15. Fikri ( Kasih Sayang Seorang Ibu )

1024 Kata
Aku menatap Afrah yang terlihat tidak biasa. Seperti sedang kecewa. Perasaanku sih seperti itu. Tapi Ntahlah. Sayangnya aku tidak bisa melihat raut wajahnya karena dia wanita yang bercadar. Afrah pergi meninggalkan ruangan ini. Sementara Fara menatapku dengan berbinar. Aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Dia benar-benar wanita yang ceria. Selama perkenalan ini berlangsung, dia tidak pernah membahas tentang perjodohan ini. Itulah yang menjadi alasan kenapa aku tidak keberatan saat dia berada didekatku. "Fik." "Ya?" "Woles ya. Jangan tegang." "Maksudmu?" Fara tertawa. Lalu dia tersenyum kearahku. Dan lagi. Senyum itu. Subhanallah. Manis. "Kalau aku lagi sama kamu, tidak perlu memikirkan hal-hal perjodohan itu. Santai saja. Aku bukan tipikal wanita yang ngebet menikah kok. Aku lebih suka berteman saat ini." "Oh ya?" "Hm. Rasanya bebas. Tanpa terikat perasaan. Kita juga jarang ketemu. Kalaupun ketemu hanya berhubungan dengan bisnis dan pekerjaan di kantor. Ah kalau kamu butuh sesuatu atau saran, insya Allah aku bisa membantumu Fik." Dalam hati aku bernapas lega. Alhamdulillah deh kalau Fara berpikir sedemikian rupa. Setidaknya dia tidak masalah jika aku jarang bersamanya. "Afrah! Yey Alhamdulilah akhirnya." Aku menoleh ke arah pintu. Afrah sudah kembali membawa sepiring nasi goreng seafood dan jus jeruk di nampannya. Afrah memasuki ruangan ini dan meletakkan nampan itu didepan Fara. Aku melihat Afrah sedikit gugup. Sebenarnya ada apa dengan Afrah? Kenapa dia seperti itu ketika bertemu denganku? Apakah wajahku seram? Bukankah dari turun temurun aku anak tampan? Ah iya. Alhamdulillah aku tampan. Sudah takdir. Dan lagi. Hanya memikirkan itu semua rasa penasaranku di balik cadar Afrah itu semakin kuat. "Afrah, Nanti malam ada pameran bazar buku loh. Mumpung harga buku murah-murah kita kesana yuk?!" "Bazar buku?" "Iya. Tepatnya di Mall. Habis isya deh aku jemput." "Apakah lama?" "Insya Allah tidak. Kita ini wanita. Tidak baik pulang malam-malam. Aku benar kan?" "Aku.. aku akan meminta izin sama Bunda dulu. Em maaf aku harus kembali bekerja. Asalamualaikum." "Wa'alaikumussalam. Makasih ya Afrah!" Afrah beralih menatapku. "Permisi Pak." "Iya. Silahkan. Sekali lagi terima kasih Afrah." "Sama-sama Pak." Aku menatap kepergian Afrah. Dari cara gerak geriknya sepertinya Afrah itu anak rumahan yang jarang keluar rumah. "Pak?" Aku menoleh kearah Fara. "Ya?" "Afrah itu baik Pak. Kedua orang tuanya juga baik. Pokoknya tetangga yang menyenangkan deh." "Em, baguslah kalau begitu." "Dan Afrah juga polos." Lalu Fara tertawa. Wajahnya ceria. Dan lagi. Senyum itu. Manis. Hingga membuatku terpana. "Nanti malam kamu ikutan juga ya Fik! Kayaknya seru deh kalau kita jalan bertiga." *** Apartemen Casanova. Pukul 20.00 Malam. Jakarta Utara. "Masya Allah. Bayi besar Bunda mau kemana?" Aku menoleh kearah Bunda. Ah lagi-lagi Bunda menggodaku dengan dua kata. Bayi besar. "Rapi banget Fik. Jalan sama Fara?" Aku mengangguk. "Iya Bun." "Alhamdulillah ada perkembangan. Jadi kapan nih?" Aku memakai jam di pergelangan tanganku. "Apanya Bun?" "Itu loh." "Itu apa sih Bun- argh!" Tanpa diduga Bunda mencubit lenganku yang berotot. Ya Allah Bunda. Segitu gemasnya denganku yang tidak tahu apa-apa ini. "Dasar gak peka! Ya nikah lah. Apa lagi?" Aku hanya meringis sambil mengusap lenganku setelah Bunda mencubitnya. "Fikri tidak tahu Bun. Lagian Fikri belum mau menikah. Fikri masih mencintai Devika." "Lupakan almarhum Devika dan move on." "Akan Fikri usahakan." "Bunda tunggu loh ya." "Iya Bunda. Iya iya." "Ah tunggu sebentar." Bunda beralih masuk kedalam kamar. Aku hanya menghedikan bahu tidak peduli. Lalu beberapa menit kemudian Bunda keluar kamar membawa sesuatu. Tanpa diduga Bunda menarik pergelangan tanganku. Ya Allah ada apa ini? Aku hanya menurut sampai akhirnya Bunda mendudukanku disofa. "Kamu itu tinggi. Bunda capek kalau disuruh berjinjit." "Bunda mau apa- Eh Bunda mau ngapain?!' Dengan santai Bunda menuangkan minyak telon ketelapak tangannya. Lalu mengusapkannya ke ubun-ubun kepalaku. Aku mendelik panik. "Bun!" Aku berusaha menghindar. "Kamu itu mau keluar malam. Bunda takut kamu masuk angin. Nanti kalau perut kembung kepala pusing yang ngurus siapa? Istri saja tidak punya!" "Ya Allah Bundaaaaa. Hentikan. Fikri-" "Diem! Bayi besar jangan nakal. Oke?" Tidak sampai disitu saja. Bahkan aku terkejut ketika saat ini Bunda malah menuangkan botol bedak tabur berkemasan gambar bayi ntah mereknya apa ke telapak tangannya lalu dengan santainya Bunda menepuk-nepuk bedak tabur itu kearah wajahku. "Bun! Fikri. Ya Allah Bundaaaaa." "Hush! Hush! Diem." "Tapi-" "Kamu ini lucu Fik! Mbok Yo bujangan 30 tahun kok kayak Bapak-bapak beranak banyak!" Bunda terus merapikan bedak bayi berwarna putih itu di seluruh wajahku. Bahkan bisa dipastikan saat ini wajahku cemong. "Kalau belum punya istri rajin-rajin toh nak perawat wajah. Kamu sih kebanyakan kerja. Jangan sampai Fara tidak terpesona oleh ketampananmu. Wajah kamu tadi pucat banget!" "Tuh lihat Ayah kamu. Meskipun sudah tua, dia rajin perawatan wajah." Aku menoleh kearah Ayah yang kini duduk dengan santai sambil memakai masker wajah berbentuk topeng milik Bunda. Dan Ayah hanya melambaikan tangannya kearahku. Menandakan kalau yang di katakan Bunda itu benar. "Sudah sana berangkat! Nih jangan lupa dipakai. Tidak mungkin Bunda pakaikan ke kamu kan?"  Bunda memberiku sesuatu di telapak tanganku. Aku melihatnya dan tidak menyangka dengan pemberian Bunda. "Ini koyo panas. Tempel di perut kamu. Kali aja nanti mabuk di jalanan. Jangan bikin malu Bunda sama Fara. Oke? Mungkin ini terlalu berlebihan. Tapi sepertinya Bunda tidak peduli. Kasih sayang seorang ibu pada anaknya sampai semua tubuhku beraroma minyak telon dan bedak bayi. *** Selow dulu ya kan. Masih part 15 loh. Masih pendek ah. Pemanasan dulu sebelum Baper Makasih sudah baca. Sehat selalu buat kalian. With Love LiaRezaVahlefi Instagram lia_rezaa_vahlefii ___ Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni'mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (Qs. Al-Ahqaaf : 15)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN