Suara alat monitor hemodinamik terus berdenting di samping brangkar. Di ruangan serbah putih itu. Bisma belum sadarkan diri. Suster tampak cekatan memeriksa kondisinya. Tidak ada satupun yang mengenalinya, Bisma di larikan ke rumah sakit tanpa memiliki identitas. Kepala pemuda itu telah selesai di perban. Dokter kesulitan menghubungi keluarganya.
“Bagaimana, Sus. Apa sudah ada kabar?” tanya Dokter.
“Belum, Dok.”
“Orangtuanya pasti cemas, coba hubungi sekolahnya.”
Suster segera mengecek lambang yang ada di baju Bisma. Setelah itu, suster itu keluar entah kemana. Seorang lelaki tua menunggu di kursi, lelaki tua itu yang membawa Bisma saat menemukannya di pinggir jalan.
-*-
Hari sudah sore tapi Yuliana belum melihat kedatangan putranya, wanita itu cemas. Berulang kali Yuliana menghubungi nomor ponsel Bisma tapi tidak di angkat juga, hingga panggilan terakhir. Nomor Bisma sudah tidak aktif lagi.
Arga pulang kantor lebih cepat, seharian mendapatkan firasat yang aneh membuatnya tidak tenang. Pemuda itu baru saja merebahkan diri di sofa lalu melonggarkan dasinya.
“Sore, Ma,” sapa Arga dan mencium pipi sang Mama.
“Sore, Ga, kebetulan kamu pulang cepet. Bisma belum pulang dari tadi, Mama khawatir ponselnya juga tidak aktif.”
Arga meletakan tas kerjanya dan segera mengeluarkan ponselnya, benar saja. Ponsel Bisma sedang berada di luar jangkauan.
“Mungkin Bisma mampir ke rumah temennya kali, Ma.”
“Mama udah telpon semua rumah temen Bandnya. Tapi, nggak ada Bisma di sana.”
Arga berpikir sejenak, bingung mau cari adiknya kemana.
“Mama hanya nggak mau, jika Ayahmu tahu Bisma belum pulang, Ga. Kamu tahu kan jika Ayahmu masih sakit. Penyakitnya bisa kumat kapan saja."
Arga menghela napas kasar.
“Baiklah, Ma. Arga cari Bisma dulu, Mama nggak usah khawatir, ya.”
Arga segera berjalan menuju pintu, Yuliana mengikuti Arga hingga putranya masuk ke dalam mobil.
“Hati-hati, Ga. Jangan lupa telpon Mama jika kamu sudah dapat kabar.”
“Baik, Ma.”
Arga bergegas mencari keberadaan Bisma, pemuda itu ke Cafe, resto, tempat kongkow hingga bas camp tapi tidak menemukan di mana Adiknya berada.
Arga bingung mau cari kemana lagi, semua tempat telah di datangi.
“Masa iya Bisma masih di sekolah,” ucap Arga ragu.
Pemuda itu tak punya tempat lain untuk di tuju. Akhirnya Arga menuju ke sekolah. Dalam perjalanan, Arga melihat mobil Bisma berada di pinggiran jalan.
“Nah, itu mobilnya.” Arga menepikan kendaraannya dan bergegas turun.
Adiknya tidak berada di sana membuat Arga celingak-celinguk mencari ke sekitar.
“Bisma! Bis! Abang di sini, kamu di mana?” panggilnya.
Tak ada balasan, tak ada siapapun yang menyahut. Arga meraih pintu mobil dan terbuka, kunci mobil masih di sana begitupun dompet dan ponsel adiknya.
“Ceroboh sekali, dia. Kenapa meninggalkan mobil dalam keadaan tidak di kunci seperti ini,” gerutu pemuda itu.
Arga mengambil barang berharga dan mengunci mobil Bisma, setelah berjalan ke depan. Arga melihat noda darah yang mengering di aspal. Arga tersentak dengan mata melotot.
“Astaga, apa yang terjadi?”
Pemuda itu gemetar, takut terjadi sesuatu yang buruk.
Arga bingung harus mencari kemana? Hari sudah mulai gelap dan tidak ada seorang pun yang lewat di sana.
“Di mana Bisma? Darah siapa ini?”
Arga masih kebingungan, ponselnya kini berdering hingga Arga terlonjak kaget. Dengan cepat Arga merogoh sakunya. Nama Mamanya tertera di layar membuat Arga lemas seketika.
“Aku harus jawab apa? Tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya." Arga memikirkan kesehatan sang Ayah, "lagi pula, belum tentu darah itu milik Bisma, kan."
Panggilan terlewat kali ini, Arga bergegas mencari petunjuk lain. Tidak lama, ponselnya kembali berbunyi. Arga tak punya pilihan selain mengankatnya.
[Hallo. Ma,] jawab Arga.
[Gimana, udah ketemu Bismanya?]
Arga gugup.
[Ini masih nyari, Ma. Arga lagi di jalan, Mama nelponnya nanti aja, ya.]
Arga langsung mematikan panggilan, hanya dengan cara itu dia mampu menghindari sang Mama. Tidak ada rumah atau orang yang bisa di tempati bertanya.
“Sebaiknya aku menuju ke Rumah Sakit terdekat, mungkin saja Bisma menabrak orang dan berada di Rumah Sakit untuk menunggui korbannya.”
Arga berusaha berpikir jika semuanya baik-baik saja. Pemuda itu bergegas pergi, tujuannya kini sudah pasti. Arga yakin bisa menemukan Bisma di sana.
Jantung Arga kembali berdetak sangat kencang, bahkan dia bisa merasakan degub jantungnya itu.
“Ya, Allah. Semoga semuanya baik-baik saja.”
Tiba di rumah sakit, Arga segera turun dan menuju ke meja resepsionis. Suster yang bertugas menatapnya yang tergesa-gesa.
“Maaf, apa tadi ada korban kecelakaan? Atau anak sekolah memakai seragam. Tingginya hampir setinggi saya, dia laki-laki. Mungkin dia ke sini ngantar orang kecelakaan.” Arga menjelaskan panjang kali lebar. Tapi, suster hanya membalas dengan gelengan.
“Hari ini tidak ada pasien dengan korban kecelakaan atau pengunjung seperti yang Mas katakan.”
Arga meremas rambutnya, kepala pemuda itu mendadak sakit mendengar penjelasan suster.
“Kalau anak SMA, korban pemukulan ada, Mas.”
Arga menoleh dengan wajah shock mendengar ucapan suster.
“Anak laki-laki itu masih di ruang UGD, tadi seorang lelaki tua menyelamatkannya di jalan.”
Arga langsung berlari menuju tempat yang di maksud oleh suster, kakinya bergerak cepat dengan ketakutan yang luar biasa. Langkah Arga melambat saat melihat lelaki tua yang di sebut suster masih duduk di depan ruangan.
Pandangan mereka bertemu, lelaki tua itu langsung berdiri menyambut Arga. Tanpa basa-basi, Arga masuk dan menerobos langsung. Kekuatan lelaki itu lenyap entah kemana saat melihat pasien yang terbaring di atas brangkar, Arga ambruk melihat Bisma terkapar dengan kepala yang telah dibalut perban.
“Jadi, benar dia di sini."
Air mata Arga jatuh berlinang, tulang-tulangnya seolah lepas dari tempatnya. Tidak ada kekuatan untuk bangkit.
“Apa Bapak adalah keluarganya?” tanya lelaki tua itu. Wajah rentah yang menunggu dari siang tadi.
Arga mengangguk dengan wajah sedih.
“Sepertinya tadi dia berkelahi, saya melihat dari kejauhan. Beberapa anak laki-laki berlari pergi setelah membuatnya terluka. Tapi, sepertinya itu teman sekolahnya, Pak.”
Arga mengepalkan tangan mendengarnya.
“Pak, saya harus pulang, tanggung jawab saya sudah selesai.” Lelaki tua itu meninggalkan ruangan.
Arga berusaha mengejarnya, dia ingin berterima kasih. Tapi, sayangnya. Tidak ada kekuatan baginya untuk bangun.
Arga merasa tidak becus menjaga Bisma. Adiknya itu terluka dan dia tidak bisa apa-apa.
“Bis, bangun. Mama nunggu kita di rumah,” ucapnya.
Arga mendekati brangkar Bisma dengan merangkak, bunyi monitor semakin jelas dalam kesunyian.
"Bangunlah, Abang janji nggak akan marah lagi, Bis."