BAB 12 Nikah Dadakan

1367 Kata
Terlihat diujung lorong wajah yang menyiratkan kebahagiaan di hari penuh bahagianya itu. Gaun putih klasik panjang terseret bersama langkah kakinya menuju ke atas panggung untuk meraih tangan seorang pria yang sudah berdiri bersedia menyambutnya. "Aku percayakan putriku, anakku yang paling bungsu, adik dari kedua kakaknya Bryan dan Ian, buah hati kami. Kepadamu Gira Harrison, untuk menjaganya selalu dan memberinya rasa senang hidup bersamamu." Anwar berucap lantang, lalu menyerahkan tangan yang ia genggam erat sebelumnya kepada Gira. Gira hanya menganggukkan kepalanya, seperti biasa ekspresi dari pria itu sangat sulit terbaca oleh Julia. "Dihadapan semua orang-orang disini yang hadir dan menyaksikan bahwa saya Gira Harrison, mengambil engkau Julia Zendaya, untuk menjadi istriku dan pasanganku yang sah." "Dihadapan semua orang-orang disini yang hadir dan menyaksikan, bahwa aku Julia Zendaya, menerima engkau, Gira Harrison, untuk menjadi suamiku dan pasanganku yang sah." Julia menatap pada Gira, setelah mereka menyelesaikan mengucap janji pernikahan, pria itu masih berekpresi dingin bahkan tadi hanya mencium keningnya saja. "Gira, kamu gapapa?" tanyanya, khawatir jika demam Gira kembali kambuh. "Tidak perlu bertanya. Saya rasa kamu cukup senang dengan pernikahan ini. Tapi asal kamu tahu, saya.." Gira menolehkan wajahnya pada Julia, menatap lekat bola mata perempuan disampingnya itu, mendekatkan wajah mereka. "Saya tidak pernah menginginkan pernikahan ini, jangan menyesal dengan perlakuanku seterusnya padamu." sambung Gira kemudian memundurkan wajahnya, melihat ke depan bersama senyuman palsunya. Julia meremas tangannya, ia berpikir mungkin saja melakukan kesalahan sehingga membuat pria yang sekarang telah menjadi suaminya itu marah. Keduanya kini sudah berpindah ke kamar pengantin mereka, Julia yang duduk di atas ranjang, matanya menatap lekat pada pintu kamar mandi. Julia memalingkan wajahnya ketika Gira membuka pintu kamar mandi dan menampilkan bagian atas tubuhnya yang terbuka, jangan lupakan lilitan handuk yang hampir terlepas dari pinggangnya itu. "Kenapa? bukannya kamu sudah pernah melihat tubuhku ini." Gira mendekati Julia dan menarik dagu Julia untuk menatapnya. "Memang, tapi tidak seintens ini. Aku jadi ingin memelukmu." Julia menggigit bibirnya, semakin kuat ia menahan maka semakin besar pula godaan yang ada dihadapannya itu. "Aku tidak akan bermain denganmu." tegas Gira yang berlalu keluar dari kamar Julia, tidak, kamar itu sekarang sudah menjadi kamar mereka berdua. "Sombong. Lihat saja, apakah Pak Gira bisa tahan setelah melihatku, tunggu saja." seru Julia, langkahnya berjalan cepat menuju kamar mandi untuk menyiapkan sesuatu kepada suami sombongnya itu. Langkah kaki Gira membawanya ke arah ruang tengah, disana terlihat Anwar dan Idris Harrison, ayah Gira sedang mengobrol dan terlihat asik sampai tidak menyadari keberadaan Gira hingga pria itu duduk bersama. "Gira, kenapa disini?" Idris melihat ke arah belakang Gira, tidak menemukan Julia yang biasa menempel pada anaknya itu. "Memangnya kemana-mana harus bersamanya." "Tentu. Julia sekarang istrimu, kalian harus selalu bersama, Gira." "Ada apa? Julia kembali membuatmu kesal." Anwar tersenyum dan mendapat tatapan tak enak hati dari Idris. Gira menggelengkan kepalanya pelan, mencoba mengerti kondisinya saat ini tidak mungkin membicarakan soal keinginannya pisah ranjang dengan Julia. Ayahnya pasti akan mengamuk dan menghajarnya, begitupun dengan Anwar. "Saya akan kembali ke kamar, selamat malam semua." Gira beranjak berlalu meninggalkan Idris dan Anwar yang terdiam melihat tingkah laku Gira. "Apa semua baik-baik saja?" Idris menatap Gira yang sudah masuk kedalam kamar, yang tidak lama terdengar suara teriakan Julia dari balik kamar tersebut. "Itu hal biasa yang selalu terjadi pada istri kita. Oh, bagaimana dengan bisnis keluargamu?" Anwar mencoba mencari topik lain, mungkin lebih mendekatkan dirinya pada keluarga Harrison tidak ada salahnya. "Selalu berjalan lancar, bahkan investasi naik 75% dari tahun sebelumnya. Aku pikir Gira sangat berpengaruh di perusahaan PT. All Mine." ucap Idris dengan bangganya. Menghidupi seorang anak sendirian tanpa seorang istri memang membuatnya sangat tersiksa, hal-hal yang sebelumnya tidak pernah ia tahu membuatnya harus memaksakan diri untuk belajar. Kepergian istrinya, ibu Gira yang meninggal saat Gira masih berusia 1 tahun. Gira kecil yang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu, Idris sempat berpikir untuk mencari istri dan ibu untuk Gira, tapi hal yang tidak pernah ia sangka bahwa perempuan itu pernah menenggelamkan Gira ke dalam kolam dan hampir membuat Gira kehilangan nyawa. Mungkin, sejak saat itu Idris tidak ingin lagi mencari dan fokus merawat Gira hingga sekarang Gira kecil yang sudah tumbuh menjadi Gira dewasa dan sudah memiliki tanggung jawab sendiri sebagai seorang suami. "Anakmu itu memang hebat, Idris. Aku berharap kita bisa menjadi rekan bisnis untuk keuntungan kita bersama." "Iya. Kita bisa mulai bisnis itu dari sekarang, apapun yang kau butuhkan aku akan siap membantu." Anwar menganggukkan kepala, ternyata ada untungnya menikahkan Julia dengan Gira karena otomatis harta dari Harrison juga menjadi bagian dari Zendaya. *** "Gira..!!" "Sudahlah, jangan berteriak terus. Kamu ingin keluargamu mendengar suaramu itu dan berpikir yang tidak-tidak." "Aku takut. Cepat usir cicak itu." "Julia, saya tidak melihat satupun cicak disini, ada apa denganmu? oh, atau kamu hanya menggoda saya, bagus juga idemu itu." Gira melangkah perlahan, senyumnya tercetak miring menatap Julia seperti seekor harimau kelaparan. "Apa? aku tidak bohong. Coba kau dengar, suara itu.." "Suara apa, hum." Gira menghimpit tubuh Julia pada dinding kamar, Julia memegangi ikatan jubah mandinya yang masih belum terikat. "Gira." "Apa? kamu selalu.." "Diam. Dengar gak suara itu, itu suara cicak Gira. Aku tidak mau, pokoknya kamu harus mencari cicak itu dan membuangnya." Julia menepis tangan Gira yang mengurungnya, ia menaiki tempat tidur dan melilitkan selimut ke tubuhnya itu. "Saya tidak akan mengikuti maumu." "Gira, aku mohon.." tatap Julia kepada Gira dengan penuh permohonan. "Mau cari kemana, wujudnya saja saya tidak tahu. Bagaimana bisa membuangnya." Gira mengacak rambutnya frustasi, di malam pertama yang seharusnya menjadi puncak utama bagi pengantin baru malah menjadi malam berburu cicak. Julia masih berdiri di atas kasurnya, melihat Gira yang kesana-kemari mencari cicak seperti yang Julia ucapkan bersembunyi di kamar tersebut. "Sudah. Saya menyerah, terserah kamu mau tidur atau tidak." ucap Gira tampak kesal karena selama setengah jam ia habiskan hanya untuk mencari angin, mengambil selimut membawa langkahnya menuju sofa, Gira membaringkan tubuhnya dan hendak menutup mata sesaat mendengar suara Julia memanggil namanya. "Sayang." Julia memanggil Gira yang tidak direspon oleh pria itu. "Kamu benar-benar tidur, bagaimana dengan malam pertama kita. Gira.." "Nikmati saja malam pertamamu dengan cicak itu." "Apa? Gira..!" *** "Aduh aduh pengantin baru, baru keluar kamar jam segini." seru Amber yang melihat Julia dan Gira berjalan ke arah ruang makan. "Biarkan saja Ma. Biar cepat juga kita menimang cucu kan." ucap Anwar yang membuat semua orang di meja makan tertawa. Julia menyentuh pipinya merasakan panas, ia lantas langsung duduk disebelah Gira. Seperti biasa pria itu tidak peduli dengan apa yang sedang dibicarakan tentangnya atau tentang Julia, baginya semua tidak akan pernah terjadi. "Gira, bagaimana selanjutnya? Kalian akan tetap tinggal disini atau di rumah kita." ucap Idris ketika semua telah selesai makan, memandang pada Gira yang hanya diam disepanjang aktivitas sarapan pagi itu. "Jika Gira dan Julia tetap ingin disini juga tidak masalah. Apalagi Julia sepertinya berat kalau harus meninggalkan rumah." "Saya dan Julia akan tinggal sendiri." Julia menatap Gira yang akhirnya membuka suaranya setelah Anwar berkata demikian. "Kamu yakin?" "Saat dewasa aku selalu hidup mandiri, dan tidak pernah tinggal bersama ayah. Bagaimana aku bisa ragu untuk membawa Julia tinggal di rumahku." "Benar yang Gira katakan. Julia, selama itu baik bagimu tetap ikuti apa perintah suamimu, ketika kalian sudah memilih untuk tinggal sendiri, maka jagalah kerukunan rumah tangga kalian, selesaikan masalah dengan kepala dingin dan, jangan pernah saling meninggalkan." ucap Amber dengan kedua matanya yang berlinang menatap kepada Julia. Merasakan kesedihan yang sama seperti mamanya, Julia berdiri dan menghampiri Amber, memeluk erat perempuan yang selama ini telah sabar membesarkan dan menyayanginya dengan penuh cinta. "Dengar kata-kata Mama ya nak, jadilah istri yang baik untuk suamimu." Amber mengelus rambut panjang Julia dan mengecup puncak kepala putrinya itu. "Julia akan ingat pesan Mama." "Sudahlah, jangan mulai pagi ini dengan tangisan perempuan. Bagaimana jika Julia dan Gira tinggal beberapa hari lagi disini." ujar Ian dengan merangkul bahu Julia. "Tidak bisa. Saya ada pertemuan diluar kota besok dan menyelesaikan pekerjaan saya yang tertunda tiba-tiba kemarin." "Iya, kalau Julia tetap ingin disini kamu bisa tetap pergi bekerja." "Apakah pantas seorang istri tidak melayani suaminya saat dirumah." Gira menatap tajam pada Ian yang juga diam menatapnya. "Sudah, Ian. Julia akan tetap ikut bersama Gira, mereka sudah suami istri jadi seharusnya tidak menjadi masalah." ujar Anwar menengahi perdebatan antara dua pria itu. "Julia, jika Gira berbuat jahat padamu, gigit saja bulu hidungnya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN