11. Bad day on Happy day

1167 Kata
    “Kau yang terakhir.     “Letty, menunduk ….”     “Terlambat!”     DORR …. ________________________________________     “Letty …!” teriak Chester. Dengan cepat dia melepas seatbelt yang melilit di tubuhnya lalu berlari menghampiri Letty.     "Haruskah kau menggunakan senjata untuk membunuh seekor kucing?”     Langkah Chester terhenti. Dia mendongak. Tampak tercengang ketika matanya menangkap apa yang sedang terjadi di hadapannya.     “Oh my …,” gumam Chester. Mulutnya menganga melihat tangan Letty yang terangkat sedang tangan kanan pria yang memegang pistol itu tertahan di udara. Pelurunya malah mengenai temannya yang tiba-tiba berdiri di hadapan Letty dan menghadang peluru yang hendak di tembakan pada Letty hingga peluru itu mengenai dadanya.     “What are you doing to me, damn it!” umpat pria itu. Tangannya tidak bisa di gerakan. Wajahnya pucat saat melihat tubuh temannya yang mematung dengan darah yang keluar dari dadanya. “Sialan, sebenarnya siapa jalang itu?” batinnya.     Letty terkekeh lalu mendecih dengan kuat. Dia berdiri. Menepuk lututnya yang lalu mengibaskan tangannya.     “Kubiarkan kau selamat. Jika bisa, ayo laporkan aku. Aku yakin polisi akan membantumu dengan senang hati. Tapi, jika selanjutnya aku melihatmu …,” Letty berjalan menghampiri pria itu. Lutut pria itu bergetar sementara tangan kanannya mulai mati rasa. Dia mendongak menatap Letty. “Kupastikan akan menulis namaku dengan darahmu,” lanjut Letty.     Gadis itu sungguh tak mengerti apa yang terjadi dalam dirinya. Dia menganggap sedetik yang lalu hanya mencoba memerintahkan pria yang sedang mengunci tangannya untuk melepaskan tangannya dan berdiri dengan cepat di depannya. Dadanya berdebar dan dalam hati dia hanya ingin menghabisi mereka. Sesuatu seolah membludak di dalam darahnya, menjalar ke seluruh tubuhnya dan akan berakhir jika tangannya berhasil mematahkan anggota tubuh pria-pria itu. Terlebih, Letty baru menyadari sesuatu. Sesuatu yang jauh lebih besar dari pada mematahkan anggota tubuh lawannya. Sesuatu yang bisa membuatnya menarik tali kendali dan membuatnya bisa berkuasa dalam sekejap mengambil alih tubuh seseorang hanya dengan sebuah sugesti.     “Jadi, seperti ini cara melakukan telepati, hah?” batin Letty.     “Kau tekejut?” sahut Chester dari jarak yang masih terbilang jauh dari Letty.     “Well, ku pikir aku hanya bisa mendengar perkataan orang lain tapi, ternyata aku juga bisa memerintahkan mereka melakukan yang ku mau. Ah …, aku menyesal telah mengotori tanganku untuk membersihkan tikus-tikus ini. Jika kutahu, harusnya sejak tadi kubuat delusi agar mereka bisa saling membunuh. Mungkin itu akan lebih menghiburmu.” Letty masih membatin. Dia dan Chester sedang berbicara menggunakan telepati.     Chester terkekeh. Dia menggeleng sambil menepuk-nepuk tangannya dengan dramatis. “Empat menit, dua belas detik,” ucap Chester.     Letty berbalik. Memutar tubuhnya. Berjalan dengan penuh rasa percaya diri ke arah Chester. Sebuah seringaian menyertai decihan di bibir manisnya. Untuk pertama kalinya Chester Peterson melihat majikannya berkelahi dengan penjahat jalanan. Dalam hati dia masih terkagum-kagum memuji betapa hebatnya Letty yang mampu mengalahkan tujuh orang pria berbadan kekar hanya dalam hitungan menit.     “f**k …! those damned men ruined my happy day,” gerutu Letty. Dia melipat kedua tangannya saat kakinya berhenti tepat di depan Chester.     “No, it's not over yet. Mau ku tunjukan sesuatu yang bisa mengembalikan mood-mu?” tanya Chester.     Letty hanya mendengus sambil melayangkan tangannya ke udara. “Haruskah kita mencari club terdekat? Sepertinya tenggorokanku merindukan Irish bomb,” ucap Letty.     Chester tertawa kecil lalu meraih tangan Letty. Dengan gentle, Chester membukakan pintu untuk Letty.     “Apa ini?” Letty memekik sambil menaikan setengah alisnya saat Chester malah membawanya ke kursi penumpang.     “Aku tidak ingin majikanku menyetir untukku,” ucap Chester. Letty memutar bola mata dengan malas. Namun, sedetik kemudian dia akhirnya menyerah dan melempar bokongnya ke kursi penumpang. Chester tersenyum lalu dengan cepat dia berlari ke kursi pengemudi.     “Mood-ku benar-benar rusak total. Aku butuh alkohol. Jam berapa sekarang,” tanya Letty.     