Teman Lama Atau Mantan Gebetan?

1045 Kata
Jam istirahat kantor sudah dimulai, dan para karyawan pun mulai membereskan meja mereka masing-masing. Termasuk seorang wanita bernama Aulia yang bekerja di bagian administrasi. Dia memasukkan semua benda penting ke dalam tas, takut hilang. Karena dia akan pergi ke kantin kantor untuk makan siang bersama teman-temannya. Keluar dari ruangan kerjanya, Aulia langsung bertemu dengan kedua temannya. Satu dari divisi keuangan, satu lagi dari divisi IT. Mereka menjadi teman sejak masih SMA, keberuntungannya adalah mereka merantau ke Jakarta dan diterima di perusahaan yang sama walau dalam bidang yang berbeda. "Aul, kamu dengar kabar yang sedang hangat gak?" Dilla, salah satu temannya bertanya seraya berjalan beriringan. "Berita tentang Pak Arvan yang akan segera menikah? Aku sudah dengar dari kemarin," jawab Aulia dengan wajah bosan. Dia benar-benar patah hati saat mendengar bosnya akan segera menikah. Pasalnya, satu tahun yang lalu mereka sempat dekat. Namun Arvan menjauh secara tiba-tiba tanpa memberikan penjelasan. Dan sekarang, Aulia mendengar kabar pria itu akan segera menikah. "Bukan berita itu. Tapi berita hari ini, berita baru sekali," ujar Dilla dengan sangat semangat. "Sayang, biarin aja napa. Biar Aulia gampang move on." Seorang pria yang merupakan teman Aulia yang lain berucap. Dia adalah Ryan, tunangan Dilla. Dan ya, mereka adalah teman sejak masih SMA. "Aku tahu. Tapi ini berita cukup panas juga," ucap Dilla berapi-api. "Berita apa memangnya?" Ryan bertanya heran pada tunangannya tersebut. "Hari ini Pak Arvan membawa calon istrinya ke sini. Aku dengar dari OB tadi. Katanya calon istri Pak Arvan terlihat sangat berkelas dan cantik sekali," ucap Dilla. Aulia mencebikkan bibir mendengar itu. Tambah sakit hati saat mendengar sosok calon istri Arvan yang sudah pasti lebih dari dirinya dalam segala aspek. "Katanya juga sih, calon istri Pak Arvan akan menggantikan posisi Bu Laura karena Bu Laura harus resign," lanjut Dilla. Dia memang orang yang sangat gerak cepat masalah gosip di kantor. "Haha. Makin panas kamu, Lia." Ryan berucap, menertawakan temannya tersebut yang masih belum move on dari sang bos. Mereka berjalan keluar lobi, menuju kantin kantor yang dibangun tepat di samping lobi. Untuk menekan pengeluaran, mereka memang lebih memilih makan di sana saja karena harganya bersahabat. Apalagi untuk Dilla dan Ryan, yang sedang fokus menabung untuk biaya nikah. Setelah masuk ke dalam kantin, mata mereka mencari keberadaan kursi yang kosong. Dan sebelum menemukannya, tak sengaja mata mereka melihat ke arah meja di ujung dekat dengan meja kasir, di mana terlihat Arvan duduk di sana dengan seorang wanita. "Itu Pak Arvan. Pasti yang duduk di depannya adalah calon istrinya," bisik Dilla. Posisinya adalah Arvan duduk berhadapan dengan calon istrinya yang membelakangi pintu masuk. Jadi Aulia dan kedua temannya tak bisa melihat wajah calon istri Arvan. "Udahlah, Aul. Lebih baik kamu cepat move on saja." Dilla berucap seraya menepuk pelan pundak sahabatnya. Dilla kemudian meraih tangan Ryan dan mengajak tunangannya tersebut untuk segera duduk. Sementara Aulia, masih berdiri di dekat pintu masuk dengan mata melihat ke arah Arvan. *** Arvan duduk berhadapan dengan Alana di meja kantin. Mereka sudah memesan makanan, karena mereka memang datang paling awal sebelum jam istirahat kantor di mulai. Jadi saat para karyawan mulai masuk untuk makan siang, mereka sudah hampir selesai. Alana sudah menghabiskan makanannya dan sekarang dia sedang meminum jus jeruk miliknya. Dengan inisiatif sendiri, Arvan mengambil tisu dan menyerahkannya pada Alana. Alana pun tertawa pelan sembari menerima tisu tersebut. "Terima kasih, Mas. Kamu tak perlu terlalu perhatian seperti ini," ucap Alana. Dia kemudian membersihkan sisa makanan di bibirnya dengan tisu yang Arvan berikan barusan. "Hanya sedang berusaha menjadi calon suami yang baik. Kamu ingat isi perjanjiannya kan? Kita tak akan bisa bercerai sampai kapan pun, kecuali orang tuaku sudah meninggal dunia. Dan aku tak mau jadi anak durhaka yang mendoakan orang tua sendiri cepat meninggal hanya demi keinginan bercerai darimu." Arvan berucap. Alana tertawa pelan mendengar itu. Ya, dalam surat perjanjian pranikah mereka memang tertulis kalau di antara mereka tak boleh ada yang namanya perselingkuhan. Itu ditujukan untuk menjaga nama keluarga agar tidak tercoreng. "Jadi, kita harus belajar saling menerima kan?" Alana bertanya. Arvan pun mengangguk. "Ya, hanya itu saja pilihan kita. Aku sedang berusaha menerima fakta kalau tak lama lagi kamu akan menjadi istriku. Usiamu yang sama dengan Alvin membuatku kadang merasa kalau kamu lebih cocok jadi adikku," ujar Arvan. Alana tertawa pelan lagi mendengarnya. Ya, usianya dengan Arvan memang terpaut cukup jauh. Tahun ini Alana berusia 24 tahun, sedangkan Arvan berusia 36 tahun. Ya, usia mereka selisih 12 tahun. Makanya dulu saat Alana baru masuk ke rumah, Arvan selalu geli sendiri saat membayangkan akan menikah dengan seorang anak SMA. Tapi sekarang Alana sudah tumbuh menjadi seorang wanita dewasa, dan dari segi wajah, perbedaan usia mereka tak akan terlalu terlihat. "Mau pulang sekarang? Atau mungkin kamu mau pergi ke suatu tempat?" Arvan bertanya seraya mengeluarkan dompetnya. "Bukannya kita harus ke tempat percetakan undangan?" Alana balik bertanya. Arvan tertawa pelan mendengar itu. Dia lupa. "Kamu benar. Aku lupa," jawab Arvan. Dia lalu berdiri dan mendekati kasir untuk membayar. Sebenarnya Arvan bisa saja langsung pergi tanpa membayar lebih dulu. Namun dia tak ingin seperti itu. Setelah selesai membayar, Arvan berbalik hendak mendekati Alana. Tak sengaja mata Arvan melihat ke arah karyawannya, lebih tepatnya mantan gebetannya yang ternyata makan siang di sana juga. Mata mereka tak sengaja bertemu selama beberapa detik, sampai akhirnya Arvan langsung memutus kontak mata dan berjalan mendekati Alana. "Punyaku sudah dibayar?" Alana bertanya. "Tentu saja. Harga diriku akan terluka kalau membiarkan kamu membayar makanan sendiri," jawab Arvan. Alana tersenyum mendengar itu. Sepertinya mereka mulai bisa beradaptasi sebagai pasangan. Agak susah, namun harus terus di coba. "Al, bisakah kamu menggandeng lenganku?" Arvan bertanya. Kening Alana berkerut mendengar itu. "Kenapa?" "Lakukan saja," jawab Arvan. Alana kebingungan mendengar itu namun akhirnya mengangguk saja. Dia berdiri dengan sebelah tangan menenteng tas berwarna hitam dengan merk ternama, Dior. Sebelah tangannya lagi langsung menggandeng lengan Arvan. Mereka lalu berjalan hendak keluar dari kantin. Saat sedang berjalan, mata Alana tak sengaja melihat tiga sosok yang sangat dia kenal. Mata Alana sedikit memicing ke arah mereka yang sepertinya sangat kaget melihat dia menggandeng lengan Arvan sekarang. Ah, mereka jadi karyawan Mas Arvan ternyata? Bagus. Mereka akan panas sendiri saat tahu aku adalah calon istri bos mereka. Alana berucap dalam hati dengan senyuman puas terukir di bibirnya. Hei, dia orangnya dendaman memang. Sampai mati pun, Alana tak akan pernah memaafkan mereka bertiga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN