14. Afrah ( Sabar Karena Allah )

980 Kata
Perumahan Komplek Pelita Indah. Pukul 14.00 siang. Satu hari telah berlalu. Bayangan kejadian di malam itu setelah melihat Pak Fikri dan Fara mengobrol singkat di teras rumah membuat hatiku resah. Aku tidak mengerti ada apa dengan diriku. Hatiku rasanya tidak nyaman. Perasaanku tidak tenang. Melihat Pak Fikri dan Fara membuatku tidak suka. Ya Allah. Hamba kenapa? Apakah ini yang dinamakan cemburu? Tapi, untuk apa aku cemburu di malam itu? Pak Fikri bukan siapa-siapaku. Mahram juga bukan. Untuk apa aku cemburu? Fara dan Pak Fikri sudah di jodohkan. Aku tidak boleh ada diantara mereka. Aku memilih duduk. Menahan rasa amarah dan emosi yang menyesakkan didada. Selama 29 tahun aku tidak pernah mengenal kata Pria. Cinta. Dan cemburu. Aku hanyalah anak rumahan yang menghabiskan waktu dengan Bunda. Begitu aku mengenali dan membiasakan diri didunia luar, segala macam permasalahan hadir satu per satu. Terutama soal hatiku. Aku memilih berbaring diatas tempat tidurku yang berwarna tosca ini. Aku penyuka warna cerah dan warna pelangi. Didepan mataku itu semua sangatlah indah. Tapi sayangnya keindahan ini tidak mempengaruhi mood hatiku. Aku berusaha untuk tidur. Aku memejamkan kedua mataku rapat-rapat. Dalam gelapnya bayangan di mataku saat ini aku membayangkan rainbow cake. Pelangi. Kuda poni. Warna merah pagar tetangga yang di cat tadi pagi. Warna kuning kunyit bumbu milik Bunda didapur. Warna hijau rumput tetangga. Warna biru iris biru mata Pak Fik- Ya Allah.... Akhirnya aku terbangun lagi. Aku memukul-mukul wajahku dengan bantal empuk ini. Rasanya aku ingin guling-guling diatas tempat tidur agar bayangan Pak Fikri dan Fara bersama itu menghilang. Lalu aku melemas lagi. Aku terdiam. Aku meraih tasbih. Berdzikir dengan khusyuk agar penyakit hati ini segera hilang dengan cara mengingat Allah. Sebagaimana telah dikatakan dengan jelas oleh Allah swt di dalam Al Quran : الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." (QS. Ar Ra'du : 28) **** Restoran Keluarga Delicious by Fikri. Pukul 13.00 siang. Jam istirahat pun berlangsung. Saat ini aku menikmati cemilan cenil singkong pelangi buatan Bunda. Aku tidak pernah membawa bekal makanan berat dari rumah karena aku lebih suka cemilan berwarna-warni seperti ini. Aku duduk dengan santai sambil memakan cenil-cenil lezat ini dengan perlahan di balik cadar yang aku kenakan. Lokasi istirahat para karyawan terletak di bagian belakang restoran dan lebih tepatnya di area ruangan loker. Ruangan ini cukup nyaman. Sudah disediakan meja dan kursi. Disampingnya juga ada mushola. "Afrah?" Aku menoleh ke samping. Tiba-tiba Ayah datang dengan ciri khas memakai celemek dan seragam kokinya. "Ayah? Ada apa?" Aku berniat berdiri dari duduk tapi Ayah menyuruhku untuk duduk. Ayah pun memilih duduk di hadapanku. "Ayah ganggu makan siangmu?" Aku menggeleng. "Tidak. Kebetulan Afrah sudah selesai. Ayah lagi istrirahat?" Ayah mengangguk. "Iya. Ayah lagi istrirahat. Ah Ayah ada pesan buatmu nak." Aku melihat Ayah yang begitu serius denganku. "Semalam Ayah di hubungi oleh Bu Ayu. Beliau adalah Ibu kandung dari Pak Fikri." Jantungku berdegup dengan kencang. Tiba-tiba aku deg-degan. Ya Allah. Apakah aku di lamar sama Pak Fikri? Apakah perjodohannya dengan Fara batal? Apakah aku boleh kepedean? "Ke-kenapa Ayah? Apakah ada berita penting?" Ayah mengangguk lagi. "Iya nak. Ini soal Fikri." "Fikri?" Ya Allah. Hati ini semakin berdebar sangat kencang. Pipiku bahkan memanas dan rasanya bersemu merah. Aku mencengkram kuat ujung hijabku. Menyalurkan rasa kegelisahan hati ini. "Begini, Ibu Ayu menugasi Ayah mulai sekarang untuk membuat makan siang yang sehat khusus Fikri. Katanya supaya Fikri tidak membeli makanan siap saji diluar sana." "Lalu?" "Ayah pikir setelah itu kamu bertugas mengantarkan makanan Pak Fikri ke ruangannya. Beliau akan datang 1 jam sebelum jam istrirahat. Itu saja." "Jadi tukang antar makanan buat Pak Fikri?" "Iya. Memangnya apa yang kamu pikirkan sejak tadi nak?" "Jodoh Ayah jodoh. Afrah suka sama Pak Fikri." ucapku dalam hati. "Em tidak ada Ayah." "Kalau begitu Ayah mau kembali ke dapur. Cepat habiskan makananmu ya." Dan tubuhku rasanya tidak bersemangat. Lalu secepat itu aku sadar. Seharusnya aku tidak boleh berharap sama manusia. Astaghfirullah. Apa yang baru saja aku lakukan? Seharusnya aku berharap pada Allah. Bukan pada Pak Fikri yang akan mengecewakanku. Iya kan? **** Keesokan harinya. Pukul 13.00 Siang. Aku memegang nampan yang berisi makanan dan segelas air putih untuk Pak Fikri. Kata Ayah Pak Fikri sudah berada diruangannya. Hanya untuk berjalan menuju ruangannya saja degup jantungku benar-benar berdebar. Aku berusaha untuk sabar dan menjalani perintah ini. Aku sudah menaiki anak tangga satu per satu sebanyak 3 lantai. Padahal kotak besi itu ada. Tapi aku takut. Takut seperti kejadian waktu itu yang nyaris pingsan karena tidak mengerti cara menaiki kotak besi itu. Sesampainya di depan ruangan Pak Fikri, aku terkejut. Aku terdiam. Aku melihat Fara duduk di hadapan Pak Fikri. Ya Allah. Perasaan tidak suka ini lagi-lagi hadir. "Mbak Afrah?" Aku tersentak ketika Pak Fikri memanggilku. Alhasil dengan kikuk aku memasuki ruangannya. Dengan perlahan aku menghidangkan makan siang Pak Fikri di atas meja. "Wah, Afrah! Kamu kerja disini juga ya?" Suara Fara yang antusias hanya membuatku mengangguk canggung. "Em. Iya Fara. Saya bekerja disini." "Oh ya? Bagian apa? Pengantar makanan?" "Bukan. Saya kasir." ucapku lagi pada Fara. "Alhamdulillah. Semangat ya Afrah. Ah nanti malam aku main kerumahmu ya!" Aku hanya mengangguk kikuk. Fara memang begitu. Dia teman yang periang. "Mbak Afrah bisa minta tolong lagi?" Suara Pak Fikri membuatku teralihkan padanya. "Bisa Pak. Minta tolong apa." "Tolong kamu antarkan menu makan siang untuk Fara ya." "Fara kamu mau makan apa?" Aku melihat Pak Fikri bertanya pada Fara. Wajah Fara jadi bersemu merah. Dia sangat ceria. Bahkan terlihat cantik dan cocok dengan Pak Fikri sebagai pasangan serasi. "Hmmm.. terserah deh. Nasi goreng seafood juga boleh. Afrah nanti tolong antarkan kemari ya. Aku lapar nih." Aku hanya menurut dan segera keluar dari ruangan Pak Firki. Dengan langkah lesu aku berjalan. Menuruni anak tangga satu per satu. "Ya Allah. Tidak apa-apa. Insya Allah hamba kuat kok."  *** Sabar Afrah. Diam adalah emas. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN