Keadaan Bram masih kritis, Arga memilih menjaga sang ayah dan tidak masuk ke kantor hari ini. Bisma tidak datang ataupun menelpon. Arga merasa keluaganya semakin menjauh.
“Pulanglah, Ma. Mama pasti lelah, biar Arga yang jaga Ayah,” ucap pemuda itu setelah melihat kondisi Yuliana.
Wanita itu tidak tidur semalaman karena khawatir.
“Tapi, Ga. Mama nggak mau jika Ayahmu bangun nggak ada Mama di sampingnya.”
Arga berlutut di hadapan wanita tercintanya itu.
“Ayah pasti mengerti jika Mama pulang sebentar menganti pakaian dan berendam, nikmati waktu Mama. Mama terlalu pucat.”
Yuliana pun luluh setelah mendengar ucapan Arga.
“Baiklah, tapi kamu harus janji. Jika Ayahmu bangun, segera hubungi Mama.”
Arga langsung berdiri dan melakukan penghormatan.
“Siap, Ma.”
Yuliana tersenyum dan mengusap kepala putranya. Memiliki Arga adalah sebuah anugrah. Arga selalu membuatnya tersenyum.
“Mama pulang, Nak.”
Yuliana kembali ke rumah dengan di antar sang supir, masih terlalu pagi dan Bisma masih berada di rumah. Sepanjang perjalanan, Yuliana memikirkan keadaan suaminya.
Pekerjaan sebagai Walikota semakin membebani, Bram. Lima belas menit kemudian, Yuliana akhirnya tiba. Mobil Bisma masih berada di parkiran.
Yuliana memutuskan untuk menanyai putranya, soal apa yang terjadi di sekolah.
Bisma sedang sarapan saat Yuliana tiba, wajah yang membiru membuat Mamanya iba. Bisma menoleh dan menghentikan sarapannya.
“Mama sudah pulang?” tanya Bisma dan meraih ranselnya.
Tatapan sang Mama membuat Bisma ingin segera keluar dari rumah.
“Bis, tolong jawab Mama, Nak.” Yuliana memegang erat lengan Bisma.
Bisma sadar jika Mamanya sangat serius kali ini.
“Ma, sebentar lagi Bisma masuk. Takut terjebak macet di jalan, Ma,” ucapnya dan berpura-pura resah setelah melihat jam di tangan.
“Lebih baik kamu bolos, tidak masalah jika kamu tidak masuk sekolah.”
Bisma terkejut mendengar itu. Yuliana menarik tubuh Bisma agar saling berhadapan.
“Dengar, bahkan kau tidak mengunjungi Ayahmu yang sedang di rawat. Ada apa denganmu, Bis? Apa kau tidak menyayanginya?”
Yuliana menatap putranya nanar.
“Bahkan Zui teman satu sekolah kamu datang. Dia orang asing tapi menyempatkan diri untuk datang. Lalu bagaimana denganmu?”
Bisma kaget mendengar nama Zui keluar dari bibir Mamanya.
“Bagaimana?” Bisma bingung tetapi urung untuk bertanya.
“Mama mau tanya satu hal, tolong kamu jawab dengan jujur!”
Yuliana menatap putranya geram, sorot mata yang tidak biasa itu membuat Bisma mematung. Yuliana memegang kedua bahu putranya itu
“Apa benar, kau hanya pura-pura bodoh, Nak?” Air mata Yuliana ikut luruh setelah mengatakannya.
Hatinya hancur, dia sangat mempercayai anak-anaknya. Bisma yang melihat tangis ibunya merasa sangat bersalah.
“Ma.”
“Jawab dengan jujur, Bisma. Mama nggak akan pernah maafin kamu jika hal itu benar-benar terjadi.”
Bisma tertegun, raut wajahnya berubah pilu. Tidak pernah tersirat untuk melukai wanita itu. Dia sangat menyayangi mamanya.
“Kau tahu bagaimana kami menghadapi semua orang kerenamu? Ayahmu dan Mama berusaha tenang dan tidak peduli. Berusaha kuat agar kau nyaman berada di rumah. Tapi, apa yang telah kau lakukan?”
Bisma tertampar di tempatnya.
“Kau tidak tahu bagaimana Ayahmu menghadapi ejekan dari rekan kerjanya. Bahkan mereka selalu menghina Ayahmu di belakang karena nilai sekolahmu yang anjlok. Kami sangat menyayangimu, Bis. Lalu apa semua ini?”
Bibi yang bekerja di rumah itu berlalu memasuki dapur, mereka tidak pernah melihat Nyona rumah mereka murka seperti sekarang.
Bisma tidak menjawab satu pun pertanyaan sang Mama, walau begitu. Yuliana seperti mengerti dengan semuanya.
“Mama kecewa padamu, dengan Ayahmu masuk ke Rumah Sakit seperti ini, kau juga telah menyakiti hati Mama.”
Yuliana pergi ke kamarnya setelah mengatakan hal itu. Air mata Bisma luruh, dia mundur selangkah karena goyah.
Hatinya terasa sangat sakit mendengar ungkapan yang di sampaikan sang Ibu.
Brak.
Pintu kamar di banting oleh Yuliana, membuat Bisma terkejut. Dengan langkah gontai. Pemuda itu keluar menemui pak supir.
“Pak, tolong antar saya ke sekolah.” Bisma meminta tolong.
Bisma tidak bisa menyetir dengan suasana hati yang kacau seperti sekarang.
“Baik, Den. Silahkan.” Supir membuka pintu untuk Bisma.
Wajah pemuda itu murung, sepanjang jalan dia tidak bicara.
“Tuan sudah sadar semalam, Den. Lalu tidak lama beliau kumat lagi, hingga sekarang Tuan belum bangun.”
Ucapan sang supir memukul relung hati Bisma yang paling dalam. Dia tidak tahu semuanya akan menjadi seperti ini. Tiba di sekolah, supir yang mengantarnya segera turun dan membukakan pintu mobil. Masih ada lima menit lagi sebelum lonceng berbunyi.
“Terima kasih telah mengantar saya,” ucap pemuda itu pada supirnya sebelum berlalu memasuki gerbang sekolah.
Sikapnya membuat sang supir terdiam, Bisma begitu sopan untuk saat ini. Rasa khawatir menjelma di hatinya membuat pemuda itu berubah. Setelah melewati lorong menuju ke kelas, langkah pemuda itu terhenti sejenak dan mengintip ke dalam.
Zui dan Gengnya sedang asyik mengobrol begitupun dengan teman-teman yang lain. Tangan Bisma terkepal. Dia menganggap semua masalah yang di alami kerena Zui. Hidupnya kacau setelah bertemu dengan gadis itu.
Ting ting ting.
Lonceng berbunyi, murid-murid berjalan memasuki kelas, Bisma masih terpaku di tempatnya.
“Hey.” Sebuah tangan mendarat di bahunya membuat Bisma terlonjak kaget.
Pak Kris, menatap Bisma lekat.
“Ngapain kamu berdiri di luar,” ucap Pak Kris dengan tatapan tegas.
Bisma langsung melipir masuk ke dalam kelas tanpa membalas ucapan sang wali kelas itu.
Pandangan Bisma dan Zui beradu, hanya sesaat lalu mereka membuang pandangan.
Bisma merasa berurusan dengan Zui selalu membuatnya susah.
“Anak-anak, harap bijak meluangkan waktu kalian. Bapak selaku guru dan wali kelas menghimbau agar kalian bisa lulus. Belajar yang serius, rajin saja tidak cukup.”
“Baik, Pak.” Serentak murid menjawab ucapan Pak Kris.
Pelajaran berjalan seperti biasa, Zui merasa Bisma sedikit berbeda. Pemuda itu tidak usil, tidak pula mencari masalah.
Rizuka bertanya-tanya ada apa?
Saat pelajaran selesai, dan bel berbunyi. Semua orang keluar dan Bisma tetap di kelas.
Rizuka menatapnya sekilas, wajah Bisma yang murung dan semua lembam yang ada membuat gadis itu semakin penasaran.
"Zui, ayo buruan ke kantin." Nana menarik tangan Zui menjauh.
"Lihat apaan sih, Duwi udah nungguin di luar, tuh."
Rizuka tidak ingin membuat keributan apalagi Bisma terlihat sangat sedih.
"Iya, ayo."