Tanpa banyak kata, Bu Murni segera mengerjakan semua kekacauan itu dibantu oleh Shanum, sebelum gadis itu bersih- bersih ruang tengah, seperti yang diperintahkan bulik Lastri tadi. Sedangkan Carla terlihat bingung mau ngapain. Karena, dia enggak pernah kerja kayak gitu. Di rumahnya, semua sudah dikerjakan oleh pembantu yang memiliki tugas masing-masing. Ya, walau dia juga tahu bagaimana mencuci piring. Tapi, itu hanya satu atau dua buah saja. Sedangkan ini, menggunung. Dan belum lagi yang lain-lain.
“Mbak duduk saja di situ, tolong kupas bawang merah sama bawang putih ini ya.” Shanum meminta tolong pada Carla yang mengangguk mengiyakan lalu segera melakukan tugasnya. Tentu saja setelah diajari oleh Shanum bagaimana caranya. Tapi, Carla segera menyerah mengupas bawang merah, karena matanya sangat perih sekali. Bu Murni hanya tersenyum saja melihat Carla yang sepertinya tidak biasa terjun ke dapur.
“Emang yang lain kemana? kenapa hanya Ibu dan kamu yang bekerja?” tanya Carla pada Shanum yang tengah membantu Ibu mencuci piring.
“Ehmm … mereka sudah bekerja, sekarang giliran Shanum sama Ibu,” jawab Shanum singkat sambil melirik ke arah Ibunya yang tengah sibuk dengan piring kotor yang mulai berkurang. Sedangkan Bu Murni yang dilirik hanya diam saja tidak berkomentar apapun.
Shanum lalu mengalihkan pembicaraan, agar Carla tidak banyak bertanya tentang keluarga Bapaknya tersebut. Mereka ngobrol sambil bekerja, dan sesekali Shanum melontarkan candaan agar kakak iparnya yang terkesan dingin itu mau tertawa.
“Heh … Shanum, malah cekakak-cekikik enggak jelas! tuh, dipanggil Mama di depan.” Saat sedang asyik bercanda, rupanya ada yang datang dan memanggil Shanum dengan gayanya yang super jutek. Jika dilihat, gadis yang memanggil Shanum itu seusia Shanum. Setelah mengatakan hal tersebut, dia lalu melangkah pergi dengan gaya angkuhnya.
“Dia itu siapa?” tanya Carla pada Shanum.
“Dia itu anaknya Bulik Lastri, namanya Vina. Shanum ke depan dulu ya, takutnya Bulik Lastri nyusul kemari,” ucap Shanum lalu beranjak pergi meninggalkan Carla dan juga Bu Murni. Ada rasa tidak rela di hati Carla saat Shanum menjauh. Dia tidak ingin Shanum pergi, karena takut jika gadis manis itu, kembali kena omel oleh mulut pedas wanita bernama Lastri yang enggak ada otaknya sama sekali.
“Nak Ara pulang saja. Biar nanti Ibu sama Shanum yang selesaikan. Ini tinggal bersih-bersih sedikit lagi terus selesai. Lalu Ibu lanjut memasak bahan makanan untuk nanti malam.” Bu Murni meminta Carla untuk pulang karena merasa tidak enak pada menantunya tersebut. Bukannya datang berkunjung dan bisa duduk dengan tenang. Ini malah harus berhadapan dengan menumpuknya pekerjaan. Ya … jika ingin, sebenarnya Bu Murni juga tidak ingin begini. Tapi, nasib lah yang membuatnya harus seperti ini.
Menjadi miskin bukan pilihannya. Tapi, demikianlah yang saat ini digariskan Tuhan untuknya. Walau demikian, Bu Murni tetap bersyukur, karena diberikan tubuh yang sehat, dan juga anak-anak yang penurut. Walau putra sulungnya, Faqih, hanya lulusan sekolah menengah atas, tapi putranya itu bisa terus menyekolahkan adiknya hingga saat ini, tanpa bantuan dari keluarga Suaminya.
Saat Suaminya meninggal, Bu Murni hampir saja putus asa dengan keadaan. Saat itu, Faqih baru lulus Sekolah Menengah atas, dan Shanum baru kelas delapan Sekolah Menengah Pertama. Tapi Faqih segera mengambil tanggung jawab Bapaknya, dengan bekerja apa saja sehingga adiknya masih bisa terus sekolah hingga saat ini. Ya … minimal bisa menamatkan sekolah menengah atas sudah sangat baik untuk Shanum. Urusan kuliah, kembali lagi pada keadaan ekonomi, sanggup atau tidak.
Faqih yang beberapa tahun ini merantau, tiba-tiba meminta restu untuk menikah. Hal tersebut benar-benar membuat Bu Murni kaget luar biasa. Apalagi jarak usia Faqih dan calon Istrinya yang juga jauh. Usia Faqih lebih muda lima tahun dibandingkan calon Istrinya. Faqih yang baru berusia dua puluh empat tahun, menikahi wanita yang berusia dua puluh sembilan tahun. Hal yang membuat Bu Murni kembali menjadi cibiran dari saudara-saudara suaminya. Apalagi, saat mereka tahu jika calon Istri Faqih tidak memiliki pekerjaan tetap. Maka semakin semena-menalah mereka menghina Bu Murni dan keluarganya. Tentu saja untuk melampiaskan kekesalan hati mereka, karena Faqih pernah menolak untuk dinikahkan dengan janda kaya –raya di kampung mereka. Yang Bu Murni tahu, jika janda itu menyukai Faqih. Hanya saja, selama Faqih tidak suka, maka Bu Murni tidak akan memaksa. Karena kebahgiaan Faqih adalah segalanya.
Dan pada akhirnya, Faqih menikahi Carla. Hanya Bu Murni dan Shanum saja yang berangkat jauh ke kota untuk menghadirinya, tanpa didampingi saudara dari Suaminya.
“Palingan juga nikah gratisan. Mana sanggup itu anakmu Faqih mengadakan pesta mewah. Emamg berapa sih gaji kuli bangunan, ditambah sekarang dia nikah sama perempuan tua yang enggak punya kerjaan. Ya … begitulah, kere makin kere.” Demikianlah perkataan kasar dari Lastri saat ia mengabari jika Faqih akan menikah, dan mengundang mereka untuk ikut.
“Emang kamu punya uang buat biaya perjalanan kami semua? emang berapa gaji kuli bangunan? sok-sok an ngundang kami ! mau jual ginjal kali ya untuk biayanya ? ” Ejekan dan juga perkataan pedas bertambah, kali ini dari Dewi, yang membuat kedua netra Bu Murni berkaca-kaca saat itu. Dan jika Shanum tidak segera mengajaknya pulang, bisa dipastikan saat itu juga Bu Murni akan menangis di depan saudara-saudara Suaminya yang tidak punya hati dan juga tidak punya otak. Sedangkan Ibu mertuanya tidak membelanya dan malah mendukung sikap kasar menantu kesayangannya serta sikap jelek anak perempuannya.
“Bu … Ibu, kok melamun?” satu tepukan lembut di lengan Bu Murni menyadarkan wanita yang masih menyimpan gurat kecantikan di wajahnya itu, segera tersadar. Dia tersenyum pada Carla yang baru saja menegurnya karena ketahuan melamun.
“Ibu lagi mikirin apa? kalau Ibu capek, ayo kita pulang saja,” ucap Carla yang dibalas gelengan Bu Murni.
“Enggak apa-apa nak, hanya mengenang masa lalu saja. Nak Ara pulang duluan saja,” jawab Bu Murni dengan tawa kecil agar Carla tidak berpikir macam-macam. Tapi, Carla menggeleng dan berkata akan pulang bersama-sama setelah pekerjaan selesai.
Shanum yang sudah selesai dengan pekerjaannya di ruang tengah, kembali bergabung di dapur agar pekerjaan cepat selesai. Wajah Shanum kelihatan tidak ceria seperti biasanya. Tapi Carla tidak ingin bertanya dan mulai membantu apa yang bisa ia bantu.
Tidak terasa sudah waktunya makan siang dan masakan sudah mulai matang. Shanum dengan cekatan mengangkat wadah-wadah dan juga piring menuju ke ruang makan. Tentu saja Carla ikut membantu. Aneka masakan lezat terhidang. Dari aromanya saja sudah sangat menggugah selera, bagaimana rasanya. Bu Murni memang sangat piawai menolah makanan. Pasti setelah ini, Bu Murni, Shanum serta dirinya akan duduk dan makan bersama keluarga besar, batin Carla menerka.
Carla dapat melihat jika keluarga Suaminya begitu ramai. Anak-anak muda seusia Faqih dan Shanum juga ada. Dan itu pasti saudara sepupu Faqih dan Shanum. Tapi, yang Carla herankan, mengapa mereka duduk dengan santainya dan kembali membuat kotor piring dan Shanum yang kemudian membereskan semua itu.
“Kenapa kalian enggak bantu –bantu? dan malah asyik buat kotor terus ?” Carla yang tidak terima Shanum diperlakukan seperti babu gratis, membentak gadis yang tadi ke dapur memanggil Shanum.
Si gadis menatap Carla remeh.
“Lah ngapain bantu-bantu? kan sudah ada Shanum sama Ibunya. Tugas mereka ya itu, di dapur. Mereka itu hanya orang miskin dan enggak bisa ngasih apa-apa. Jadi, wajar kalau mereka tempatnya di dapur,” jawab si gadis dengan mulut lemasnya. Carla benar-benar hilang sabar, dia hendak maju dan melayangkan tamparan pada mulut lemas tersebut. Tapi, lengannya dicekal kuat, siapa lagi kalau bukan Shanum yang melakukannya.
“Jangan Mbak, ayo kita ke belakang. Pekerjaan sedikit lagi selesai, dan kita bisa pulang.” Shanum menatap Carla dengan tatapan memohon sembari melihat ke arah Bude Dewi yang melihat mereka dengan tatapan judes.
Carla heran, mengapa Shanum malah mengajaknya pergi dan bukan membiarkannya mengajari sopan-santun pada si gadis. Sampai hari ini, Carla belum pernah kalah dari siapapun, kecuali dari sepupunya, Fara. Sehingga menghadapi gadis jutek dan angkuh di depannya, ingin sekali rasanya tangan Carla meremas mulutnya agar lebih sopan.
Akhirnya Carla ikut ke belakang bersama Shanum. Tapi, ia berpamitan ke kamar mandi sebentar.
“Jangan makan dengan lauk daging. Makan saja sayur sama ikan asin, itu sudah sangat baik untuk kalian berdua. Kalau sudah, cepat bereskan semuanya dan kalian bisa pulang. Tapi, jangan lupa, nanti malam datang lagi, karena enggak ada yang bersih-bersih kalau kalian enggak datang. Pokoknya jangan enggak datang. Ingat, kalian itu hanya bisa sumbang tenaga, karena enggak bisa sumbang uang.” Samar Carla mendengar suara yang terkesan memerintah dari luar kamar mandi. Setelah selesai dengan hajatnya, ia segera keluar dan mendapati Bulik Lastri yang saat ini tengah bicara pada Bu Murni dan Shanum.
“Ingat, jangan maling makanan saat pulang nanti!” ucap Bulik Lastri lagi sambil berjalan menjauh. Meninggalkan Bu Murni dan Shanum yang saling melirik.
Carla berjalan mendekat, dan segera menarik nafas panjang melihat makan siang untuk Bu Murni, Shanum serta dirinya. Sayur kangkung beserta ikan asin yang belum digoreng. Sungguh sangat miris, padahal sedari pagi, Bu Murni masak beraneka ragam makanan lezat berbahan daging dan juga seafood.
“Ikannya kasih kucing saja Bu, ayo kita pulang!”