***
Pagi telah menyapa, suasana hujan tadi malam masih menyisakan selebut dingin dipagi harinya, menyisakan sisa-sisa air hujan yang masih membasahi jalan, dan titik-titik yang berjatuhan dari atap rumah.
Salsa dan Raina memilih masih tidur diatas ranjang, sehabis melakukan sholat subuh, mereka kembali tidur mengumpulkan tenaga esok harinya.
Salsa bergerak kecil, mengusap mata yang masih lengket, mendadak di kuasai rasa malas untuk enyah dari tempat tidur. Ia membalikan badan membelakangi Raina, meraih ponsel yang berasa di bawah bantal.
Sambil menyipitkan matanya, ia berusaha memandang layar posel, disana menunjukan pukul setengah tujuh, itu artinya satu setengah jam lagi mereka akan berangkat, Malioboro adalah tujuan mereka nanti, tidak perduli menghabiskan waktu dijalanan yang jelas mereka harus bersenang-senang.
"Rain, bangun..." kata Salsa dengan suara parau, khas orang bangun tidur.
"Hmmm, apaan sih Sal. Jangan gangguin gua,"
"Katanya berangkat jam delapan, gimana sih." Salsa duduk, mencoba menghilangkan rasa kantuk, kalau tidak dilawan kantuk itu justru akan membuatnya kalah, menumbangkan tubuh hingga lengket seperti magnet di atas ranjang.
"Tiba-tiba gua bener-bener malas, Sal. Bisa nggak kalau gua istirahan sepuluh menit aja, ya lu bisa mandi duluan atau apa gitu nanti baru lu bangunin gua lagi." Raina berbicara panjang lebar, matanya masih menutup rapat menarik kembali selimut tebal membaluti tubuh mungilnya hingga leher, sensi hangat yang Ia rasakan kembali menghantarkannya pada buaiyan mimpi.
Salsa berdecak, Raina susah dibangunkan. "Okeh, nanti awas lu kalau protes gara-gara harus buru-buru."
"Hmmm.."
Salsa menggertakkan gigi kesal, merasa di acuhkan. Baiklah, mungkin memgguyur dengan segayung air ala-ala nenek gayung akan membuat Raina terhuyung kaget, dan Salsa akan melakukannya dengan senang hati.
Pelan-pelan Salsa berjalan masuk kedalam kamar mandi, mengambil gayung yang tersimpan di samping batrup, menyalakan keran disamping shower setelah gayung terisi setengah Salsa menyalakan pemanas air pada shower, bagaimanapun dia tidak setega itu, menyiramkan air dingin rasa es pada Raina.
"Kayaknya ini cukup, nggak panas nggak dingin, kalau tindakan satu di abaikan, boleh melakukan tindakan kedua, gua nggak mau repot, dan ini untuk kebaikan dia, hahahaha." Salsa tertawa, wajahnya menunjukan horor siap menakuti para manusia yang mempunya mental ciut seperti kerupuk.
"Rain, gua bawa air nih, mau nyiram lo kayak tanaman." kata Salsa berkoar-koar, "biar lu bisa bangun gitu,"
"Gua udah bangun. Nggak usah dikasih air karena gua bukan tanaman di taman, yang bisa disiram sama apapun dan dilihat sama siapapun."
"Nah, lo tau. Bagus deh, jadi gua nggak perlu repot-repot macam ibu-ibu yang rempong bagunin anak gadisnya,"
"Cerewet banget, lo. Lama-lama lo gua usir."
Salsa mendelik, "s***s baget lo jadi orang, mentang-mentang gua numpang." Salsa memanyunkan bibirnya kedepan.
"Nah itu lo tau, jadi lo jangan macam-macam sama tuan rumah."
"Maksud lo? Setau gua nih ya, tamu adalah raja, jadi harus diperlakukan sebaik-baiknya, nah lo...."
"Cepat mandi! Jangan biarin hape gua melayang dikepala lo." penggal Taina cepat, Salsa sudah membuatnya kesal pagi ini, moodnya mendadak hancur. Dia tidak pernah berfikir akan tinggal satu rumah dengan perempuan seperti Salsa, perempuan lebay, rempong dan selalu heboh dengan dandanan, meski bisa membuatnya tampil menarik, tapi tetap Ia tidak suka denga hal seperti itu.
***
"Ini apa, Bi."
Kening Arman berkerut membuat kedua alisnya menyatu, Arman meletakkan Ferrel di Swinger, membuat bayi itu nyaman hingga kembali menutup matanya.
"Itu tadi di kasih sama temennya saya den, katanya tahun lalu ada yang nganterin ini kesini, dan katanya ini buat aden. Berhubung rumah ini kosong, jadi di titipin ke dia." Leha menganggukan kepalanya, manatap tuan mudanya penuh keyakinan. Benak Arman bertanya-tanya, sebelumnya dia tidak pernah memesan barang apapun.
