Arvan dan Alana kini berada di dalam mobil. Mereka baru saja dari percetakan untuk melihat cetakan undangan pernikahan mereka yang katanya akan selesai hari ini dan bisa disebarkan esok hari.
"Kamu melihat dia di kantin tadi, Al. Dia dan teman-temannya terlihat sangat kaget melihat kamu," ucap Arvan, mulai membahas kejadian di kantin saat mereka akan pergi dari sana.
"Yang mana?" Alana bertanya bingung. Banyak karyawan Arvan yang datang ke kantin tadi, dan Alana tak tahu yang mana mantan gebetan Arvan.
"Dia duduk di meja sebelah kanan, yang kamu lewati. Memakai kemeja berwarna merah marun." Arvan menjelaskan. Alana mengerutkan kening mendengar itu, berusaha mengingat. Duduk di meja sebelah kanan yang dia lewati? Memakai kemeja berwarna merah marun? Kenapa ciri-cirinya sama dengan sosok yang Alana kenal?
"Apakah namanya Aulia?" Alana bertanya seraya menatap Arvan dengan tak sabar.
"Iya. Dari mana kamu tahu namanya?" tanya Arvan bingung. Alana langsung terdiam saat mendengar itu. Dia langsung menatap kosong ke arah depan, membuat Arvan kebingungan.
Dari sekian banyaknya perusahaan di Jakarta, kenapa Aulia harus diterima di perusahaan Arvan? Dari sekian banyaknya karyawan Arvan, kenapa harus Aulia yang pernah dekat dengan Arvan? Kenapa harus dia?
"Apa sekarang Mas masih berkomunikasi dengannya?" Alana bertanya tanpa menatap Arvan.
"Tidak. Kami dekat setahun yang lalu dan semenjak memutuskan menjauh darinya, aku sudah tak komunikasi apapun lagi dengannya. Kami bertemu di kantor pun jarang," jawab Arvan. Dia tak berbohong, karena itu faktanya. Kebetulan saja hari ini Arvan mengajak Alana ke kantin agar Alana lebih kenal situasi kantor, hingga akhirnya secara tak sengaja Arvan bertemu Aulia. Biasanya Arvan makan siang di luar saja.
"Apakah kamu mengenalnya?" Arvan bertanya hati-hati sekaligus penasaran. Alana tak langsung menjawab pertanyaan Arvan, dan diam beberapa saat. Membuat Arvan semakin penasaran.
"Mas, kamu selalu mempermasalahkan usia kita yang terpaut jauh. Tapi kenapa kamu bisa dekat dengannya? Jelas-jelas dia seumuran denganku," ucap Alana. Arvan menghela nafas pelan mendengar itu. Alana bahkan terlihat enggan menyebutkan namanya.
"Aku akan bicara jujur padamu, Al. Saat pertama kali dekat dengannya, aku tak tahu dia seumuran denganmu. Aku pikir saat itu dia seumuran dengan Laura, yang berarti hanya lima tahun di bawahku. Aku baru tahu usia aslinya setelah tiga bulan kami dekat." Arvan memberikan jawaban yang cukup masuk akal.
"Berita kedekatan aku dengan Aulia sampai ke telinga Mama, dan Mama langsung menyuruhku menjauhinya. Aku menurut saja, karena sadar juga kalau hubunganku dengan dia tak akan bisa sampai ke tahap serius. Kalau pun aku memaksakan diri tetap bersamanya, malah dia yang kasihan karena tak akan diterima baik oleh Papa dan Mama. Jadi aku memilih menjauhinya saja," lanjut Arvan. Dia berusaha fokus pada jalanan karena masih menyetir. Namun sesekali Arvan juga menoleh ke arah Alana dengan penasaran.
"Oke. Penjelasanmu aku terima, Mas. Kalau aku minta jangan pernah lagi berhubungan dengannya, apa Mas akan mengabulkannya?" Alana bertanya seraya menatap Arvan. Arvan meliriknya sekilas, lalu kembali fokus pada jalanan.
"Hubunganku dengannya sekarang tak lebih dari sekedar atasan dan bawahan saja. Aku bahkan jarang berinteraksi masalah pekerjaan dengannya," jawab Arvan.
"Bukan itu jawaban yang aku mau," ucap Alana dengan nada suara yang sedikit meninggi. Membuat Arvan semakin heran.
"Tentu bisa, Alana. Kalau aku yang cari masalah, maka artinya aku bunuh diri. Kamu tahu sendiri kalau Papa dan Mama itu bagaimana," jawab Arvan dengan nada kesal.
"Bagus. Aku tak suka orang-orang disekitarku memiliki hubungan dengannya. Dia adalah orang yang akan kubenci seumur hidupku. Dia tak akan pernah mendapatkan maaf dariku, walau dia sampai bersujud di kakiku." Alana berucap dengan nada penuh kebencian. Arvan hanya bisa menatap bingung padanya. Arvan baru tahu kalau Alana mengenal Aulia, dan ternyata mereka seumuran. Apa mungkin mereka teman lama? Arvan baru tahu karena Alana memang tak pernah menceritakan apapun tentang masa lalunya saat masih tinggal di Bekasi.
Ya, Bekasi. Arvan bahkan baru ingat kalau Aulia juga dari Bekasi. Berarti mereka tinggal satu kota? Bisa saja mereka memang teman lama. Dan Arvan tak tahu alasan apa yang membuat Alana terlihat sangat membenci Aulia.
"Apa dia pernah melakukan kesalahan padamu hingga kamu sangat membencinya?" Arvan bertanya. Alana menoleh padanya dan melemparkan tatapan tajam. Wow, Arvan yakin sekali kalau sosok Alana yang pemalu dan penakut dulu kini sudah lenyap. Bisa-bisanya Alana berani menatapnya tajam begitu.
"Kesalahan yang sangat fatal. Kamu tidak perlu tahu detailnya bagaimana, Mas. Aku peringatkan saja, jangan tertipu dengan wajah polos dan lugunya. Kamu tidak tahu sejahat apa dia di masa lalu," ucap Alana dengan tegas. Ya, wajah Aulia memang terlihat polos dan lugu, seperti tokoh sinetron yang selalu ditindas dan disakiti. Jika dilihat sekilas dari wajah, Aulia terlihat seperti tokoh protagonis yang lemah, sedangkan Alana terlihat seperti tokoh antagonis yang kejam. Tapi ya, karakter seseorang tidak bisa dinilai hanya dari wajahnya saja.
"Aku tahu kita menikah karena terpaksa, Mas. Aku tahu. Kalau semisal kamu ingin mencari selingkuhan, silahkan aku tak peduli karena kamu sudah tahu sendiri bagaimana akibatnya nanti. Namun jika aku tahu kamu dekat lagi dengan wanita itu, aku tak akan tinggal diam saja. Aku akan membuatmu maupun dia merasakan penyesalan sedalam mungkin. Aku tak akan membiarkan hidup kalian berdua tenang. Kamu tahu sendiri kan kalau Papa dan Mama akan lebih berpihak padaku." Alana berkata dengan sangat tegas, disertai dengan nada ancaman juga. Arvan hampir saja ternganga kaget mendengar ancaman yang dilontarkan Alana barusan. Kenapa malah dia yang dipojokkan sekarang?
"Kamu berani juga ternyata. Sampai mengancamku begitu," ucap Arvan.
"Kenapa harus takut? Aku tidak melakukan hal yang salah," balas Alana langsung. Arvan berdecak pelan mendengar itu. Tidak menyangka kalau sifat Alana akan berubah sedrastis ini sekarang.