Karena kesalahannya, Bisma jadi takut bertemu sang ayah. Pemuda itu mulai memperbaiki nilai yang anjlok dengan belajar yang tekun. Rasa bersalah membuat Bisma menarik diri dari pergaulan.
Geng yang selalu mengajaknya hang out pun perlahan dihindari.
Bram masih di rumah sakit untuk pemulihan, Arga yang melihat keadaan sang Ayah yang membaik mulai masuk bekerja. Semua itu permintaan Bram. Dia tak mau perusahaan yang diwariskan oleh ayahnya terkendala karena Arga selalu menemaninya di rumah sakit.
“Ayah yakin tidak apa-apa jika Arga tinggal?” tanya pemuda itu tak enak hati saat menyuapi ayahnya dengan bubur.
“Ya, Ayah tidak apa-apa. Pergilah, lagi pula ada Mamamu yang akan menjaga Ayah.”
Arga mengangguk dan menyelesaikan menyuapi Bram.
“Kalau begitu, Arga pamit, Yah. Nanti setelah pulang kantor Arga akan langsung ke sini.” Arga menyalami ayahnya sebelum pergi.
“Ya, hati-hati, Nak.”
Arga mengendarai mobilnya dan melaju menuju rumah, hari sudah siang. Arga memilih masuk kantor untuk memeriksa pekerjaan yang tertunda beberapa hari belakangan ini.
Tiba di rumah, beberapa moge atau motor gede parkir di depan kediamannya. Kening Arga berkerut, siapa lagi pelakunya jika bukan Bisma dan The Geng.
“Apa dia party di rumah?” ucap Arga kesal dan keluar dari mobil.
"Anak ini benar-benar keterlaluan!"
Pemuda itu berjalan cepat memasuki rumah. Saat handle pintu diraih, seseorang juga menarik pintu hingga terbuka ke dalam.
Geng Bisma kaget melihat Arga berdiri di depan pintu.
“Eh, Bang. Maaf,” ucap Riki teman Bisma.
Riki dan ke empat teman yang lain bersiap pulang. Arga tidak melihat kehadiran adiknya di antara mereka.
“Ada apa? Di mana Bisma?” tanya Arga penasaran.
Riki menoleh melihat rekan-rekannya.
“Bisma di kamarnya, Bang. Kami ke sini untuk mengajaknya keluar. Seharian di sekolah Bisma murung terus. Kami inisiatif ingin menghibur tapi Bisma nggak mau keluar kamar.”
“Benarkah?” ucapnya tak percaya.
“Iya, Bang. Di sekolah juga Bisma nggak keluar dari kelas, kita nggak bisa main sama dia. Jadwal manggung pun terkendala.” Salah satu dari mereka keceplosan.
“Hush.” Riki menyikut perut kawannya hingga Andra meringis.
“Apaan sih!" Andra menatap kesal.
Arga menggeleng melihat sikap teman Bisma, padahal pemuda-pemuda yang ada di hadapannya adalah anak pejabat.
“Kalian nggak mungkin nggak tahu kan jika Ayah kami masuk ke Rumah Sakit! Bisa-bisanya kalian datang dan ngajak Bisma manggung. Di mana hati nurani kalian! Kalian nggak pernah diajari sopan santun, ha!"
Arga yang kesal membuat pemuda-pemuda itu meringis.
“Maaf, Bang. Kami nggak gitu kok.” Riki mewakili Gengnya untuk meminta maaf.
“Pergi kalian, sebelum saya marah dan membakar motor kalian!”
Riki dan Gengnya terbelalak. Serentak mereka langsung berhamburan keluar. Deru suara mesin motor mengerang bersamaan, mereka ngacir dan berusaha pergi secepat mungkin.
“Dasar berandalan!” Maki Arga dan memasuki rumah.
Seperti ucapan Geng Bisma tadi, Arga tidak melihat kehadiran adiknya di ruang tengah.
“Eh, Den. Sudah pulang. Apa Aden butuh sesuatu?” tanya si Bibi setelah menghampiri Arga.
“Nggak, Bi. Terima kasih.”
Arga akan naik ke lantai dua, rasa penasaran membuatnya kembali menatap si Bibi yang masih berdiri di tempatnya.
“Bisma di mana, Bi?” tanya Arga.
Wanita paruh baya itu menjawab dengan lugas.
“Den Bisma ada di kamarnya, Den. Pulang sekolah Den Bisma langsung naik dan belum keluar sampai sekarang, tadi Aden hanya minta di buatkan s**u dan sandwich.”
“s**u?” Arga mengulang ucapan si Bibi.
“Iya, Den.”
“Oh, baiklah. Bibi boleh balik ke dapur,” ucapnya.
Tidak biasanya Bisma meminta di buatkan s**u, biasanya pemuda itu paling senang mengkomsumsi minuman bersoda. Arga tidak ingin pusing memikirkan perubahan Bisma, diapun segera bersiap dan menuju ke kantor.
Bisma berada di kamarnya, buku pelajaran tertumpuk tepat di sampingnya. Pemuda itu sedang giat belajar demi menyenangkan hati kedua orangtuanya. Geng yang baru saja di usir oleh Arga membuat hal yang mengejutkan di sosmed. Kesal dengan sikap Bisma, Gengnya membuat penggemar Band mereka meradang.
[Tidak ada jadwal manggung untuk sementara, Band GrandZi akan vakum]
Unggahan itu mendapatkan like ribuan.
Kabar ini membuat fans Bisma gelisah. Bahkan Mitha Asyla artis remaja yang mengidolakan Bisma ikut cemas melihat berita itu.
Bisma masih serius dengan buku yang ada dihadapannya. Ponsel pemuda itu berdering membuat konsentrasi Bisma terganggu.
Panggilan pertama di lewatkan Bisma, dia mengira itu adalah Riki atau Andra yang berlaku jail kepadanya. Bisma mengacuhkan dan kembali melihat catatan penting yang sudah ditulis di sebuah buku. Panggilan itu terus berdering membuat Bisma mau tidak mau melihatnya.
“Siapa sih, ganggu aja.”
Nama Mitha terpampang di layar, sudah lima kali panggilan itu terlewat. Bisma mengerutkan kening, hari ini bukanlah hari penting atau special bagi gadis itu, lalu untuk apa dia melakukan spam chat seperti sekarang.
Bisma memutuskan membuka isi chat yang di kirim Mitha melalui aplikasi hijau. Netra pemuda itu terbelalak sempurna melihat isi pesannya. Panggilan kembali berdering dan nama Mitha kembali terpampang di sana.
[Hallo,] jawab Bisma dingin.
[Hallo, Bis. Maaf menganggu, gue bener-bener shock melihat berita yang menyebar. Itu nggak benerkan?] tanya Mitha to the point.
Bisma pun tidak habis pikir melihat apa yang di lakukan Riki di laman instagramnya.
[Seperti yang lo lihat, kami vakum untuk waktu yang tidak di tentukan] Bisma memutuskan mengikuti permainan Gengnya.
[Tapi, why?] Mitha tidak terima. Jika Bisma tidak manggung lagi, dia tidak memiliki kesempatan untuk dekat dengan pemuda itu.
[Because i’m tired]
Mitha diam di ujung sana.
[Sorry, i have to do something, see you later] Bisma memutuskan panggilan dan mematikan ponselnya.
Kesal melihat Geng yang tidak mengerti keadaan keluarganya.
“Baiklah, kita lihat saja apa yang ingin mereka lakukan. Mereka ingin bermain, akan aku layani. Bahkan mereka tak dapat memiliki nama besar Band itu.”
Bisma menganggap hal yang dilakukan Riki sangat tidak bijaksana. Saat keadaan ayahnya yang masih belum pulih. Jangankan berniat mengunjungi, mereka bahkan tidak menahan job yang datang.
Bisma memutuskan membuat perhitungan dengan Riki, tapi tidak sekarang. Pemuda itu sangat menjaga perilakunya. Bisma tidak ingin melihat Mamanya bersedih lagi jika sampai Bram kumat karena penyakit yang di deritanya.
**
Waktu berlalu dan Bram akhirnya di perbolehkan pulang, Arga dan Yuliana menjemput ke rumah sakit. Bisma tidak sekalipun datang menjenguk membuat Bram sedih. Rasanya seperti hanya memiliki satu orang anak saja.
Bisma berangkat ke sekolah seperti biasa, saat Bisma berlalu mobil yang membawa ayahnya tiba di rumah.
Bram berjalan pelan dipapah oleh Arga memasuki rumah. Yuliana membawa barang bawaan dan menyimpannya di atas sofa.
“Alhamdulillah, Tuan dan Nyonya sudah datang.” Bibi tersenyum dan menghampiri.
“Iya, Bi. Syukurlah saya sudah baikan.” Bram bersandar di sofa di temani Arga.
“Saya punya kabar gembira, Tuan,” ucap si Bibi.
Yuliana dan Bram menoleh bersamaan.
“Kabar gembira gimana maksudnya, Bi?” Yuliana ikut penasaran dan menatap asisten rumah tangga itu lekat.
“Den Bisma, Bu.”
Wajah penasaran Bram berubah dingin, amarah masih bersarang di hatinya membuat lelaki itu enggan untuk mendengar apapun yang menyangkut putra bungsunya.
“Sebaiknya Bibi mengerjakan pekerjaan di dapur. Saya tidak ingin dengar apapun soal anak itu.”
Bibi yang tadinya tersenyum sumringah berubah lesuh. Dia mengangguk dan langsung menuju ke dapur sesuai titah Tuannya.
“Mas, siapa tahu Bibi ingin menyampaikan hal yang penting.” Yuliana berusaha melembutkan hati suaminya.
“Sepenting, apa? Berita apa? Apapun yang dilakukan putramu sangat menghancurkan kepercayaan yang aku berikan padanya. Bisma menghancurkan segalanya, apa yang bisa di perbuat oleh berandalan tengik itu!”
Yuliana menghela napas panjang.
“Ayah, tenanglah. Ayah baru saja pulih, jangan buat kesehatan Ayah memburuk. Ayah nggak mau kan jika masuk ke Rumah Sakit lagi? Mau makan bubur terus?”
Bram mengatur napasnya perlahan, Arga selalu membuatnya tenang. Apapun kondisinya, Arga membuatnya nyaman.
“Bawa Ayah ke kamar, Ga. Ayah sesak berada di sini.”
Yuliana hanya bisa merenung saat mendengar ucapan suaminya.
“Baik, Yah.”
Dengan pelan dan hati-hati, Arga memapah tubuh Ayahnya. Yuliana menuju ke dapur setelah melihat Arga menghilang di balik pintu.
“Bi, Bibi!” Yuliana melihat asisten rumah tangganya sedang menyiapkan makanan. Wajah si Bibi masih sedih dan menatap Yuliana.
“Iya, Bu.”
“Maafkan Bapak, ya, Bi. Bapak kan baru sembuh, maaf jika ucapannya melukai hati Bibi.”
Yuliana selalu menghargai perasaan si Bibi, Bisma sangat dekat dengan asisten rumah tangga itu. Bahkan, Bisma merasa nyaman jika Bibi yang menyiapkan keperluannya ketimbang sang mama.
“Nggak apa-apa, Bu.”
“Tadi, Bibi mau bilang apa?” tanya Yuliana penasaran.
Si Bibi ragu mengatakannya. Apa lagi setelah melihat sikap Bram yang tidak mengenakan.
“Nggak jadi, Bu.”
“Tolonglah, Bi. Ucapan suami saya jangan dimasukan ke dalam hati, Bibi percaya kan sama saya.” Kali ini Yuliana mengenggam tangan Bibi erat.
Wanita paruh baya itu akhirnya luluh.
“Den Bisma, beberapa hari ini belajar dengan rajin, Bu. Dia nggak pernah keluar walau teman-temannya datang. Setiap pagi saat saya masuk membersihkan kamarnya, buku pelajaran penuh di atas kasur. Den Bisma sudah berubah, Bu.”
Yuliana tertegun ditempatnya, dia tidak percaya mendengar apa yang diucapkan si Bibi.
“Saya belum membersihkan kamar Den Bisma, Bu. Ibu bisa mengeceknya jika Ibu nggak percaya.” Bibi seolah mengerti keraguan di hati majikannya.
Tanpa menunggu lagi, Yuliana berbalik dan berjalan cepat menuju ke kamar Bisma. Hatinya tersentil mendengar kegigihan yang dilakukan putranya. Langkah wanita itu terhenti saat berada di depan pintu, perlahan tangan meraih handle dan membukanya.
Sama seperti yang di ucapkan si Bibi. Buku-buku berhamburan di atas ranjang. Catatan-catatan kecil tertempel di dinding. Bisma menghapal dengan cara itu.
“Ya Tuhan, putraku.”
Yuliana menangis, bukan karena marah. Tapi, dia sadar ucapannya tempo hari mungkin melukai hati Bisma.