Pulang

1645 Kata
BRAK! Dengan kesalnya Richard menutup pintu mobilnya. Ia masih terbayang-bayang kejadian tidak menyenangkan di meja makan tadi. “Bisa-bisanya orang tua gue begitu!” gerutu Richard sambil memukul-mukul stir mobilnya. Marsha memegang pundak Richard, “Sabar, Sayang … mungkin untuk pertama kalinya gue datang ke situ, mereka gak begitu menyambut hangat. Dan mungkin karena gue salah kostum gini kali ya,” Marsha melihat lagi penampilannya itu, ya memang serba minim. “Gak ada yang salah sama penampilan, Sayang. Lo mau pakai baju apapun, harusnya orang tua gue menyambut dengan suka cita dong! Secara lo kan pacar gue, alias calon istri gue!” Richard menekankan. Marsha terkekeh. “Akan ada saatnya keluarga lo nerima gue apa adanya. Kita lihat waktu permaianannya aja. Lebih baik anter aku pulang ke apartemen, yuk. Udah malem, kasihan Mama sendirian di sana.” Richard pun mengangguk walaupun rasa sesal itu masih menyangkut di hatinya. Richard mencoba menenangkan dirinya ketika mulai menyalakan mesin mobilnya. Richard harus mengenyampingkan egonya ketika menyetir, karena ia tahu ketika menyetir sambil gelisah, emosi, atau marah, akan mengakibatkan resiko kecelakaan lima kali lipat dibandingkan bermain ponsel. Dengan keseluruhan, pengendara akan merasa kewalahan karena emosinya sembilan koma delapan kali lebih mungkin untuk mengalami kecelakaan. “Pokoknya gue minta maaf ya sudah bikin lo badmood malam ini,” ujar Marsha begitu lembut. Mobil Mercedez itu mulai menancapkan gasnya. Sepanjang perjalanan, ternyata Marsha ikut-ikutan menyimpan pertanyaan soal gelagat dari kedua orang tua Richard itu. Pasalnya, baru saja pertama kali bertemu sudah tidak ada perasaan hangat sedikitpun pada Marsha. Apa salah Marsha? Masa iya hanya karena berpakaian minim? Bukannya Richard pernah bilang kalau kedua orang tuanya tidak mempermasalahkan itu, ya? Flashback. Sekitar dua jam yang lalu, Richard sudah mendatangi Marsha di apartemennya. Ketika Marsha membuka pintu, betapa terkejutnya karena Richard berpakaian kemeja rapi tidak seperti biasanya. Biasanya aja kalau ke apartemen nih, hanya mengandalkan kaos oblong dan celana kain selutut, udah! Kali itu berbeda, bikin Marsha mengernyitkan dahinya. “Mau ke mana lo?” tanya Marsha keheranan. “Mau jemput lo lah, emang mau ke mana lagi. Tujuan gue itu kalo gak ke kantor ya ngapelin lo,” jawab Richard dengan santuynya. “Terus, mau ngajak gue ke mana?” Marsha masih kepo kembali. “Ke sebuah tempat lah, Sayang. Ini gue gak disuruh masuk? Disuruh berdiri aja nih di depan pintu?” respon Richard. “Oh iya, maaf, maaf,” Marsha membuka lebar pintunya dan Richard masuk ke dalam apartemen yang dibelinya khusus untuk Marsha dan Bu Alin itu. “Lagian penampilan lo beda banget kayak biasanya. Jadinya gue agak heran, lo ini salah masuk kamar apa gimana,” lanjut Marha. “Hah? Gue salah masuk kamar? Bahaya banget perkiraan lo. Ntar kalau beneran masuk kamar, lo-nya yang heboh dan mencak-mencak sama gue,” balas Richard. “Hehehe, iya sih,” seru Marsha yang kemudian duduk di atas sofa. Richard pun turut mengikuti aktivitas yang dilakukan kekasihnya itu, mengambil tempat duduk di samping Marsha. “Ayo, sekarang lo yang siap-siap, Sayang!” seru Richard. “Mau ngapain, sih? Lo jangan bikin gue mikir keras deh malam-malam gini. Capek gue tuh seharian tadi di kampus, malamnya malah disuruh mikir lagi,” pekik Marsha sambil memegangi kepalanya. Richard merangkul Marsha, dilihatnya kedua mata kekasihnya yang cokelat itu. Sambil tersenyum Richard pun berujar, “Hahahaha, orang tua gue bikin acara makan malam. Semua anggota keluarga di suruh ikut.” “Lah ya udah lo aja yang datang, kan yang diundang semua keluarga. Kenapa gue juga datang?” tanya Marsha. “Ya karena lo bagian dari keluarga juga, lah. Lo kan pacar gue, calon istri gue, udah pasti masuk ke kategori keluarga, kan?” jawab Richard. Marsha mengangguk lemah. “Tapi kan belum resmi. Dan satu lagi, gue belum siap ketemu orang tua lo, Chad!” terang Marsha. “Kenapa? Mau kapan lagi lo siap, Sayang? Kita udah pacaran lama loh, kenapa lo ngehindar terus tiap kali diajak ketemu orang tua gue?” ungkap Richard. “Ya gue ngerasa gak pantes aja dan—“ “Gak pantes gimana, Sayang? Lo itu pilihan gue, gak mungkin pilihan gue itu salah. Dan kedua orang tua gue pasti support, dong!” tukas Richard. “Hmm, emang ada ya orang tua yang setuju anaknya pacaran sama perempuan malam? Gue suka banget keluyuran malam, clubbing, minum-minum, dan pakai pakaian seksi kemana pun gue pergi. Masih ada orang tua yang sepakat nikahin anaknya sama perempuan kayak gue?” beber Marsha yang begitu berat hati menceritakan tentang dirinya. “Orang tua gue gak bakal tahu lo seperti itu. Tenang aja, gue akan menutup kebiasaan lo yang itu. Lo gak perlu khawatir bokap dan nyokap gue bakal nolak lo,” terang Richard. “Lo yakin?” tanya Marsha yang malah dirinya yang tak begitu yakin. “Yakin, lah. Penampilan gue loh minim begini dan—“ “Penampilan adik gue, Gesya juga minim, Sayang. Sama saja, dan gak ada yang salah sama penampilan. Orang tua gue pun biasa aja lihat Gesya jalan kesana-kemari pakai baju minim. Asalkan gak pakai dalaman doang! Bahkan, orang tua gue ini ya selalu support Gesya tiap kali Gesya bikin baju desainnya sendiri. Dan rata-rata baju terbuka semua, Sayang,” beber Richard. “Itu kan adik lo dan memang bergerak di dunia fashion. Sedangkan gue? Bergerak dibidang malam-malam kelabu ibukota,” balas Marsha. “Sayang, denger ya baik-baik. Gue suka sama lo, cinta, dan sayang sama lo karena hati lo. Gue tenang aja gitu di dekat lo,” ujar Richard yang kedua matanya menatap tajam kekasih di sampingnya itu. “Lo ngerasa tenang di dekat gue atau penasaran pengen cobain gue?” goda Marsha memincingkan kedua matanya. “Itu juga … tapi hanya sedikit, Mar!” tegas Richard lagi. “Udah ah, sekarang ganti baju dan siap-siap biar kita makan malam bareng. Lo udah laper kan? Ya udah gih, cepetannnn!” seru Richard yang mengangkat badan Marsha untuk beranjak dari sofa. “Dih, geli!” tangan Richard menyentuh tulang-tulang rusuk samping milik Marsha. “Hehehe makanya cepetan, gue tunggu, ya!” ujar Richard dan Marsha memasuki kamarnya untuk bergegas. Selesai flashback. “Chad … apa tadi ada yang salah sama omongan gue ke nyokap dan bokap lo ya? Soalnya mereka menghindar dari gue gitu,” pikir Marsha. Di kepala Marsha banyak sekali hal-hal yang menjanggal. Terlebih, soal pertemuannya dengan kedua orang tua Richard yang cenderung menampilkan respon negatif. “Gak! Gak ada yang salah dari lo. Emang pikiran bokap dan nyokap gue aja yang bawel,” timpal Richard yang berusaha menghilangkan pikiran bersalah atas Marsha. “Tapi kan … gue kepikiran juga Chad! Dan gue gak enak aja gitu kedepannya kalau ketemu sama kedua orang tua lo lagi,” kata Marsha. “Itu urusan belakangan. Yang penting lo masih milik gue, titik! Gak usah mikirin yang macam-macam, ya Sayangku,” kata-kata Richard yang menggoda itu membuat Marsha tenang walaupun tidak sepenuhnya. Marsha tersenyum. “Baik banget sih. Dan terima kasih ya Chad udah mau ngajak gue ketemu orang tua lo. Walaupun … hasilnya begini hehehe.” Richard berbalik senyum, adalah sebuah kebahagiaan ketika melihat perempuan yang dicintainya itu tersenyum pula. Richard menepikan mobilnya, di sebuah jalan sepi minim kendaraan yang lewat. “Berhenti bentar, ya,” ujar Richard. “Mau ngapain? Bensin lo habis?” Marsha bingung. “Kagak, kagak!” Richard menggeleng. Richard pun melepas seat belt-nya seraya menatap ke arah Marsha. Richard mengenyampingkan badannya ke Marsha, dan Marsha mengikutinya. Richard memegang kedua wajah Marsha yang dirudung kekhawatiran atas kejadian makan malam itu. Namun, Richard harus bisa menanganinya, “Jangan risau, ada gue di sini untuk lo. Lo yang paling berharga buat gue, dan gue mau ngelakuin apa aja buat lo dan nyokap lo supaya lo tinggal terus sama gue,” Richard auto romantis. Marsha mengernyitkan dahinya. “Chad? Lo mau—“ Dengan cepat Richard menghantupkan bibirnya ke bibir Marsha. Hembusan napas milik Richard itu terasa jelas di wajah Marsha. Untung saja bukan bau jengkol atau pete, melainkan aroma wangi napas Richard seperti biasa. Tampaknya Marsha tidak memundurkan atau menolak kegiatan Richard itu. Marsha turut memiringkan kepalanya ke kanan dan menutup kedua matanya untuk menikmati kecupan malam itu. Tak lama kemudian, dua sinar terang menyoroti kaca mobil Richard. Kedua sinar itu menembus tajam yang membuat Richard dan Marsha auto menghentikan perbuatannya. Pelan-pelan, sebuah motor matic mengarah ke mobil Richard yang sedang menepi itu. TIN! TIN! TIN! Di atas motor itu sudah ada wanita dewasa mengenakan jaket merah. Motor itupun berhenti di samping jendela mobil Richard. “Tante?!” Richard terkejut. “Ngapain nyokap lo malam-malam ke sini, Sayang?” Richard bingung ketika wajah wanita dewasa itu adalah jelas Bu Alin. Marhsa pun terkekeh. “Buka jendelanya, Sayang,” seru Marsha. KREK! “Mama? Ngapain ke sini? Dingin banget loh, gelap lagi, hahaha,” kekeh Marsha. “Tadi itu Mama lihat di radar, kalau kamu lagi menepi di sini. Yang Mama tahu, ini tempat sepi dikelilingi hutan, jadi pikiran Mama kemana-mana. Kalau kamu ada di club gak apa-apa, soalnya ramai orang. Lah kalau di sini? Kayak mau dibegal tau!” jelas Bu Alin yang ternyata udah mikir negatif duluan. “Gak lah, Mam! Kan tadi gue udah bilang kalau mau pergi sama Richard untuk makan malam keluarga. Udah pasti dong pulangnya juga sama Richard sampai ke apartemen,” balas Marsha. “Iya, tapi tetep aja Mama khawatir. Terus, kalian kenapa menepi di sini berduaan?” tanya Bu Alin. “Hehehehe,” Marsha dan Richard saling menyengir, memperlihatkan gigi mereka masing-masing. “Hayo jawab!” Bu Alin sudah aneh duluan karena mereka berdua sepakat tidak menjawab jelas. “Kalian m***m ya!?” tembak Bu Alin dengan tuduhannya yang begitu sensitif. “Mam! Malam-malam jangan teriak dong! Dikira Mama yang begal kita, loh!” seru Marsha kemudian. “Abisnya kalian ngapain berhenti di sini?! Gelap dan sepi lagi!!! Ayo jawab!” Bu Alin semakin menekankan pertanyaannya ke Richard dan Marsha yang bibirnya masih membisu tak menjawab.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN