“Eh … kalian mau kemana? itu kerjaan belum selesai kok malah mau pulang! Jangan-jangan kalian nyolong makanan ya, makanya jalannya kok cepat banget.” Suara menggelegar Bulik Lastri menghentikan langkah Bu Murni, Carla serta Shanum yang hendak pulang. Sebenarnya Bu Murni maupun Shanum belum ingin pulang sebelum pekerjaan selesai. Tapi Carla lah yang memaksa mereka untuk segera pulang. Mereka mau menuruti keinginan Carla karena hampir saja Carla berjalan ke depan untuk melabrak keluarga besar yang tengah tertawa riuh di ruang makan. Tanpa sedikitpun mengajak Bu Murni dan Shanum untuk makan siang bersama. Dan malah Bulik Lastri dengan teganya menyuruh Bu Murni dan Shanum makan di dapur dengan lauk sayur kangkung dan ikan asin saja, tanpa boleh menyentuh lauk daging yang sudah diolah dengan begitu lezatnya. Padahal, sedari pagi Bu Murni yang berkutat memasak segala macam masakan tanpa lelah, dan mereka dengan seenak hatinya memperlakukan Bu Murni dan Shanum layaknya babu gratisan.
“Kamu jangann asal menuduh ! Kami enggak nyolong makanan! kamu periksa saja kalau enggak percaya, Lastri !” suara Bu Murni meninggi akibat ucapan Bulik Lastri yang menuduh mereka hal yang tidak mereka lakukan.
“Ya … siapa tahu kan Mbak. Secara, di rumah Mbak Murni ada nambah satu beban lagi, sindir Bulik Lastri sambil melirik tidak suka pada Carla. Dan Carla juga membalas tatapan Bulik Lastri tidak kalah tajamnya.
“Kenapa lihat saya kayak begitu? kamu enggak diajarin sama orang tua kamu buat sopan sama yang lebih tua ! Mbak Murni, ini mantu kamu diajarin sopan-santun dong sama yang lebih tua !” Bulik Lastri meradang melihat Carla yang menatapnya dengan tajam seperti itu. Selama ini, belum pernah ada yang bersikap kurang ajar padanya seperti itu.
“Kamu It _”
Carla menghentikan ucapannya saat tangan Ibu meremas kuat tangannya agar tidak bicara, sehingga tidak menimbulkan keributan yang makin besar.
“Lastri, masuk sana !” seorang wanita tua melerai keributan tersebut dan menyuruh Bulik Lastri untuk masuk. Wanita tua tersebut tidak lain adalah mertua Bu Murni, Nenek Faqih dan Shanum.
“Pulanglah, tapi, nanti malam kamu harus datang. Ini acara keluarga, dan semua wajib datang. Aku enggak suka, kalau ada dari anak, menantu atau cucuku yang tidak hadir,” ucap mertua Bu Murni tidak inggin dibantah. Setelah mengatakan hal itu, dia kemudia melangkah pergi.
Bu Murni mengajak anak dan menantunya untuk pulang. Tidak ada pembicaraan selama mereka berjalan pulang.
“Kalau aku minta Ibu enggak usah datang nanti malam, apa Ibu keberatan?” tanya Carla setelah mereka duduk di dapur setelah tiba di rumah.
Carla benar-benar tidak menyangka akan tinggal di keluarga ini dan berhadapan dengan keluarga dari Suaminya yang luar biasa menyebalkan. Apakah ini yang dinamakan hukum karma? selama ini, meyingkan siapa saja yang menghalangi jalannya dengan cara halus atau kasar sudah biasa dilakukannya. Lalu, apakah sekarang dia harus kembali menjadi dirinya yang seperti itu lagi. Psikopat berdarah dingin, yang hampir saja membunuh saudari sepupunya karena kekuasaan. Yang hampir saja mempermalukan dirinya dengan membawa suami dari saudari sepupunya untuk melakukan perbuatan yang jika Carla mengingat itu, rasanya sangat malu sekali.
Terlihat Ibu yang menarik nafas panjang.
“Kalau Neneknya Faqih sudah bilang gitu, maka, mau enggak mau Ibu harus datang. Nanti Nak Ara tinggal saja di rumah, biar Ibu sama Shanum saja yang kesana nanti malam,” ucap Ibu sambil menatap Carla dan tersenyum pada menantunya tersebut. Sedangkan Shanum terlihat tidak suka karena harus ikut pergi ke sana. Tapi, membiarkan Ibunya ke sana sendiri, dia juga tidak tega.
“Hmmm … aku ikut, tapi, Ibu enggak disuruh-suruh kayak tadi lagi, kan’ ?” tanya Carla yang dibalas kebisuan Bu Murni. Karena kedatangannya tidak lain adalah untuk beres-beres. Itu tugasnya sebagai menantu yang tidak memiliki apapun, sehingga hanya tenaga lah yang bisa ia sumbangkan.
“Ibu sudah biasa seperti itu. Lagian, rasanya enggak nyaman kalau datang dan hanya duduk saja tanpa melakukan apapun,” ucap Bu Murni sebagai alasannya saja.
“Kapan ya bu, kita enggak usah berurusan sama Nenek, Bude Dewi sama Bulik Lastri,” ucap Shanum setelah Bu Murni berkata demikian, sambil menatap ke arah Ibunya yang hanya tersenyum sambil membelai lembut tangan putrinya tersebut.
“Ndak boleh ngomomg gitu. Mereka itu keluarga kita, keluarga Bapak, Nenek kamu. Bersabarlah nak,” nasihat Ibu Murni pada putrinya yang dia tahu, merasa lelah akan semua ini. Tapi, mereka bisa apa? terpakasa bertahan atas nama keluarga dan hutang budi.
“Tapi, Aku enggak suka lihat Ibu diperlakukan seperti itu. Padahal, mereka hanya duduk dan bercanda tanpa mau membantu. Itu sangat menyebalkan,” ucap Carla pada Bu Murni. Rasanya Carla ingin sekali mengancurkan mereka semua tanpa sisa. Tapi, dia benar-benar harus bersabar dan menahan dirinya. Dokter sekalikus pakar psikologinya, sepertinya merekomendasikan desa yang salah. Karena bukannya tenang, jiwa psikopatnya malah meronta-ronta ingin keluar. Tapi, Carla bisa sedikit bersabar melihat mertuanya yang sangat sabar sekali. Hanya saja, Carla tidak bisa janji untuk akan bisa bertahan, jika Ibu mertuanya sampai diperlakukan dengan tidak manusiawi.
Ibu melepaskan tangan Shanum dan beralih mengusap tangan Carla dengan lembut. Carla suka diperlakukan seperti Itu. Karena Mommy nya tidak pernah melakukan hal itu. Mommy terlalu sibuk dengan bisnisnya. Dalam otak kedua orang tuanya, Harta adalah Tuhan. Sehingga Carla tumbuh dengan tidak mengenal siapa tuhannya. Agama saja dia enggak tahu apa itu manfaatnya untuk kehidupan. Yang dia tahu, jika hidup hanya bisa berjalan jika memiliki kekuasaan, dan semua itu adalah dengan banyaknya harta dan uang.
“Ibu enggak apa-apa, kamu tenang saja,” ucap Ibu menenangkan Carla yang pada akhirnya mengangguk. Dia tidak bisa memaksakan kehendaknya, karena Ibu tidak masalah dengan semua itu.
Maghrib sudah berlalu, Ibu sudah siap untuk menghadiri arisan keluarga. Ya … rasanya malas, tapi mau bagaimana lagi. Dia harus tetap kesana atau kakak iparnya akan mengungkit lagi perihal tanah yang saat ini mereka tempati.
Shanum dan Carla juga sudah siap, mereka akhirnya berjalan kaki menuju rumah kakak Ipar Bu Murni. Di sana pasti sudah berkumpul semua keluarga besar dari mendiang Suami Bu Murni.
“Oh, sudah datang ruapanya. Langsung ke belakang saja mbak, siapkan cemilan sebelum makan malam.” Seperti biasa, Bulik Lastri yang tampil cetar membahana memerintah seenak udelnya. Bu Murni segera mengajak Anak dan menantunya menuju ke dapur dan menyiapkan cemilan yang sudah disiapkan dan tinggal dikeluarkan saja.
“Wah … Mbak Dokter, kapan pulang ?” Carla sedikit melirik saat mendengar sambutan meriah dari arah depan. Sepertinya ada yang datang. Terlihat seorang gadis cantik tengah dikerumuni oleh para kerabat dengan sangat antusias.
Shanum menyenggol lengan Carla yang tengah memperhatikan siapa itu.
“Dia itu anaknya Bude Dewi, usianya sama kayak Mas Faqih, hanya beda bulan saja. Namanya Mbak Fitri, dan dia itu Dokter,” jelas Shanum tanpa perlu Carla bertanya. Carla hanya mengangguk lalu mengajak Shanum kembali ke belakang.
Tiba saatnya makan malam, semua hidangan sudah dikeluarkan oleh Shanum dan Carla. Terlihat orang-orang yang bersiap untuk makan malam. Carla ingin sekali mencicipi masakan mertuanya lalu ikut bergabung saat mengantarkan piring. Dia dengan santainya menyendok nasi dilanjutkan dengan lauknya. Tanpa dia sadari jika sedari tadi baik Bude Dewi dan Bulik Lastri memperhatikannya. Bude Dewi segera menyenggol lengan Bulik Lastri agar bertindak.
"Heh … berani sekali kamu ambil makanan itu ! makanan itu disiapkan hanya untuk yang nyumbang duit dalam acara ini. Sedangkan orang kere kayak kamu dan mertuamu itu, hanya boleh makan dengan kerupuk sama ikan asin. Tapi, kerupuk sama ikan asin itu juga terlalu mewah buat kalian. La ... enggak nyumbang buat acara, kok ngarep makan enak." Bulik Lastri yang disenggol lengannya oleh Bude Dewi, tiba-tiba berteriak tidak terkontrol. mengomel panjang lebar pada Carla. Menantu kakak iparnya yang dengan santainya hendak ikut makan bersama mereka.
“Apa mertuamu itu ndak kasih tahu kamu, kalau kalian itu hanya datang untuk membantu, bukan ikutan makan. Hush … sana ke belakang lagi!” lanjut Bulik Lastri dan dengan gaya angkuhnya mengusir Carla seperti mengusir ayam.
Carla terlihat marah, dengan tangan memegang piring yang berisi nasi sedikit serta lauk sedikit. Matanya tajam melihat ke arah Bulik Lastri yang saat ini tengah berkacak pinggang dengan angkuh. tepat saat itu Bu Murni dan Shanum berlari ke depan karena mendengar suara ribut-ribut.
"Berapa harga semua makanan di sini ? aku bayar sekalian sama harga diri kamu !" Carla membanting sendok dan beranjak pergi meninggalkan acara dibawah tatapan tidak suka berpasang mata.
"Mbak Murni ! ajari mantu kurang ajarmu itu cara bersikap sopan-santun ! sok-sok an mau bayar semuanya. Kere ya tetap saja kere !
*****
Terima kasih sudah mampir. Kalu suka, masukan ke library ya. terima kasih