama bokap lo, da dia bolehin."
"Whatsss? Satu bulan?"
"Iya, tante gua dibawa sama suaminya ke surabaya yang tadi sore tiba-tiba dateng. Gua serem, tiba-tiba rumah jadi horor apalagi gua abis liat film horor Annabelle, sumpah, gua ngeri." Salsa masuk ngacir kedalam kamar, Raina masih membuka mulutnya.
"Jangan banyak protes!" Seperti tau apa yang akan di ucapakan Raina, salsa sudah lebih dulu menyelanya.
"Terserah lo deh."
"Besokkan ngga ada jam kampus tuh, gimana kita seharian besok hunnting? Kemana kek, yang jelas kita refresh otak dari dosen-dosen galak itu."
"Boleh, kita berdua aja emamg?"
"Nggak lah, ada Rafa, Kevin sama ceweknya juga."
"Kevin sama Annisa awet juga ya? Udah 3 tahun loh. Gua inget, pas Annisa di ospek, dia dapat bagian yang enteng, gara-gara si Kevin curang."
"Ya namanya gua pacarnya Rain. Itu tuh, yang namanya cinta buta."
"Emang cinta punya mata?"
"Raina begooooo....." Salsa mengertakan giginya geram, "bisa nggak? Bolon lo di ilangin?"
"Bunglon?"
"b***k lu!" Salsa membanting tubuhnya di atas ranjang Raina, bersikap seolah menguasi, tangannya direntangkan hingga tak ada celah bagi Raina untuk berbaring.
"Eh, lu udah numpang nggak sopan! Minggir," sambil mendorong tubuh Salsa kuat, ia langsung mengambil posisi, tidak membiarkan perempuan itu menguasai ranjangnya, lagipula ada kamar tamu, buat apa dia memilih tidur disini? Raina menutuo kupingnya denga telak, salam hitungan menit, gadis sinting disamoimgnya sudah terlelap tidur dengan dengkuran yang keras.
"Ssshhh!!!"
Semalaman tidur yang hrusnya nyaman sudah terusik hanya karena seorang Salsa, dan itu termasuk menganggu kenyamananya.
***
Bersambung
Nah, Arman punya bayi ?.