Perlahan tapi pasti, Arman membuka pita yang mengikat kotak cokelat itu membukanya dengan inci.
"Astaga, ini..." Arman tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, semuanya adalah barang pemberiannya pada Raina dulu.
Boneka beruang kecil, dan buku n****+ berjudul 'magic hour', n****+ yag menceritakan keajaiban sebuah waktu mengisahkan cinta yang romantis yang bercampur pedih, gadis yang mencintai hujan dan gadis yang memiliki nama yang sama dengannya.
Tiba-tiba beberapa fragmen masalalu muncul dibenak Arman, berputar bagaikan kaset di dalam CD, semuanya terlitas begitu kentara.
"Arman, aku pingin nonton film itu, sekarang perdana tayang di bioskop. Kan kita udah jadian tadi, jadi kamu maukan nemenin aku? Kata kamu kita nggak boleh SMS-an jadi ini sebagai gantinya."
"Okey, aku akan penuhi permintaan kamu."
Raina tersenyum dia benar-benar sangat tidak menyangka, jadi dia tidak perduli di tembak di sekolah dengan situasi setiap penjuru yang kosong karena hari libur yang penting, Arman menyayanginya.
Sehabis menonton Arman meminta Raina untuk menunggu di dalam caffe, setelah kembali, dia membawa kotak cokelat yang sudah di isi dengan benda yang pasti sangat di sukai Raina.
"Arman, ini apa?"
Kedua bahu Arman terangkat, dia hanya tersenyum mengekspresikan wajah agar Raina mau membukanya.
"Yaampun Arman, kamu kasih aku n****+ ini? Terus bonekanya?"
Raina tersenyum penuh makna, Arman senang bisa membuat Raina tersenyum.
"Kamu suka?"
"Ya ampun, kamu kok bisa sih, beli n****+ ini?"
"Aku punya kenalan di salah satu toko bukunya. Dan aku minta buku yang masih ada TTD pemainnya dan kebetulan ada karema salah satu yang pernah join pesan bukunya membatalkan, dan akhirnya, kamu bisa milikin buku ini."
"Sumpah Arman, dapetin tanda tangan artis itu adalah impian aku dari dulu yang nggak pernah kesampaian, dan sekarang kamu udah ujutin itu sayang, makasih yaaa..."
Arman menganggukkan kepala sebagai respon.
"Sama-sama pacar."
Tangan Arman bergetar, masih terlihat jelas bagaimana ekspresi Raina saat menerima kado itu darinya dan sekarang perempuan justru mengembalikannya pada Arman, tanpa Arman sadari, setitik air matanya jatuh menetes.
Satu benda lagi bisa Arman temukan disana, ada lipatan kertas ^Untuk Arman^. Ia menegguk air liur yang dirasa menjadi benda padat, air muka Arman ikut berubah menjadi tegang.
'Arman, entah kapan kamu bisa baca surat ini, tapi aku yakin suatu saat kamu pasti bakal baca surat ini, entah itu kamu yang sudah menjadi milik orang lain. Aku cuman punya satu pertanyaan sama kamu, Apa aku punya salah sama kamu, sampai kamu akhirnya pergi ninggalin aku gitu aja, aku sendirian Arman... Aku takut.
Tenggorokan Arman tercekat, ia menggeleng, perempuan itu sama sekali tidak bersalah, dia yang salah.
Apa kamu lupa? Kamu pernah bilang sama aku, saat kamu bawa aku ke dunia kamu, kamu nggak akan biarin aku sedih lagi, kamu bilang dunia kamu indah dari pada dunia aku, tapi kenapa setelah aku terkepung di dalam dunia kamu, kamu justru biarin aku tersesat sendirian, dunia kamu masih terlalu asing, Arman. Sampai akhirnya aku tau, kalau dunia kamu jauh lebih menakutkan dari dunia yang aku punya.
Kata-kata itu berhasil menohok d**a Arman, hingga menimbulkan rasa sakit yang tak nyata,
Kamu tau? Ibu aku meninggal, aku sedih banget dan aku butuh kamu saat itu, kamu tau? Ibu aku meninggal saat kamu pergi, takdir itu lucu ya, sayang. Maaf, bila aku salah menyebut. Sekarang, tepat dua tahun kamu pergi, tapi nyatanya satu pesanpun tak pernah aku dapat dari kamu, mungkin ini saatnya, aku harus melepas kamu, meski aku tau, aku nggak akan pernah bisa buat berhenti mencintai kamu. Aku kembalikan dua benda ini sama kamu, makasih udah pernah meujudkan mimpi aku untuk memiliki tanda tangan mereka, kamu pasti tau, dengan kembalinya benda ini, itu menandakan kalau hubungan kita telah selesai.'
Mata Arman memanas, dia meremas surat itu dengan tangan bergetar penuh penyesalan, semuanya belum berakhir dan gadis itu tidak boleh menyerah, Arman siap menjadi seorang b******k, asalkan dia bisa mencintai Raina seperti dulu, berjanji tidak akan melakukan hal yang sama.
Arman tidak pernah tau, Perempuan itu menjalani hari-hari tersulitnya sendirian.
"Maafkan aku, maaf. Maafkan aku, Raina.." bisik Arman pelan, sangat-sangat pelan.
"Tapi aku mohon, jangan akhirin ini semua, aku mohon dengerin penjelasan aku, aku kembali kesini untuk kamu, aku tinggalin semuanya untuk kamu, Rain. Kamu nggak boleh melakukan ini, aku mau kamu tetap mencintai aku, kamu pernah janji apapun yang terjadi kamu bakal tetap cinta sama aku, ia aku tau kamu emang cinta sama aku, tapi buat apa kalau akhirnya kamu malah milih menyerah." Arman mulai menggelugut bahunya naik turun, Bi Leha yang sedari tadi memperhatikan Arman memilih membawa bayi Farrel pergi. Arman menjambak rambutnya kuat sudah seperti orang frustasi tingkat akut nafasnya tidak bisa di kontrol, dia sudah tidak punya waktu banyak, dia harus menemui gadis itu. Lebih baik Arman gila dari pada harus melihat orang yang dia cintai pergi dan menyerah. Jika boleh jujur selama ini Ia juga penat menahan rindu yang tak berkesudahan, kalau pada akhirnya perempuan itu pergi buat apa mereka saling mengikat janji.
***
Di dalam mobil itu Raina dan Salsa sibuk berjoget, berteriak seolah mengalakan bunyi musik yang menggema di dalam mobil.
Perjalanan mereka benar-benar menyenangkan, Rafa selalu menjadi bahan bullyan Kevin, lelaki yang diam pasrah dengan hati yang tidak rela.
"Udah, nggak usah diledekin lagi Si Rafanya, kasian."
"Lo beleain dia, Sal? Lo suka? Omaygod hahaahha." kata Kevin, dia tertawa sepertinya memang, mereka berdua sangat cocok.
Salsa membuka lebar kedua matanya, seolah bola mata itu nyaris keluar sari tempatnya lalu menggelinding kebawah.
"Whatsssss?" Salsa terkejut bukan main, tubuhnya kaku, seolah terkepung pada kekikukan, s**l! Biasanya dia tidak seperti itu.
"Lo juga! Percuma punya cewek, tapi pas seneng-seneng gini, malah nggak bisa di ajak keluar!" penggal Rafa cepat, ingin sekali rasanya ia mematahkan lidah lelaki berjiwa wanita seperti Kevin.
"Duhhh jadi nggak asik deh, tadi nyanyi-nyanyi sekarang debat! Udah stop mobilnya, gua mau balik!"
"Ehh...ehhh jangan dong Rain, lo asal main pulang aja, ini udah pertengahan jalan,"
"Ya makanya, lo jangan mancing-mancing Rafa, dan lo juga! Lo nggak udah juga kelles dengerin omongan dia." Raina mendelik, menyandarkan tubuhnya pada jok penumpang, dia terlalu lelah, baru saja merasa bahagia sedikit, lagi-lagi Kevin membuat masalah, belum lagi masalahnya dengan Rafa, kejadian setelah Rafa mengungkapkan perasaannya semuanya berubah, cara pandangnya pada Rafa pun menjadi terbatas merasa risih bahkan tidak nyaman setiap kali Rafa menatapnya.
"Tuh! Dengerin, kata Raina. Lo berdua nggak ada otaknya sih."
"Hmm,,, selalu cowok yang kayak gitu, harus mengalah dari cewek."
"Tu lo tau!"
Tanpa sengaja mata Raina tertuju pada kaca spion mobil Kevin, di sana ternyata Rafa memperhatikan wajahnya, menatapnya dengan intens membuat dia menjadi enggan.
"Tiba-tiba gua nggak enak badan. Plis, mending kita balik aja."
"Yah Rain, kok lo begitu sih? Jagan kayak gitu dong. Sorri kalau gua mancing keributan."
"Bukan itu, gua bener-bener nggak enak."
Rafa hanya diam, dia tahu, Raina sedang memghindar, untuk kesekian kalinya Rafa harus menanggung nestapa, asa memiliki serasa sudah pupus, haruskah dia menyerah?
***
Bersambung