Rumah Ibu

1296 Kata
Safira menatap rumah dua lantai yang dia lewati dalam perjalanan ke rumah ibunya. Bangunan itu tampak megah, seperti biasa meski terletak di tengah pemukiman kelas menengah. Dan hari ini tampak lebih terlihat asri seperti ada yang mendiaminya lagi. Tiba-tiba saja dia ingat pada seseorang yang semalam menghubunginya, tetapi buru-buru ditepisnya pikiran itu karena terasa tidak mungkin. Tidak jauh dari sana, hanya terhalang beberapa rumah saja dia sudah tiba di pekarangan rumah ibunya. Perempuan itu menghentikan laju motor maticnya kemudian membuka helm ketika di saat yang bersamaan, Melia keluar menyambutnya. "Kamu sendiri?" Sang ibu menatap ke belakang putrinya. "Ya, memangnya mau dengan siapa?" Safira terkekeh. "Ibu sehat?" Dia mencium tangan sang ibu dengan takdzim kemudian memeluknya seperti biasa. "Suamimu sibuk sekali ya sampai-sampai dia tidak bisa menemanimu berkunjung ke sini?" Melia menerima bungkusan yang dibawa oleh sang putri khusus untuknya. "Ibu juga tahu kan? Jadi, biar saja lah." "Iya, tapi tetap saja …." "Ssst, jangan dibahas. Yang penting Mas Fahri tidak pernah melarangku menemui Ibu atau melakukan apa pun yang perlu aku lakukan." Safira membela suaminya seperti biasa. Dia melepaskan jaket, sepatu dan kaos kakinya kemudian segera menjatuhkan diri di sofa. "Ah … nyaman sekali!" katanya yang segera menerima ketika sang ibu menyodorkan segelas air minum untuknya. Rumah masa kecil memang selalu menjadi yang ternyaman. Entah seberapa jauh kita pindah, atau seberapa bagus rumah baru, tetapi rumah orang tua akan memiliki tempatnya sendiri. Apalagi jika penghuninya selalu membuat kita merasa bahwa pulang adalah merupakan pilihan terbaik meski tidak selama biasanya. "Kamu sudah minta izin kepada Fahri kalau akan mampir dulu ke sini?" Melia bertanya. "Sudah, Bu. Mas Fahri bahkan memintaku untuk tetap di sini dulu karena dia ada lembur sampai malam." Safira meletakkan gelas air minumnya di meja. "Kenapa? Bukannya mertuamu ada di rumah?" "Ya." "Lalu mengapa dia memintamu untuk mampir ke sini?" Melia dengan tatapan curiga. "Perempuan kalau sudah menikah dan dibawa suami, prioritasnya sudah berbeda, Fir." Dia duduk di sofa terdekat dengan Safira. "Jangan hanya karena merasa tidak nyaman lantas membuatmu selalu menghindar. Ingat, mertuamu itu adalah seorang ibu dari anak laki-laki yang menikahimu, jadi kamu juga wajib berbakti kepadanya. Biasakan hidup dengannya dan cobalah untuk memakluminya." Seperti biasa, dia mengingatkan sang putri. "Fir?" "Iya, Bu. Aku mengerti. Hanya saja, Mas Fahri memang benar menyuruhku ke sini dulu kalau mau. Lagipula, mungkin jam segini mertuaku belun pulang." Safira menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah lima sore. "Memangnya ke mana? Tadi kamu bilang ada?" Safira tak segera menjawab. "Safira?" Melia memanggil putrinya seolah ia tak ada di sana. "Ibunya Mas Fahri menjenguk Risa ke rumah sakit, Bu." Akhirnya Safira buka suara. "Risa?" "Sepupunya Mas Fahri." "Memangnya dia kenapa?" Safira terdiam sejenak. "Fir?" "Habis melahirkan, Bu." Dan jawaban Safira sukses membuat ibunya bungkam untuk beberapa saat. "Itulah mengapa Mas Fahri memintaku untuk mampir dulu ke sini, agar ibunya mengira jika aku ada lembur sehingga tak harus ikut ke rumah sakit," jelasnya kemudian. Melia menatap sang putri dengan raut tak biasa dan sedikit rasa iba. "Maaf, Fir. Ibu tidak bermaksud …." "Tidak apa-apa, Bu. Sepertinya aku sudah mulai terbiasa dengan hal seperti ini." Safira pun terkekeh. "Sekarang, biarkan aku istirahat di sini ya? Capek sekali rasanya. Kantor sibuk dan aku harus menyiapkan perpindahanku ke divisi promosi." Perempuan itu memejamkan mata sementara Melia menatapnya dengan rasa yang entah bagaimana dia harus menyebutnya. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi dua orang untuk menjalani biduk rumah tangga. Apalagi bagi Safira dan Fahri yang telah saling mengenal sejak di bangku kuliah. Tetapi perjalanan hidup tak ada yang sepenuhnya mulus. Pasti akan ada saja masalah yang harus dihadapi, apalagi dalam hubungan antar pribadi. Berbagai hal bisa saja menjadi penyebab perselisihan. Entah itu soal sikap, materi atau yang lainnya. Tetapi dia melihat tak ada yang janggal di antara anak dan menantunya. Mereka baik-baik saja, bahkan terlihat cukup sempurna sebagai pasangan. Dan dalam hal materi bahkan tampak tak ada masalah. Keduanya memiliki karir yang sama-sama bagus yang sesuai dengan minatnya. Fahri bekerja di perusahaan otomotif dengan posisi bagus, sementara Safira di perusahaan jasa desain lokal sejak dia lulus kuliah. Hanya saja, rumah tangga mereka yang belum juga dikaruniai keturunan memang menjadi satu-satunya kekurangan. Apalagi jiga mendengar ucapan orang tentang itu yang terkadang membuat kekuatan mental menurun. "Kamu sehat kan, Nak?" Melia mengusap tangan Safira. "Sehat, Bu. Aku bahkan merasa sangat sehat. Hanya lelah saja." Sang putri menjawab tanpa membuka kedua matanya. Melia masih menatapnya, tetapi dia tak ingin mengganggu perempuan itu dengan kalimat selanjutnya. "Baiklah, Ibu akan masak dulu. Setelah ini kamu makan, ya?" Dia kemudian beranjak, dan Safira hanya menjawabnya dengan anggukkan. *** Melia menatap putrinya yang makan dengan lahap seperti ini baru pertama kali dia menemukan makanan. Dan hal itu selalu menjadi sesuatu yang paling menyenangkan untuk dilihat. Sejak Safira berumah tangga dan ikut Fahri pindah ke rumahnya bersama Hasna, anak perempuan satu-satunya itu memang jarang sekali berkunjung. Hanya sesekali saja jika dia ada waktu luang atau tak mengambil lemburan. Dan terkadang, jika ingin menghindari acara besar di keluarga mereka, barulah dia memutuskan untuk pulang. Dan inilah yang paling Melia rindukan. Makan bersama dan membicarakan banyak hal seperti yang dulu selalu mereka lakukan ketika Safira belum menikah. "Rumahnya Om Ganda sudah selesai direnovasi ya Bu?" Safira teringat bangunan yang ia lewati tadi sore. "Iya, baru saja." Melia menyahut. "Mau dijual?" "Tidak tahu. Kenapa kamu bertanya begitu?" "Hanya mengira-ngira saja. Habis, rumahnya jadi bagus." "Ya, mungkin Widia sengaja merenovasinya agar tidak terlihat seram walau kosong." "Teh Widia yang merenovasi?" "Sepertinya iya, karena Ibu lihat dia yang bolak-balik ke sana. Pernah juga mampir ke sini." "Hmm …." Safira meneguk air minum hingga habis setengahnya. "Sejak Tante Hana dan Om Ganda meninggal mereka benar-benar jarang ke sini ya, Bu?" Lalu dia kembali berbicara. "Ya." "Adnan bahkan sudah berapa tahun tidak pulang? Terakhir dua tahun lalu setelah seratus hari Tante Hana meninggal. Sepertinya tidak ada alasan bagi mereka untuk pulang karena orang tua sudah tidak ada." Safira merasa sesuatu di dalam dadanya meledak ketika mendengar nama itu disebut. Lagi-lagi dia ingat dengan pesan yang masuk ke ponselnya semalam. "Sayang, rumah sebesar dan sebagus itu tidak ada yang meninggali ya, Bu?" Safira menyuapkan makanan terakhir di piringnya, kemudian dia bangkit setelah meneguk habis air minumnya. Membawa piring kotor ke bak cuci, kemudian membersihkannya seperti yang selalu dia lakukan sejak kecil. Lalu perhatian mereka beralih ketika ponselnya berbunyi nyaring. "Fahri ya?" Melia bertanya. "Iya. Aku pikir Mas Fahri akan mampir juga ke sini." Safira meletakkan benda pipih itu kembali di meja. "Lalu kamu akan pulang?" Melia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. "Ya apa boleh buat?" Lalu Safira meraih jaket setelah mengenakan kaos kakinya. "Apa tidak sebaiknya kamu menginap saja? Malam-malam begini berkendara bagi perempuan sangat berbahaya, Fir." "Tidak bisa, Bu. Kalau menginap aku repot besok pagi harus bolak-balik dan menyiapkan keperluannya Mas Fahri." Melia tampak menghela napasnya dalam-dalam. Sekalipun dipaksa, putrinya itu tidak akan pernah menuruti ucapannya. Dan dia akan memilih menembus pekatnya malam ketimbang harus meninggalkan suaminya di rumah sendirian. "Baiklah, hanya … hati-hati saja." Dia lantas membenahi jaket yang Safira kenakan sebelum perempuan itu keluar dari rumah. "Aku pulang ya, Bu? Sehat-sehat terus," pamit sang anak sambil mengenakan helm dengan mesin motor yang sudah menyala. Kemudian dia segera pergi setelah memastikan jika semuanya aman. Dan perhatian Safira kembali beralih ketika rumah besar di pinggir jalan itu tampak terang benderang seolah ada yang menghuninya lagi setelah sekian lama. Safira bahkan sampai menghentikan laju motornya ketika melihat sebuah mobil berwarna hitam terparkir di depan rumah. Dan dia memicingkan mata untuk memperjelas pandangannya ketika tampak sosok yang sepertinya dikenal tengah menurunkan barang-barang. Dan dirinya tidak akan mempercayai jika tak melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa itu memang orang yang dikenalnya. "Bang Adnan?" gumamnya saat sosok itu tampak menoleh dan wajah pria itu jelas dalam pandangan meski hanya diterangi oleh lampu dari bagian belakang mobil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN