Arga duduk di samping brangkar, pikirannya melayang jauh, menebak siapa dalang di balik kecelakaan yang menimpa sang adik.
Jam menunjukan pukul 09:00 malam. Arga sudah mengirimkan pesan pada sang Mama jika dia dan Bisma tidak bisa langsung pulang. Arga tidak memberitahu yang sebenarnya, takut Bram sang ayah akan kumat lagi.
Perlahan tangan Bisma bergerak, netra pemuda itu ikut terbuka walau pandangan masih mengabur.
“Mama,” ucapnya.
Arga menyentuh kepala Bisma dan mendekat.
“Bis, Abang di sini. Lihat Abang.”
Bisma melihat ke arah Arga, pemuda itu menatap lurus dengan sorot mata sayu.
“Apa yang sakit, Bis? Abang panggil dokter sekarang, ya.” Arga bergegas akan pergi. Namun tangan Bisma menggapainya.
Pemuda itu mati rasa, sakit hati dan dendam bersarang di hatinya.
“Gua ingin pulang, Bang," ucapnya lemah.
Arga dilema, permintaan Bisma sangat tidak mungkin untuk di kabulkan.
“Kita tunggu besok, ya. Sekarang sudah malam. Sebaiknya sekarang kamu istirahat dulu.”
Bisma menggeleng, seketika sakit yang luar biasa menyerang kepalanya.
“Ach!"
Arga panik, dengan sigap dia membantu adiknya duduk.
"Sakit, Bang. Sakit sekali." Bisma mengeram tak kuat menahan pedih.
“Abang panggil Dokter dulu, Bis.” Arga berlari keluar dan seketika menghilang di balik pintu. Sakit yang luar biasa membuat Bisma terpejam.
Tidak lama, Dokter dan Suster tiba dan segera memeriksanya, Arga berdiri dengan cemas. Wajahnya tegang menunggu kabar.
“Gua ingin pulang,” ucap Bisma kekeh.
Dokter menggeleng dan memberi suntikan agar pasien kembali tenang. Perlahan rasa sakit itu memudar.
“Bagaimana, Dokter?” tanya Arga.
Dokter berbalik dan mengajak Arga keluar.
“Kami tidak bisa mengijinkan pasien pulang. Luka baru saja di obati, tentu harus selalu dalam pengawasan. Paling tidak pasien harus menginap di Rumah Sakit hingga beberapa hari. Semua demi kebaikannya.”
Arga menghela napas panjang.
“Baiklah, Dokter. Terima kasih.”
Dokter keluar setelahnya, suster menyiapkan obat dan membantu Bisma meminumnya.
“Jangan membuat pasien lelah, jangan di ajak mengobrol dulu,” ucap Suster.
Arga hanya bisa mengangguk.
“Kalau begitu saya permisi.”
Suster meninggalkan ruangan dan hanya ada mereka berdua di sana.
“Kita akan membuat Mama cemas jika tidak pulang, Bang.”
Suara lemah Bisma membuat Arga terhunyung. Pikiran mereka sama, tapi apa boleh buat.
“Jangan pikirkan yang lain, kesehatan kamu lebih penting sekarang. Oh iya, siapa yang melakukan semua ini sama kamu?”
Bisma diam terpaku, pertanyaan Arga mengambang begitu saja. Tanpa jawaban.
“Abang tahu pelakunya adalah teman sekolah kamu. Seorang lelaki melihat kejadian itu. Kalau kamu tidak mau jujur, Abang akan cari tahu sendiri di sekolah besok.”
Ancaman Arga tidak membuat Bisma bicara, hal yang di takutkan Bisma adalah. Sang ayah akan marah besar dan menghukumnya. Apalagi kasus ini membawa nama dari anak pejabat yang lain.
Bisma akan kalah, jika mereka bersatu. Ayah Bisma hanya akan mendapat malu karena menganggap dirinya berandalan.
“Gua mau tidur, jangan lakukan apapun jika lo peduli.”
Bisma berhasil membuat Arga terpaku, entah apa yang di lalui adiknya hingga membuat Bisma enggan bicara.
**
Pagi menjelang, sinar mentari dari jendela menerobos masuk ke ruangan. Bisma terbangun karena rasa sakit kembali menyerang.
"Ach," keluhnya.
“Hey, ada apa?” Arga telah bangun dari tadi. Pemuda itu langsung bergegas mendekati Bisma.
“Gua butuh obat,” ucapnya.
Arga akan meraih obat yang ada di atas nakas. Tangannya terhenti saat mengingat Bisma belum makan apapun.
“Kamu harus makan dulu, Bis. Semalam kamu nggak makan apa-apa. Abang ambil buburnya dulu.”
Arga dengan telaten membawa bubur yang sudah di siapkan oleh pihak rumah sakit. Pemuda itu menyuapi Bisma dengan hati-hati. Perlahan Bisma mengunyah bubur lembut yang terasa sangat hambar di lidah.
“Abang akan pulang dulu nanti untuk ganti baju, sebelum pulang, Abang akan meminta temen-temen Band kamu untuk datang gantiin Abang.”
Tanpa di sangka Arga, Bisma melempar bubur itu hingga terjatuh dan berantakan.
Brubak.
“Apa-apaan kamu Bisma!” Arga melotot melihat reaksi sang adik. Tatapan Bisma terlihat nyalang.
Arga berjongkok dan membereskan kekacauan yang terjadi.
“Kamu kenapa? Apa yang salah? Abang hanya meminta Geng kamu datang agar kamu nggak kesunyian.”
Wajah Bisma semakin kesal, tampang itu mengeras dengan tatapan benci. Arga melihat perubahan emosi yang terjadi pada sang adik.
“Jangan-jangan, di balik kejadian ini semua ada sangkut paut dengan anak-anak badung itu! Iya!”
Diamnya Bisma menjawab segalanya. Arga tidak habis pikir kenapa hal ini bisa terjadi.
“Jadi benar, mereka yang telah mencelakaimu?”
Bisma yang tertekan menoleh ke Arga.
“Jika lo ingin pulang, pulang sana. Tapi jangan berbuat apapun. Ayah sedang sakit, Mama akan stres jika lo sok tahu.”
Arga kecewa mendengar jawaban itu. Bisma tidak pernah seputus asa ini. Bahkan Arga lebih suka sikap Bisma yang membangkang, setidaknya sang adik tidak selemah sekarang.
“Abang nggak akan tinggal diam, kau dengar!”
Arga menitip Bisma pada suster. Tujuan pertama pemuda itu adalah rumah. Arga harus pulang agar sang Mama tidak khawatir.
Tanpa sepengetahuan Bisma dan Arga seseorang telah mengirimkan sebuah video ke Ayah mereka. Kantor di mana Bram bekerja saat ini tengah ramai karena sebuah kabar yang mengejutkan.
Bram menghilang di kamarnya sebelum fajar menyinsing. Yuliana mengira sang suami berada di luar tapi, sayangnya. Setelah mengelilingi rumah Yuliana tidak menemukan di mana suaminya berada.
Ponsel Arga berdering sebelum pemuda itu meninggalkan ruangan sang adik.
[Ya, Ma. Ada apa? Arga sedang berada di perjalanan pulang,] ucap Arga menjelaskan.
Pandangan Bisma mengikuti langkah Abangnya.
[Apa? Ayah nggak ada di rumah? Arga akan segera pulang, Ma.]
Tanpa menoleh lagi, pemuda itu meninggalkan Bisma yang penasaran. Bisma menjadi cemas, takut Ayahnya mendengar hal yang tidak-tidak dari luar tentang dirinya.
Bram membawa sakit hati dan dendam di hatinya. Cukup sudah diam dan selalu mengalah mendengar cemooh yang di arahkan ke putranya.
Bram menuju ke suatu tempat. Dimana masalahnya akan selesai.
Arga menyetir dengan cepat, dia sangat khawatir. Masalah datang bertubi-tubi dan dia takut semua ini ada hubungannya dengan pengeroyokan yang di alami adiknya. Menjadi walikota di wilayah itu membuat Bram sangat tertekan. Arga sendiri bingung kenapa Ayahnya mau repot terjun di dunia politik. Usaha keluarganya sangat maju, fokus pada perusahaan akan lebih baik bagi mereka. Tidak selalu mendapatkan cemoohan dari orang luar.