Chester mengulum bibirnya. Memutar tangannya agar dia bisa melirik jam tangannya. “Empat dua lima.” Mata Chester sontak membelalak saat menyadari sesuatu. “Kita harus kembali sebelum pagi,” ucap Chester. Dengan panik dia bergegas menghidupakan mesin mobil.     Letty memalingkan wajahnya menatap Chester dengan tatapan sinis. “Jika kau berani putar balik, ku giling kau dengan mobil ini,” kecamnya.     Chester sontak menginjak rem saat mobilnya baru berjalan beberapa inci.     “Irish bomb. Lalu, cepat temukan spot untuk melihat sunrise.” Letty mendengus sambil membawa tangannya memijat kepalanya. Moodnya benar-benar rusak hingga dia perlu angin segar dan koktail untuk menjernihkan pikirannya. “Tunggu apa lagi ?!” pekik Letty.     Chester menarik napas dalam. Menggeleng pasrah sambil tangannya kembali memutar kunci mobil. “Apa pun untukmu, nyonya muda.”           *****     “Ah ….”     Letty tampak begitu menikmati koktailnya. Chester berhasil menemukan bar di Pennsylvania. Dia langsung memesankan Irish bomb untuk Letty sementara dirinya lebih menyukai snakebite.     “Beri aku shandy,” ucap Letty setelah meneguk habis koktailnya.     “Kau haus?” tanya Chester.     Letty menggeleng. “k*****t-k*****t itu benar-benar merusak suasana hatiku. Aku sedang berusaha mengembalikannya,” ucap Letty.     “Minuman anda, nona.”     Letty kembali meraih seloki keduanya. Tanpa menundanya, Letty langsung meneguk minumannya.     “Four score,” ucap Letty sambil menaruh kembali selokinya. Bartender mengganti seloki Letty dengan brandy snifter saat menyajikan pesanan Letty.     “Marthini please,”     “Wait.” Chester menahan tangan Letty yang hendak meneguk alkoholnya.     “What the hell, you do it.”     “Tidak. Sisakan kesadaranmu untuk melihat matahari terbit.” Chester lalu menarik brandy snifter di tangan Letty, menaruhnya di atas meja lalu menarik tangan Letty.     “Ah, aku masih ingin minum.” Letty mencoba menghempaskan tangan Chester.     “Oke baik, tapi janji ini yang terakhir, oke?”     Letty terkekeh di depan wajah Chester. Pipinya memerah oleh karena pengaruh alkohol. Sepertinya alkohol yang di teguknya sejak tadi mulai menguasainya. Tubuhnya mulai terasa panas namun, tenggorokannya seolah berteriak meminta koktail selanjutnya.     “Lihat tingkahmu sekarang,” Letty melayangkan tangannya di depan wajah Chester. “Beginilah seharusnya dirimu, hah? Sesekali bicaralah dengan santai. Aku benci saat kau selalu membungkuk dan memanggilku nyonya muda,” ucap Letty dengan sendawa yang tiba-tiba saja keluar dari bibirnya.     Chester menarik napas panjang. Dalam hati dia begitu gelisah memikirkan bagaimana cara membawa pulang majikannya. Dia tidak berani melihat ponsel. Jantungnya mulai berdegup kencang saat memikirkan seperti apa raut wajah Fredrick ketika tahu jika putrinya mabuk bersama dirnya.     “Oke …,” Chester meraih tangan Letty. Menjauhkan gelas brandy itu dari tangan Letty.     “Cade…,” keluh Letty.     “Kau sudah berjanji kalau yang barusan adalah gelas terakhir. Sekarang ayo ikut aku, matahari akan terbit sebentar lagi,” ucap Chester. Dia mengeluarkan beberapa lembar dolar dari dompetnya untuk di berikan kepada bartender. Kemudian, Chester membawa Letty yang mulai bertingkah konyol itu keluar dari bar.     “Where we going?” tanya Letty. Matanya mulai sayu dan pipinya benar-benar merah. Sepertunya alkohol sudah sangat bereaksi padanya. Dia hampir kehilangan kontrol dan Chester harus bergerak dengan cepat.     “Will see the sunrise,” jawab Chester. Dengan hati-hati Chester membawa Letty kedalam mobil. Dia berlari ke arah seberang. Dengan buru-buru menyalakan mesin mobil lalu menjalankannya.     Chester begitu bingung. Tidak mungkin dia membawa Letty kembali ke New York. Sudah pasti Fredrick akan langsung memenggal kepalanya. Bahkan jika dia selamat dari Fredrick, saat Letty sadar dia akan mengamuk dan mungkin memenggal tubuhnya saat salah satu permintaannya tidak terpenuhi.     “Kemana aku harus membawamu, hah?” gumam Chester. Sesuatu terlintas di kepalanya saat melewati sebuah bangunan bertingkat nan mewah di kawasan Hersheypark. Dia memalingkan wajah ke samping mendapati majikannya tengah tertidur. Chester berdecak. “Tidak ada pilihan lain,” gumamnya lagi kemudian membelokan setir mobil memasuki bangunan mewah di depannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN