Makan Malam (3)

1229 Kata
Pandangan Marsha tak henti-hentinya ke arah Alana yang memberi senyuman padanya. Gesya, menyadari bahwa tatapan Marsha itu mengandung arti. Gesya menyenggol Alana, dan berbisik, “Dia kok ngelihatin lo mulu, Al, pasti ada sesuatu nih!” Alana menoleh ke Gesya, “Kayak Syahrini aja pakai sesuatu, ya mungkin karena baru pertama kali ketemu, makanya merhatiin gue,” balas Alana santai. “Kalau menurut gue sih, bukan karena itu. Tapi ada hal lain yang menjanggal di hatinya,” tebak Gesya. “Sya, ini bukan waktunya main tebak-tebakan. Ini acara makan malam!” lagi-lagi Alana masih berusaha berpikir positif. Tampak di hadapan Alana dan Gesya juga, Richard menyandarkan tangan kanannya di pinggul Marsha, “Ayo Sayang, kita langsung makan aja.” Marsha tersenyum dan mengikuti tuntunan Richard. Marsha dan Richard duduk di kursi kosong, yang memang ada sisa dua kursi yang kosong di sana. Bu Vivian dan Pak Niko, ikut memandang penampilan Marsha malam itu. Dari atas sampai bawah, Bu Vivian geleng-geleng dan segera menutupi mata Pak Niko yang takutnya salah fokus. Udah tua, nanti demennya anak muda. Jatuhnya sugar daddy, dong! “Ma, Pa, Gesya bocil, kenalin ini Marsha,” tukas Richard pada semuanya yang hadir di meja makan tersebut. “Perkenalkan, nama saya Marsha Intan Ayu,” ucap Marsha sembari tersenyum dan menjulurkan tangannya ke Bu Vivian. Bu Vivian hanya menatap heran Marsha, tidak berminat sama sekali membalas salaman tersebut. Merasa Bu Vivian tidak menyambut baik uluran tangannya itu, Marsha memindahkan tangannya tadi ke depan Pak Niko. “Pak, saya Marsha Intan Ayu,” seraya mengulangi nama lengkapnya. Pak Niko tersenyum dan ketika hendak menjabat tangan Marsha, Bu Vivian cepat-cepat menurunkan tangan Pak Niko. “Gak usah kebanyakan tingkah, Papi udah tua,” pekik Bu Vivian, membuat Gesya yang ada di depannya itu terkekeh. “Marsha, baju kamu tolong dinaikin lagi, kelihatan tuh belahannya,” ujar Bu Vivian dengan wajah ketus, ketika melihat Marsha yang membungkuk, mengulurkan tangannya. Marsha menatap ke bawah, dan benar saya belahan dha—dhanya tampak jelas. “Maaf, Bu,” Marsha cepat-cepat duduk dan memperbaiki baju minimnya. “Hai Marsha Intan Ayu, kenalin gue Alana Savira,” Alana sekejab mengulurkan tangannya ke Marsha, di kala Pak Niko dan Bu Vivian tidak menyambutnya hangat. Tak lupa, Alana pun mengirimkan senyum untuk Marsha, tamu baru itu. “Hai, Alana …” Marsha menerima jabatan tangan dari Alana, dan kedua mata Marsha seperti mendapat petunjuk kalau perempuan ini ada apa-apanya di keluarga Richard. “Sudah kenalannya?” kata Richard ketika Alana dan Marsha tidak melepas jabatan mereka selama sekian detik. “Hehehe, sudah,” keduanya otomatis melepas genggaman tersebut. “Ya udah, kita makan yuk Yang lainnya udah makan, belum?” tanya Richard sebelum mengambil piring. “Sudah, kalian berdua makan aja dulu, udah jam segini tuh,” timpal Pak Niko. “Permisi Om, Tante …” seru Marsha yang mengambil piring kosong. Wajah Bu Vivian tampak tidak bertenaga malam ini, terpancar pula dari sorot-sorot matanya, ada sesuatu yang membuatnya kesal. Pandangan demi pandangan ditujukan tajam secara bergantian ke Richard dan Marsha yang sibuk mengambil makanan. Sesekali bibir ujung Bu Vivian terangkat. Gesya yang menatap jelas perubahan wajah Bu Vivian itu, cukup mengetahui dan tidak menggubris lebih lanjut. Yang Gesya tahu, Bu Vivian sedang badmood tingkat dewa. Dentingan garpu dan sendok milik Richard dan Marsha, mewarnai keheningan malam itu. Alana juga heran, kenapa tiba-tiba semua orang tidak berkata apapun? Padahal sebelumnya, Bu Vivian mau ngomong sesuatu. “Bu Vivian maaf, tadi ada yang mau diomongin ke saya?” tanya Alana dengan sopannya, biar ada pembicaraan aja gitu. “Ada. Tapi nanti saja, ini bukan waktu yang tepat,” balas Bu Vivian. “Mami, makanannya enak loh. Terima kasih ya sudah bikin acara makan malam kayak gini. Dan, sudah ngundang Marsha juga,” ucap Richard dengan senyuman sambil melahap nasi di sendoknya. “Marsha, lo senang makanan yang mana?” tanya Richard ke kekasihnya itu. “Semuanya, hehehe. Tante Vivian sendiri yang buat?” Marsha balik bertanya pada Bu Vivian. Namun, Bu Vivian tidak menjawab dan malah memalingkan wajah ke Pak Niko. “Bete banget Mami!” ujarnya pelan. “Mami, kapan-kapan ajarin Marsha masak dong, dia juga pengen bisa masak tuh kayak Mami,” tutur Richard. “Hehe iya Te, apa boleh?” timpal Marsha. Bu Vivian tak menjawab lagi dan menelik Marsha sinis. Dreeeet! Kursi makan itu tergeser, Bu Vivian beranjak dari duduknya. “Ngantuk, udah malam, udah waktunya tidur. Yuk, Pap!” ajak Bu Vivian yang sudah mencolek bahu Pak Niko. Pak Niko menggeleng pelan, ia mengerlingkan matanya ke arah Gesya, Alana, Richard, juga Marsha. Bu Vivian tahu sih maksudnya, kalau Pak Niko itu tidak enak mau meninggalkan mereka semua. “Udah ah! Ayuk Pap! Kalau gak mau, malam ini libur loh!” ancam Bu Vivian. “Ya udah deh, enggak, enggak. Ini Papi ikutan tidur juga sama Mami,” tukas Pak Niko yang agak panik kalau Bu Vivian mengatakan “libur”. You know what I mean lah, libur itu soal ranjang. Semuanya memandang kepergian Bu Vivian dan Pak Niko yang beralasan mau tidur itu. Sampai akhirnya Marsha dan Richard yang baru saja menelan beberapa suap, menaruh garpu dan sendok mereka masing-masing. Richard merasa kesal dengan tingkah kedua orang tuanya. “Papi, Mami, gue dan Marsha baru datang kok kalian main pergi-pergi aja sih?” ujar Richard kesal. Bu Vivian dan Pak Niko tidak menjawab dan saling memandang satu sama lain. “Papi, Mami, harusnya kalian senang di rumah ini ramai. Kalian itu juga harus menyambut tamu dengan baik, masa iya Marsha datang jauh-jauh ke sini malah ditinggalin sih?” lanjut Richard lagi dan kali ini berdiri. “Katanya … acara malam ini spesial untuk keluarga. Tapi nyatanya, gue merasakan ada sesuatu yang garing di sini, gak jelas, aneh, ah!” Richard sudah naik pitam. “Marsha, kita pulang sekarang!” Richard menarik Marsha berdiri. “Gak usah bikin acara-acara lagi kalau akhirnya kayak gini! Gue pergi!” Richard menarik Marsha keluar rumahnya. Marsha pun tidak sempat pamit pada Bu Vivian dan Pak Niko. Memang, kondisi saat itu tidak semenyenangkan acara-acara keluarga biasanya. Malahan, cenderung sunyi tanpa ada pembicaraan. “Chad!” teriak Pak Niko yang berusaha menghentikan Richard. “Udah, Pap, gak usah diladenin,” Bu Vivian memegangi pundak Pak Niko. “Perempuan tadi, siapa, Mam?” tanya Pak Niko. “Marsha,” jawab Gesya. “Siapanya Richard?” tanya Pak Niko lagi. “Pa—” Gesya hendak menjawab tapi ditahan Bu Vivian. “Gak tahu, mungkin teman sekolahnya kali ya. Kita masuk ke kamar aja yuk Pap, biar Bibik langsung beresin semuanya ini,” ucap Bu Vivian yang menarik manja tangan Pak Niko. Siapa coba yang gak nolak kalau dimanja gitu?! “Gesya, Alana, kami tinggal ya. Terima kasih sudah menerima undangan makan malam kami malam ini,” seru Bu Vivian yang langsung pergi menggandeng Pak Niko. Bu Vivian dan Pak Niko mulai menjauh. Alana jadi bingung kenapa acara malam ini begitu singkat dan ada sesuatu masalah kecil antara Richard dan kedua orang tuanya, terutama Bu Vivian. “Sya, kenapa sih abang lo?” tanya Alana. “Biasalah, lo kayak gak tahu abang gue gimana,” jawab Gesya santai. “Iya sih, pemarahan banget. Kasihan nyoakap dan bokap lo dimarahin begitu,” balas Alana. “Ya mau gimana lagi, otak abang gue emang keras. Yuk, pulang yuk. Udah kenyang kan lo?” ajak Gesya. Alana mengangguk. “Yuk!”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN