Bab 19

884 Kata
Selepas mencari identitas seorang Abizar Novaldi, Arman dan Raina memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota, suasana sore nan sejuk itu sangat cocok untuk bersantai bahkan sekedar melepas rasa jenuh. Memperhatikan pengunjung taman yang berlalu lalang kian kemari, bahkan di antara mereka ada yang membawa jagoan kecilnya. "Aku nggak tau, apa aku masih bisa melihat Ferrel tumbuh setelah aku kembalikan dia sama ayahnya." Arman tersenyum sendu, selepas itu kedua mata Arman tertuju pada Ferrel yang tertidur pulas di atas kereta bayi dedepan Arman. "Kamu pasti bisa kok, ketemu sama dia lagi. Aku percaya itu." "Tapi aku akan kehilangan setiap momen berharga bersama Ferrel. Kamu tau? Sejak lahir akulah yang menjadi Ayahnya, saat pertama kali aku menggendongnya, aku sangat mencintainya, seperti anakku sendiri." "Belajar untuk iklas, Man. Aku tau kenyataan ini memang meyakitkan buat kamu. Itu sebabnya hati kita harus belajar untuk mengiklaskan, biar semua yang terjadi tidak menimbulkan luka, melainkan kebahagiaan yang tak pernah kamu duga." Arman hanya tersenyum sebagai ekspresi, "dan setelah aku fikir-fikir, nggak ada salahnya kembali menerima kehadiran kamu dalam hidup aku, karena aku tau setelah aku nerima kenyataan saat kamu pergi ninggalin aku, aku yakin kamu bakal kembali, aku nggak bisa bohongin diri aku sendiri buat mengakhiri semuanya, itu sebabnya aku nggak pernah nerima cinta siapapun." wajah Raina terangkat kesamping, kedua matanya kini beradu pandang dengan mata Arman yang lebih dulu menatapnya, tatapan yang penuh arti. "Aku sudah berada di dalam dunia kamu, dan aku memang sudah terlanjur terjebak. Tapi aku tau, cuman kamu satu-satunya orang yang bisa mencari aku kembali." Arman masih terkejut dengan apa yang dikatakan gadis itu barusan, seperti di kelilingi euforia senyum itu terutai begitu saja di bibir tipis milik Arman, "jadi, maksud kamu?" "Apa kamu masih belum mengerti dengan jawaban yang udah aku kasih?" Telak laki-laki itu membawa gadisnya kedalam pelukannya, pekukan yang kian bertaut erat menjadi saksi betapa besarnya kerinduan yang selama ini menyelimuti keduanya, terlebih Arman semua kepenatan di hatinya sudah terbayar, jawaban yang diberikan perempuan itu benar-benar berharga dan tidak bisa diukur dengan apapun, Arman berjanji tidak akan pernah lagi mengulangi semua kebodohan yang perna ia lakukan, meninggalkan wanita yang ia cintai demi satu tujuan. Mereka sejenak melupakan bayi mungil itu, seolah mengerti dengan kondisi kedua orang tua angkatnya. Berkali-kali Arma mencium rambut Raina, bersikap benar-benar sangat menyayagi. Hati Raina tereyuh, ia membalas kembali pelukan lelaki itu. "Aku janji, aku nggak akan pernah sia-siain kesempatan kedua yang udah kamu kasih ke aku. Kalau bisa, aku akan secepatnya melamar kamu, Rain." "Becanda kamu." Raina tertawa, "gimana mungkin kamu mau ngelamar aku? Aku aja masih kuliah, sementara kamu, kamu kan juga belum kerja Arman. Yang ada, ayah bakal nolak kamu." "Aku serius Rain. Aku tau kamu emang masih kuliah, dan soal aku kamu tenang aja, karena aku sekarang itu juga udah kerja kamunya aja yang ngga tau. Mana mungkin sarjana lulusan Australi seperti aku di tolak, malahan aku lulusan terbaik dan bisa selesaiin semua kuliah aku dalam jangka 2,5 tahun." "Sombong..." "Loh serius, kamu lihat aja nanti kamu bakal tau apa pekerjaan aku. Dan setelah itu, kamu harus janji sama aku, kalau kita akan sama-sama selamanya." "Oke," "Oke? Itu doang?" "Terus?" "Raina, nggak lucu." wajah Arman membersut cemberut, ia selalu merasa risih saat Raina bersikap tak wajar, menjadi perempuan ketus bukanlah karakter yang cocok untuk Raina. "Oh iya, malam ini boleh kan Ferrel tidur di rumah aku?" Kening Arman berkerut bingung, "tumben, kenapa?" "Nggak apa-apa sih, aku cuman pengen aja ngerasain ngerawat Ferrel." "It's oke. Itu nggak akan jadi masalah, aku seneng kamu bisa sayang sama Ferrel." "Siapa yang nggak bisa sayang sama seorang bayi, cuman orang-orang yang hatinya udah nggak berfungsi aja kalau dia nggak tertatik sama bayi selucu ini." "Mungkin, saat sama kamu, Ferrel bisa ngerasain punya ibu, Rain." "Kasian ya dia, masih sekecil ini udah ditinggalin sama ibunya. Aku aja yang udah besar 17 tahun masih nggak bisa nerima kenyataan kalau ibu udah pergi ninggalin aku sendiri." Arman mendesah resah, terbesit rasa bersalah yang tak mungkin pernah hilang di hatinya, kini kedua mata Arman menatap sendu tanah rumput yang tak bergerak itu. "Maafin aku ya, Rain. Saat ibu kamu meninggal aku nggak ada disisi kamu, justru aku malah nambahin luka di hati kamu. Andai aja aku tau kalau kamu bakal ngalamin itu, mungkin aku nggak akan memilih pergi hari itu." "Arman, ini bukan salah kamu. Kamu nggak perlu minta maaf, kan aku sudah bilang, kenyataan itu emang menyakitkan, sama saat aku pertama kali kehilangan ibu aku, tapi aku mencintai kenyataan itu dengan segenap ke ihklasan yang aku punya, sampai aku sadar kalau Allah sudah punya rencana indah buat aku. Ibu aku nggak mungkon pergi tanpa perhitungan dari-Nya, dan disaat ibu aku pergi, saat itu ibu dan Allah tahu, kalau aku akan mampu melewatinya sendiri." Arman terkagum, sangat jelas saat ini yang tergambar di wajah Raina hanya ketenangan dan ketegaran, perempuan itu nyaris sempurna untuk Arman, bahkan sangat sempurna untuknya. "Aku bersyukur, dikasih pasangan sebaik kamu. Mungkin, aku nggak akan bisa berbuat apa-apa lagi kalau kamu sampai nggak ngasih aku kesempatan." "Kamu salah, Man. Justru dari awal sebenarnya aku udah seneng banget kamu datang dan mau berjuang, tapi aku masih pengen liat kejujuran kamu, apakah kamu akan benar-benar berjuang atau kamu menyerah." "Dan sekarang kamu percaya kan?" "Tentu..." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN