"Afrah?"
Aku menatap iris coklat Afrah yang kini menatapku dengan serius. Di balik cadarnya itu aku tidak tahu apakah sebenarnya dia terlihat sedang gugup atau tidak. Padahal aku hanya memanggilnya. Apakah aku salah?
"Iya Pak?"
"Em. Mumpung lagi diluar jam kerja. Bisa mengobrol sebentar?"
Lalu dia terdiam lagi. Aku mengecek jam dipergelangan tanganku. Memastikan untuk tidak berlama-lama diluar rumah.
"Hanya 10 menit. Boleh?" tanyaku padanya.
Akhirnya Afrah mengangguk. Suasana begitu hening di komplek perumahan yang ada di daerah kota Jakarta ini. Hanya suara jangkrik yang berada di semak-semak dan mengisi keheningan di antara kami.
"Besok saya minta surat ijazah semua pendidikanmu ya."
"Surat ijazah? Em maaf Pak. Bukankah waktu itu sudah saya berikan ke Bapak melalui Ayah saya?"
Aku menggaruk tengkuk leherku dan sedikit salah tingkah. Untuk menutupi hal itu akupun akhirnya berdeham.
"Em, maksud saya surat tanda kelulusan kamu waktu kuliah."
"Hanya untuk formalitas dari kebijakan saya. Itu saja. Sekarang ada peraturan baru, yang bekerja di tempat saya harus menahan ijazah pendidikan selama satu tahun." ucapku kemudian sebelum Afrah mengetahui yang sebenarnya.
Afrah terlihat berpikir. Ntah apa yang dia pikirkan. Aku tidak tahu. Hanya Allah dan dirinya yang tahu.
"Baik Pak."
"Itu buat Fara?"
Tatapan Afrah beralih ke sebuah kotak makanan yang dia pegang. Lalu kembali menatapku.
"Iya Pak. Benar."
"Sini. Titip sama saya saja."
"Ha?"
Aku hendak mengambil kotak itu. Tapi tiba-tiba Afrah menolak. Seolah-olah kotak itu adalah benda kesayangan miliknya yang tidak ingin di pegang oleh siapapun.
"Maaf Pak. Ini amanah dari Bunda saya. Karena amanah wajib di jalankan. Jadi saya yang akan mengantarkannya pada Fara."
"Oke. Terserahmu saja. Jangan lupa apa yang saya bilang tadi."
"Insya Allah Pak."
Lalu Afrah melenggang pergi menuju rumah Fara. Akupun hanya terdiam menatap kepergiannya.
****
Aku mendatangani sebuah berkas penting. Sebuah kerja sama untuk penyiaran stasiun televisi islami dengan Pak Lana yang ada di kota Aceh beberapa bulan yang lalu. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 10.00 pagi.
Pintu terketuk lalu sedikit terbuka. Aku menoleh ke pintu dan ada Fara disana berdiri dengan sopan dengan pakaian formalnya. Rok panjang hitam yang di padukan blazer berwarna pink dengan hijab manis yang senada dengan warna blazer nya.
"Asalmualaikum Pak. Apakah saya mengganggu?"
"Wa'alaikumussalam. 10 menit untukmu."
Lalu aku kembali mencatat sesuatu di berkas penting yang ada dimeja ku sejak tadi. Langkah Fara terdengar memasuki ruanganku dan berdiri didepanku.
"Ini Pak. Laporan keuangan bulan ini. Kata Ibu Silvia Bapak mau lihat secara langsung."
Aku menatap Fara. Wajah Fara yang memang cantik dan senyuman manisnya. Aku menerima berkas itu dan mulai mengecek keuangan perusahaan yang stabil dan meningkat di tiap bulannya. Fara adalah bagian administrasi keuangan di perusahaanku ini.
"Cantik. Saudara Bapak?"
Aku terkejut ketika tiba-tiba Fara berucap seperti itu. Aku menatap Fara yang kini menatap sebuah bingkai kecil berukuran 4R di samping vas bunga meja kerjaku.
"Bukan."
"Lalu?"
"Calon istri saya."
"Masya Allah. Cantik. Tapi dia kemana Pak? Kok saya tidak pernah li-"
"Sudah meninggal. 5 tahun yang lalu." ucapku tanpa basa-basi.
Seketika suasana menjadi canggung. Aku menutup berkas laporan keuangan perusahaanku lalu mengembalikannya pada Fara.
"Ini. Terima kasih atas laporanmu hari ini."
"Sama-sama Pak. Permisi. Asalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Aku beralih membuka laptopku. Mengecek email penting dari salah satu klien penting. Ntah kenapa perasaanku jadi tidak enak setelah Fara menanyakan tentang almarhum Devika. Secara tidak langsung konsentrasi bekerjaku hilang karena lagi-lagi teringat Devika dan masalalu cinta pertamaku.
"Pak. Em maaf. Boleh tanya sesuatu?"
Ya Allah. Aku pikir Fara sudah benar-benar pergi. Ternyata dia masih saja disini. Sebenarnya mau dia apa?
"Silahkan." ucapku tak perduli dan masih saja menatap laptopku.
"Sekarang saya paham mengapa Bunda dan Ibu saya mendekatkan kita berdua."
Aku menghentikan jari-jariku diatas keyboard. Lalu beralih menatap Fara. "Apa maksudmu Fara?"
"Foto almarhum calon istri Bapak masih terpajang disana. Artinya Bapak belum bisa move on. Apakah saya benar Pak?"
"Iya kamu benar." ucapku akhirnya.
Padahal sebenarnya ini jam kerja. Fara sudah bertanya diluar dari topik pekerjaan. Tapi setelah saling mengenal satu sama lain beberapa Minggu ini, aku rasa Fara adalah sosok wanita yang bisa di ajak berbincang dan berbagi cerita.
Bahkan kalau boleh jujur, dia terlihat tidak berharap apapun dariku. Apalagi soal hati. Menurutku begitu.
"Belum bisa lupain dia. Terbelenggu oleh masalalu yang kelam. Move on? Ya aku tahu. Tapi tidak semudah yang kamu pikirkan."
"Lalu?"
"I'm fine. Oke? Don't worry about me."
"Why?"
"Karena Allah belum kembali mempertemukanku dengan sosok wanita yang lebih baik dari sebelumnya."
Dan Fara akhirnya terdiam. Kami saling bertatapan dalam jarak beberapa meter walau hanya seperkian detik. Fara pun akhirnya tersenyum tipis.
"Oh gitu ya Pak? Yaudahlah Pak semangat. Supaya suatu saat bisa move on. Kalau bisa jangan lama-lama. Nanti Bunda bisa marah sama bayi besarnya yang sulit move on."
Seketika Fara tertawa. Dan lagi.. hanya melihat senyum Fara aku terhibur. Si periang itu terlihat santai seolah-olah tidak memiliki beban hidup.
Aku berdiri dari dudukku. Lalu aku bersedekap menatapnya sambil menyenderkan pinggulku di pinggiran meja kerja.
"Saya tidak menyangka Bunda segitu terniatnya sampai bilang ke kamu tentang saya."
"Soal?"
"Bayi besar. Dua kata itu yang selalu diucapkan kesaya."
Fara memeluk berkas laporan keuangan yang ia pegang. "Tapi saya minta maaf ya Pak. Sudah bertanya urusan pribadi Bapak. Tidak seharusnya kita berbicara tentang hal itu apalagi dilingkungan kantor."
"Tidak masalah. Terkadang saya butuh teman untuk berbicara."
"Tapi tidak gratis Pak. Traktir saya dong! Makan siang di restoran Bapak waktu itu. Alhamdulillah, enak banget! Saya jadi ketagihan loh Pak."
Aku terkekeh geli sambil menggelengkan kepalaku. Fara memang teman yang baik. Sampai akhirnya aku tidak pernah terpikir untuk menjauhkan dia dari diriku
Selagi belum mengarah ke jenjang yang lebih serius.
"Pak."
"Ya?"
"Jangan di paksain kalau memang Bapak.."
Fara terdiam. Seperti menahan sesuatu agar tidak salah berbicara.
Aku mengerutkan dahiku bingung.
"Kenapa Fara?" tanyaku hati-hati.
"Em, maksud saya. Jangan dipaksakan kalau Bapak tidak suka sama saya."
Aku terdiam selama beberapa detik. Fara tersenyum lagi kearahku.
"Saya tahu bagaimana rasanya sulitnya move on Pak. Dulu saya pernah mengalaminya. Tapi dari semua itu saya belajar kalau saya tidak boleh berharap apapun sama pria lain."
Aku melihat Fara seperti punya masalalu patah hati. Rupanya dia sama sepertiku. Sama-sama pernah mengalami kesedihan cinta.
"Tapi saya akan menunggu pria tersebut. Seorang pria yang nantinya di takdirkan Allah untuk saya Pak."
Aku mengangguk. "Kamu harus sabar."
"Iya Pak. Insya Allah. Aduh kok melow gini ya?" Fara tertawa. "Yaudah Pak. Kali ini saya benar-benar pergi. Jangan lupa traktirannya ya Pak. Saya pergi dulu. Asalamualaikum."
"Wa'alaikumsallam."
Aku menatap kepergian Fara. Ntah kenapa aku merasa nyaman setelah berbincang dengannya. Akhir-akhir ini dua wanita sekaligus terpikir dalam benakku.
Afrah yang penuh misteri dan Fara, teman wanita yang menjadikanku tempat berbagi cerita.
****
Nah loh, Fikri mulai gak fokus sama satu wanita