Bu Vita memanggil Bisma ke ruang guru, kemampuan pemuda itu membuat sebagian orang tercengang melihatnya.
“Masuk,” ucap Bu Vita.
Wanita itu menutup pintu kembali setelah Bisma duduk di kursi.
“Bisma, bisa ceritakan kenapa kamu bisa menyelesaikan semuanya sebagus ini?”
Kertas ulangan itu disimpan dihadapan Bisma. Pemuda itu tidak menjawab dan memilih diam.
“Sudah berapa kali kamu ulangan dan hasilnya mengecewakan. Jika kamu bisa dan mampu. Kenapa selalu mengisi dengan jawaban yang salah?” tanya Bu Vita heran.
“Itu urusan saya, Ibu tidak perlu ikut campur.”
Bu Vita terbelalak mendengar ucapan pemuda itu. Bisma kembali berdiri dan menatap wali kelasnya itu dengan sayu.
“Saya tahu apa yang saya lakukan, Ibu tidak perlu pusing untuk menyelamatkan pendidikan saya." Langkah Bisma kembali terayun menuju pintu keluar.
“Bisma, tunggu!”
Bu Vita menghalangi langkah pemuda itu.
“Kau tahu apa yang telah kau lakukan? Kau tahu pendidikanmu ini akan berdampak pada nama baik keluargamu?”
Sikap Bisma yang masa bodoh membuat Bu Vita menaruh curiga.
“Ya, dan itu adalah urusan saya. Jika nilai saya tidak tertolong. Ibu tinggal coret nama saya dari daftar kelulusan.”
Tatapan Bisma yang tidak biasa membuat Bu Vita enggan menahannya lagi.
“Saya tidak akan menghadiri kelas tambahan ini lagi," ucapnya tegas.
Rizuka berdiri di ujung lorong mendengar pembicaraan mereka. Bisma melangkah keluar dan tidak menyadari keberadaan Zui. Rasa penasaran membuat Zui mendatangi Bu Vita di ruangannya. Bisma kini sudah berlalu mengendarai mobil mewahnya.
Tok tok tok.
Pintu di ketuk dan Bu Vita mendongak dari dalam sana.
“Boleh, saya masuk, Bu?” tanya Zui sopan.
Wajah lelah Bu Vita berganti dengan senyuman saat melihat Zui
“Bisma kenapa, Bu?” tanya Zui hati-hati.
Bu Vita mengembalikan lembar jawaban yang telah di isi Bisma sebelumnya.
“Entahlah, Zui. Bisma pemuda yang cerdas. Tapi, dia seolah menutupi. Anehnya dia tidak peduli soal nilai pelajarannya yang anjlok, andai kau tidak bergabung bersama kami hari ini. Mungkin kami tidak tahu jika dia adalah siswa yang cerdas.”
Rizuka mengangguk pelan mendengarnya, ya, dia pun berasumsi sama setelah melihat lembar jawaban yang di isi Bisma.
“Mungkin dia memiliki alasan melakukan ini, Bu.”
“Ya, sepertinya begitu.”
Lama mengobrol dengan Bu Vita, akhirnya Zui pamit pulang setelahnya.
Kabar tentang kecerdasan Bisma menyebar dengan cepat, teman-teman Bisma yang ikut kelas tambahan mendengar perbincangan guru-guru soal Bisma yang bisa menyelesaikan kertas jawaban dengan cepat.
Kabar itupun di bawah oleh Nana dan Duwi pulang. Jarak antara rumah Zui dan sekolah tidak terlalu jauh. Mereka pun berbincang-bincang saat telah tiba di rumah Zui untuk belajar bersama.
“Zui, apa benar Bisma yang menyelesaikan kertas jawaban itu sendiri?” tanya Nana saat tiba di ruang tamu.
“Iya, surprise nggak?”
“Surprise banget, gila!” sorak Duwi dan Nana.
Zui duduk di sofa dan bersiap untuk saling berbagi cerita.
“Kalau dia pintar, kenapa mengisi lembar jawaban yang salah?” tanya Nana.
Zui mengedikan bahu, Bisma memang menyisahkan banyak misteri. Apa yang terlihat di depan semua orang berbanding terbalik dengan diri sebenarnya.
Rizuka tidak menyadari jika Ayahnya mendengar pembicaraan mereka.
“Eh, aku denger-denger, Bisma anaknya Pak Walikota, ya. Bener nggak, sih?” tanya Duwi.
Rizuka dan Nana menggeleng.
“Nggak tahu, emang iya?” tanya Nana.
“Ye, gimana sih. Gue nanya karena nggak tahu, Na.” Duwi gemas melihat tingkah Nana.
“Ya, sama, Wi. Kita kan selalu bersama, mana tahu kalau Bisma ternyata anaknya Pak Walkot.”
“Tanya Ayah kamu aja, Zui. Sempet tahu, Om Mahendra kan kerja di kantor Walikota,” usul Duwi.
Nana pun mengangguk antusias. Mereka seolah berharap kepastian saat itu juga.
“No, no, no! Soal sekolah nggak boleh bawa-bawa orangtua. Ayah lagi istrahat, kita bahas tentang pelajaran saja.”
“Ya, Zui. Nggak asyik banget.”
“Kalian di sini untuk belajar, kan? Ya udah buka buku, berhenti bahas dia.”
Mahendra segera pergi ke kamarnya setelah mendengar pembicaraan putrinya.
Zui pamit untuk ganti pakaian.
“Ya udah, gue ganti baju dan buat cemilan dulu. Kalian kalau haus atau mau apa-apa ambil sendiri, ya," ucap Zui.
“Oke, deh.”
Zui tersenyum dan berlalu menuju ke kamarnya, tiba di dalam bukannya berganti pakaian Zui malah merebahkan diri di atas kasur. Pikirannya melayang dan masih berpusat pada Bisma. Wajah dan tatapan pemuda itu membuatnya terus kepikiran.
“Apa sebenarnya yang dia lakukan?”
Zui terus memikirkan apa yang terjadi di sekolah tadi, hingga tanpa sadar gadis itu jatuh tertidur. Nana dan Duwi yang menunggu di luar resah menunggu kedatangannya.
“Pamit ganti baju aja kok lama, ya, Na?” tanya Duwi.
Gadis itu memainkan pulpen di tangannya karena bosan.
“Bikin makanan kali, cek sana,” seloroh Nana.
Duwi menatapnya kesal, Nana paling mager di antara mereka. Kebiasaan gadis itu selalu menyuruh tanpa sungkan.
“Udah, gih. Mau belajar, nggak?” titah Nana lagi. Duwi mau tidak mau bangkit dari tempatnya duduk.
“Iya, Na. Bentar gue cek.”
Rihana sedang sakit, Mahendra memilih menjaga istrinya di kamar dan membiarkan Zui dengan teman-temannya. Duwi menuju ke dapur tapi tidak menemukan Rizuka di sana. Gadis itu pun melewati anak tangga dan naik ke lantai dua.
“Zui, Zui. Kok nggak keluar-keluar sih?” panggil Duwi.
Tidak ada sahutan dari dalam membuat Duwi mencoba membuka pintu kamar. Zui terlelap di atas kasur dan masih memakai seragam sekolah, gadis itu terlihat sangat kecapaian.
“Pantesan nggak nyahut, dia tidur.” Duwi menutup kembali pintu kamar dan segera turun menemui Nana. Duwi merasa tidak enak berada di rumah itu, apalagi orangtua Zui tidak kelihatan dari tadi.
“Na, pulang, yuk,” ajaknya.
Nana menatap Duwi heran.
“Pulang, gimana sih, Wi. Kita kan mau belajar bareng buat besok."
“Zui ketiduran, nggak enak jika kita di sini terus.”
“Eh, kok."
"Udah, ayo pulang!" Duwi menarik lengan Nana bangkit.
"Iya, aku beresin buku pelajaran dulu kalau gitu.”
Duwi dan Nana pulang sore itu tanpa berpamitan pada Zui. Mereka menutup pintu dan kembali ke rumah masing-masing menggunakan taksi online.
Di tempat lain.
Bram mendapatkan kabar tentang apa yang terjadi di sekolah. Raut wajahnya berubah menjadi merah setelah mengetahui semuanya. Perjalanan keluar kota yang di lakukan terasa berjalan lambat. Bram ingin sekali buru-buru untuk tiba di rumah.
[Selamat siang, Pak Bram. Maaf menganggu waktu istirahatnya. Saya Kris wali kelas dari Bisma.]
[Ya, selamat siang, Pak. Ada apa ya, tumben Bapak menelpon saya.]
[kami ingin menyampaikan berita baik, Pak. Hari ini Bisma membuat kami takjub. Putra Bapak Bisma bisa mengisi lembar latihan ulangannya dengan benar, anehnya saat ulangan yang sesungguhnya, Bisma selalu mengisi dengan jawaban yang salah.]
[Benarkah? Apa mungkin Bapak salah?] Bahkan Bram pun tidak percaya.
[Tidak, Pak. Kami melihat sendiri bagaimana Bisma mengerjakan tugasnya sendirian.]
Bram merasa kehilangan wajahnya di hadapan wali kelas putranya. Walau tidak bicara secara langsung. Bram merasa malu mengetahui Bisma sengaja mempermalukan dirinya dengan berpura-pura bodoh.
[Harap Bapak bisa bicara dari hati ke hati kepada putra Bapak, Pak. Semangati dia agar dia bisa kembali serius dalam pelajaran.]
Bram menahan diri dan membalas ucapan guru putranya dengan sopan.
[Baik, Pak. Terima kasih sudah mengabari saya]
[Sama-sama] panggilan pun terputus.
Bram membatalkan pertemuan yang akan segera berlangsung. Dia dengan cepat mengambil tiket untuk perjalanan pulang.
"Anak itu memang tidak berguna!" ucapnya menahan amarah yang siap meledak.