Hasna memperhatikan anak dan menantunya dengan pandangan menyelidik. Pasalnya mereka tak banyak bicara sejak pulang bekerja hingga makan malam bersama saat ini, padahal biasanya dua orang itu akan saling bertanya soal pekerjaan dan kegiatan apa saja yang mereka jalani. Namun, Fahri terlihat sibuk dengan makanannya, sementara Safira berusaha untuk menghabiskannya dengan cepat.
"Oh iya, apa Ibu sudah mengatakan jika besok akan mengunjungi Risa yang baru saja pulang dari rumah sakit?" Hasna membuka percakapan setelah menyelesaikan kegiatan makannya.
"Entahlah, aku tidak ingat, tapi sepertinya belum." Fahri menyahut sambil melahap makanannya, walau dia tampak tak berselera.
"Ya, Risa baru saja pulang dari rumah sakit," ulang Hasna setelah meneguk air minum hingga hampir habis setengahnya.
"Risa sakit apa, Bu?" Safira menyela percakapan setelah menyimaknya cukup lama.
"Kamu lupa ya? Dia kan habis melahirkan." Sang ibu mertua menjawab yang membuat perempuan itu terdiam untuk sejenak.
"Anaknya sudah dua dan yang ini perempuan. Lengkap sudah keluarga mereka." Hasna kembali menerangkan dengan wajah semringah dan penuh kebanggaan atas kelahiran bayi keponakannya tersebut.
Fahri dan Safira saling pandang. Mereka mengerti akan maksud perkataan perempuan itu dan apa yang ingin dia utarakan. Sama seperti sebelumnya setiap kali ada kabar soal kehamilan dan kelahiran yang dialami oleh kerabat terdekat atau siapa pun yang mereka kenal.
"Safira, mungkin kamu terlalu kelelahan, makanya masih belum bisa hamil. Bagaimana kalau kamu berhenti bekerja? Ibu yakin setelah itu kalian akan diberi keturunan." Tanpa tedeng aling-aling Hasna bicara pada menantunya.
"Bu." Fahri segera menghentikannya karena dia merasa jika pembicaraan itu akan menimbulkan perdebatan antara ibu dan istrinya.
"Begini lho, maksud Ibu sebenarnya baik mengatakan ini. Kalau kalian sama-sama sibuk, bagaimana kalian akan punya keturunan? Dan yang sepantasnya mengalah di sini adalah kamu, Safira. Perempuan tidak diwajibkan untuk bekerja, apalagi jika keuangan suaminya baik-baik saja. Kalau Ibu lihat, selama ini pekerjaan Fahri cukup menjamin kita. Dia ada di posisi yang bagus dan perusahaan tempatnya bekerja terus berkembang dengan baik."
"Bu, ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Yang kami lakukan masih dalam batas wajar dan Safira bahkan melakukan semuanya dengan baik." Fahri membela istrinya yang terdiam dengan gelas dalam genggaman.
"Tapi buktinya kalian masih belum bisa punya anak? Terus di mana masalahnya?" Hasna kembali melontarkan beberapa pertanyaan, semakin membuat Fahri ingin mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.
"Tidak ada masalah, Bu. Ini hanya soal waktu." Safira menjawab seperti yang dokter katakan padanya untuk menghindari konflik.
"Lima tahun bukan waktu yang sebentar, Safira. Sebaiknya kalian melakukan pemeriksaan agar mengetahui apa yang terjadi. Apakah kamu sehat atau perlu dilakukan sesuatu?" Hasna, seperti biasa menyudutkan menantunya yang memang tak terlalu dia sukai.
"Bu!"
"Hanya agar ada solusi dari masalah ini. Apa kalian tidak ingin seperti orang lain yang keluarganya lengkap dengan satu atau dua anak? Atau mungkin lebih?"
"Tidak ada masalah, Bu. Kami hanya belum diberi kepercayaan saja," jawab Safira lagi, berusaha agar memberikan jawaban yang masuk akal.
"Tapi tetap saja harus dilakukan pemeriksaan agar kita tahu bagaimana keadaan kalian, terutama kamu!" Hasna menunjuk Safira dengan pandangannya.
"Sudah, Bu!" Yang akhirnya membuat Fahri buka suara soal apa yang baru saja mereka lakukan.
"Apa?" Hasna beralih pada putranya.
"Kami sudah melakukan pemeriksaan diam-diam tanpa sepengetahuan Ibu dan hasilnya keluar hari ini."
"Benarkah? Lalu bagaimana?" Hasna bertanya, walau Fahri tak langsung menjawab, apalagi Safira. Perempuan itu hanya meremat tangannya di bawah meja. Menahan rasa kesal atas segala ucapan sang mertua yang terus menyudutkannya.
"Bagaimana, Fahri? Safira tidak sehat, kan? Jadi, benar dia tidak bisa memberimu keturunan?"
Baik Safira dan Fahri tampak menahan napasnya sejenak.
"Tidak. Bukan Safira, Bu."
"Lalu?"
Fahri hampir melanjutkan ucapannya. Namun, Safira tiba-tiba mempererat genggaman tangannya.
"Kami berdua sehat, Bu." Safira menjawabnya, mendahului Fahri yang kini hanya diam, menatap heran sikap istrinya. "Kami sama-sama sehat dan apa yang Ibu bilang tadi itu benar, sepertinya aku harus mengurangi pekerjaanku agar tidak terlalu sibuk karena dokter juga menganjurkan hal itu." Safira berkata dengan nada bicara yang terdengar begitu tenang, seolah keadaan mereka memang baik-baik saja.
Dia tahu, apa pun yang terjadi dirinya tetap akan menjadi pihak yang dipersalahkan, apalagi soal keturunan yang memang sudah lama dinantikan oleh ibu mertuanya. Terlebih sebagai anak bungsu, kehadiran anak dari Fahri memang sangat ditunggu-tunggu agar melengkapi keluarga mereka. Sama seperti dua kakaknya yang sudah lebih dulu memiliki hal itu.
"Fir …." Fahri balas meremat jemari kecilnya di bawah sana.
"Tidak apa, Mas. Bukannya dokter memang menganjurkan seperti itu?" Safira menoleh sambil tersenyum. "Aku akan coba untuk tidak mengambil pekerjaan terlalu banyak lagi. Mungkin aku akan minta pindah ke divisi promosi agar tidak terlalu sibuk seperti sebelumnya."
"Tapi, Fir?"
"Mas, sudah jangan khawatir! Di divisi promosi kami bekerja sebagai tim. Jadi, akan ada banyak orang yang membantuku mengerjakan beberapa hal. Kemarin pak Frans sudah mengumumkan kalau di sana ada lowongan dan sepertinya aku akan mengambil pekerjaan itu."
Fahri menatap wajah lembut istrinya penuh kekaguman. Dia tahu, Safira memilih untuk menyembunyikan masalah itu hanya demi melindungi harga dirinya sebagai suami, apalagi di depan sang ibu yang sudah sangat ingin menimang cucu darinya.
Safira tersenyum seraya menepuk pundaknya dengan lembut. "Kita hanya harus sabar, kan, Mas? Kalau sudah waktunya, pasti akan punya anak juga." Perempuan itu pun tersenyum. Lagi juga tidak mungkin dia membiarkan Fahri berada di posisi sulit dan menjadi bulan-bulanan Hasna jika sampai wanita paruh baya itu tahu kekurangan suaminya.
"Kami minta doanya saja, ya, Bu? Kata orang, doa ibu itu adalah yang mujarab. Jadi, kami percaya jika Ibu mendoakan, maka apa pun yang kami upayakan tidak akan sia-sia."
"Kalian tahu jika doa Ibu tidak akan pernah berhenti. Maka lakukanlah apa yang perlu dilakukan, Fir."
"Alhamdulillah. Semoga doa Ibu dikabulkan Allah." Safira mengembuskan napas lega. Setidaknya, ibu mertuanya itu tidak akan lagi mengatakan hal yang sama untuk beberapa lama.
***
Malam beranjak larut dan dua orang itu sudah berada di peraduan. Keduanya mencoba untuk tidur meski rasa ngantuk tak kunjung menghampiri. Hanya pikiran saja yang terus berputar-putar mengingat banyak hal, terutama Safira.
"Kenapa kamu tidak mengatakan yang sebenarnya saja sama ibu, Fir?" Akhirnya Fahri memulai percakapan setelah berpikir cukup lama.
"Soal itu …." Safira memiringkan tubuhnya sehingga mereka berhadapan.
"Ya, kenapa kamu malah bicara seperti itu seolah aku baik-baik saja?"
"Kamu memang baik-baik saja, Mas. Memangnya kenapa?" Wanita itu menyentuh d**a suaminya.
"Tidak! Kamu sendiri tahu bagaimana keadaanku. Aku tidak akan bisa memberimu keturunan."
Safira menatap wajah pria itu dengan perasaan yang tak dapat dia artikan. Sedih iya, iba juga ada. Dan yang paling mendominasi adalah kecewa. Tapi, apa yang kini mereka hadapi bukan masalah sebenarnya, namun pandangan orang lain terhadap Fahri yang mungkin akan berubah. Entah itu rasa kasihan atau yang lainnya, dia tidak ingin suaminya mengalami itu semua.
"Mas lupa apa yang dokter katakan?" Perempuan itu mengingatkan. "Semuanya masih bisa diusahakan, Mas. Aku memilih untuk berusaha dulu ketimbang menyerah begitu saja. Aku juga yakin, apa yang kita lakukan nanti pasti akan membuahkan hasil. Ingat! Masih banyak segala kemungkinan yang bisa terjadi dan kita masih punya banyak kesempatan untuk berusaha. Jadi, jangan merasa terpuruk dengan hal ini, Mas. Aku harap kamu mendukung apa yang akan aku lakukan."
"Apa yang akan kamu lakukan?"
Safira tersenyum seraya mendekat kepadanya. "Banyak hal, Mas. Kita konsultasikan dengan dokter dulu apa yang cocok ya?" Dia setengah berbisik.
"Begitu?"
Perempuan itu menganggukkan kepala.
"Kamu yakin ini akan berhasil?"
"Harus yakin."
Fahri menatap wajah dengan binar harapan yang besar.
"Aku harap, Mas berpikiran yang sama seperti aku. Semangat dan harus yakin." Safira membingkai wajah suaminya kemudian mendaratkan ciuman di bibirnya yang tertutup rapat dan untuk beberapa saat mereka berpagutan. Membuat keduanya hampir tenggelam dalam hasrat yang menggebu-gebu. Namun, tiba-tiba saja Fahri malah mendorongnya.
"Maaf, Fir. Aku … sedang tidak ingin sekarang ini. Aku lelah."
Safira terlihat mengembuskan napas pelan dengan rasa kecewa di d**a, tetapi dia tak bisa memaksa juga karena hal seperti itu tidak akan berjalan baik jika dipaksakan.
"Baiklah, aku juga sama lelahnya." Perempuan itu tertawa pelan. Menutupi perasaan yang sebenarnya kecewa. Safira pun lalu melepaskan tangannya dari tubuh Fahri dan segera berbalik membelakanginya.
Safira terdiam lalu melakukan hal yang sama. Sekuat hati dia menerima keadaan itu dengan lapang d**a dan berusaha memaklumi segala yang terjadi. Memahami sikap Fahri dengan segala permasalahan di antara mereka hanya untuk membuatnya merasa baik-baik saja, padahal sebenarnya itu sulit dia lakukan karena pria itu masih tak bisa menerima keadaan dan seperti tidak mempercayai apa pun.
Perempuan itu menghela napas dalam-dalam. Coba memejamkan kedua matanya agar tertidur. "Sabar, Safira. Ini hanya permulaan saja," batinnya bergumam. Namun, ponsel miliknya yang ada di atas nakas tiba-tiba saja menyala meski tanpa suara. Biasanya Safira tidak akan menggubris hal itu, tetapi entah kenapa, kali ini dia tertarik untuk membukanya.
Nomor tak dikenal: Fir, apa kabar?
"Ini siapa, ya? Sepertinya nomor ini baru pertama kali mengirim pesan." Di dalam hati, Safira bertanya penuh rasa heran. Masih menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari nomor tak dikenalnya.
Nomor tak dikenal: Fir, ini Abang.
Safira tersentak dengan mulut menganga. Perlahan dia pun menoleh cepat ke belakang, melihat suaminya yang kini sudah tak lagi bergerak, entah sudah tertidur atau masih terjaga.
"Untuk apa bang Adnan menghubungiku?" Tak lama kemudian, satu pesan kembali masuk. Membuat Safira semakin penasaran. Dengan cepat, perempuan itu pun membuka dan langsung membacanya.
Nomor tak dikenal : Fir, Abang sudah kembali ke Bandung.