17. Fikri ( Menerka-nerka )

952 Kata
Aku mengemudikan mobilku dengan kecepatan sedang ketika saat ini jam sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. Tidak ada yang istimewa dengan semua ini selain Fara yang periang dan Afrah si wanita polos itu. Afrah bagaikan anak kecil yang baru saja keluar dari rumah. Itu yang aku pikirkan sejak pertama kali bertemu dengannya di kota Aceh. Tapi, sesuatu aneh menelusup di hatiku. Rasa penasaranku padanya. Dia mengingatkanku tentang sahabatku di masalalu bernama Reva. Salah satu wanita yang kubenci karena menjadi penyebab kematian Devika. Karena saat di masalalu Reva yang mengemudikan mobil Devika sampai akhirnya kecelakaan itu terjadi. Ya Allah. Devika lagi Devika lagi. Seketika aku menarik kedua sudut bibirku terangkat karena mengingat almarhum Devika yang cantik. Jika dia masih hidup, mungkin saat ini disebelahku sudah ada Devika. Sosok calon istri yang menemani kesepianku. Tapi jika di pikir-pikir lagi. Setelah beberapa tahun kemudian hingga sekarang aku tidak pernah mendengar kabar Reva lagi. Ntah dia masih hidup atau tidak, hanya Allah Yang Tahu setelah kabar terakhir yang aku dengar bahwa Reva mengalami koma akibat kecelakaanitu. Terlalu banyak memikirkan Devika dan Reva tanpa sadar aku mengemudikan mobilku tiba di bassement apartemenku. Aku memarkirkan mobilku dengan rapi lalu mematikan mesinnya. Bayangan Afrah yang memegang buku ilmu komunikasi tadi benar-benar tidak bisa aku lupakan. Apalagi dulunya aku juga kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Oke aku mengerti kalau yang kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi itu banyak. Tidak satu orang saja. Tapi, aku merasa ada sesuatu di diri Afrah yang membuatku penasaran. Apakah dulunya Afrah kuliah dengan jurusan ilmu komunikasi juga? Kalau memang benar, dimana wanita itu kuliah? Apakah di universtas yang sama sepertiku di kota Samarinda? Aku menggeleng cepat. Tidak. Tidak mungkin Afrah kuliah di universitas yang sama sementara Afrah berasal dari kota Aceh. Sebuah pemikiran bila Afrah pernah menjadi mahasiswi rantauan lagi-lagi terlintas di pikiranku. Mendadak kepalaku pusing hanya untuk memikirkannya. Tapi jika itu benar. Saat itu aku tidak pernah melihatnya. Apalagi memiliki teman satu jurusan yang bercadar. Deringan ponsel menyadarkanku dari segala pemikiranku. Nama Bunda terpampang di layar ponselku. "Asalamualaikum. Iya Bunda?" "Wa'alaikumussalam. Nak kamu dimana?" "Firki di bassement apartemen. Ada apa Bun?" "Tidak ada apa-apa Fik. Cepat naik ke apartemenmu. Sudah malam. Waktunya mau tidur. Bunda bikinin segelas s**u sapi buatmu." Aku terbelalak. "Ya Allah Bunda. Untuk apa?" "Supaya tulang kamu sehat. Umur kamu itu 30 tahun Fik. Jangan sampai kamu jadi bujangan yang osteoporosis." "Bunda. Please jangan berlebihan." "Loh, Kamu ini ya! Bunda itu perhatian sama kamu. Mencegah lebih baik daripada mengobati kan? Kamu belum nikah Fik. Kalau sakit bagaimana?" "Ya ya ya terserah Bunda. Terserahhh.." ucapku penuh kesabaran. "Cepat ke apartemen sebelum s**u kamu dingin ya bayi besar atau Bunda akan menyumpal empeng bayi ke mulut kamu supaya kamu tidak banyak protes!" Klik. Sambungan terputus. Ya Allah tabahkan hati hamba. **** Ponsel berdering setelah aku baru saja menutup laptopku. Aku menerimanya. Sebuah nomor tak dikenal. "Halo Asalamualaikum?" "Wa'alaikumussalam. Hei sayang." Aku terkejut. Astaga. Suara pria. Seketika aku mendecak sebal. "Maaf ini siapa?" "Kamu lupa dengan suaraku ini culun?" "Katakan siapa dirimu. Aku tidak memiliki waktu untuk-" Pintu terbuka lebar. Seorang pria bertubuh tinggi stelan formal masuk begitu saja. Dia berpura-pura memasang raut wajah serius dan masih memegang ponselnya. Ya Allah. Dia benar-benar keterlaluan! Hampir saja aku emosi akibat guyonannya yang menyebalkan itu. "Ada apa kemari?!" "Kamu mengusirku? Oh ayolah. Aku baru saja tiba dari Swiss." Dengan santai dia duduk di sofa diruanganku. Dia bernama Daniel. Teman semasa ospek waktu di kampus. Kami berbeda jurusan. Saat kuliah Daniel mengambil jurusan Ekonomi Internasional. "Aku tidak perduli. Jangan memanggil kata tadi. Itu sangat mengerikan!" ucapku sebal. Aku mengecek jam dipergelangan tanganku. Sudah jam siang. Yang artinya jam istirahat tiba. Alhasil aku pun berjalan ke arah pintu. "Mau kemana?" "Makan." "Ikut sayang." "Daniel!" Aku menatap Daniel tajam. Dia hanya tertawa geli. Dia memang begitu. Menyebalkan dan suka mengejekku. "Menyenangkan sekali membuatmu marah Fik. Jadi, kemana kita?" "Ke restoranku. Makan siang." "Kalau begitu kamu harus traktiran. Anggap saja penyambutan temanmu yang keren ini tiba dari Swiss." "Terserah." ucapku dingin. Kami akhirnya memasuki sebuah lift untuk turun ke lantai lobby. "Untuk apa kamu pulang? Tumben sekali?" Aku melihat Daniel yang kini berada di sampingku. "Aku gagal lagi." "Dalam urusan bisnismu?" "Tidak. Ini urusan pribadi. Sintia sudah menikah dengan pria pilihan Ayahnya. Aku bisa apa?" Aku menghedikkan bahu tak perduli. "Nikmati saja. Bukankah single itu menyenangkan tanpa terikat?" "Kamu berkata seperti itu dengan mudah. Jangan bilang kamu belum melupakan almarhum kakak tingkat kita si Devika itu?" Aku tidak menjawab. Aku hanya tersenyum tipis. Daniel hanya menghela napas. Teman dekatku itu begitu tahu bahwa siapa yang aku cintai dan siapa yang tidak akan pernah kulupakan. **** Selagi Daniel pergi ke toilet, lagi-lagi aku termenung dengan berbagai macam pemikiranku. Terutama soal Afrah. Sebentar lagi wanita itu akan datang mengantarkan makanan keruangan ku. Rasa penasaran sejak beberapa hari yang lalu tentang Afrah semakin membuatku bertanya-tanya dalam hati. "Asalamualaikum Pak?" Aku menoleh ke arah pintu. Wanita yang sejak tadi aku pikirkan kini berdiri didepan pintu sambil membawa nampan yang berisi beberapa menu makanan siang hari ini. "Wa'alaikumussalam masuklah." Dengan sopan Afrah masuk keruanganku. Afrah mulai menyajikan menu makan siang hari didepanku. "Em maaf Pak. Ada tambahan lagi?" "Tidak." Aku menggeleng cepat. "Sudah cukup." Afrah hanya mengangguk lalu dengan sopan memilih pamit padaku. "Sebentar." Afrah menghentikan langkahnya. "Ya Pak?" Seketika aku terdiam. Mengumpulkan keberanian untuk bertanya lebih lanjut tentang masalalunya. Tapi, apakah itu sopan? "Pak?" "Ha?" "Maaf ada apa Pak?" "Ah maafkan aku. Apakah-" "Asalamualaikum. Maaf lama menunggu Fik. Tadi-" Lalu kami semua terdiam menatap Daniel yang tiba-tiba datang. Dengan terpaksa akhirnya aku menyuruh Afrah pergi. Aku harus sabar. Aku harus menunggu waktu yang tepat untuk bertanya lebih lanjut atas terkaan yang aku alami setelah beberapa hari ini. *** Fikri mulai curiga. Kalau gitu caranya kapan berpaling?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN