"Bagaimana? kau suka?"
"That was so beautiful," ucap Letty. Mereka berada di rooftop. "Rumahmu sangat besar Alexander. Aku tidak yakin bisa mengelilingi rumahmu dalam sehari,"
"Kalau begitu kau bisa tinggal lebih lama," ucap Alex spontan.
Letty memalingkan wajah pada pria di sampingnya. Lalu dia menggeleng pelan. Tapi di sisi lain, gadis itu tidak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya. Entah mengapa dia makin betah berada di dekat pria yang beberapa saat yang lalu telah mencuri ciuman pertamanya. Letty juga harus ingat jika Alex sangat membenci Fredrick Van Der Lyn. Namun, semakin dipikirkan, Letty jadi semakin tidak bisa membohongi perasaannya jika dia makin menyukai pria yang sedang berdiri sambil menatap dirinya.
Alex memutar tubuhnya menghadap Letty. Dia membawa siku tangannya bersandar pada pagar pembatas beton. Pemandangan di sampingnya lebih menarik perhatian ketimbang pemandangan di bawah sana.
"Kenapa kau sangat cantik?" ucap Alex. Letty mengerutkan dahi lagi.
"Ayolah, berhenti membual,"
"Aku tidak membual. Aku bersungguh-sungguh. Kenapa kau tidak pernah mau percaya padaku. Kau juga harus tahu jika kau adalah gadis pertama yang kubawa harus kesini," ucap Alex. Letty memanyunkan bibir.
"Bagaimana aku bisa percaya padamu,"
"Kau bisa bertanya pada Nancy atau pada ibuku."
Letty berusaha keras menyembunyikan senyum di wajahnya. Dia memang sudah tahu bahwa dialah satu-satunya gadis yang di bawah Alex ke rumah mewahnya. Letty tidak munafik, dia sangat senang mengetahui hal itu.
Alex merapatkan dirinya lagi. Dia meraih tangan Letty lalu mengecupnya. Alex ingin sekali mengecup bibir merah muda itu namun, dia takut jika kali ini Letty benar-benar akan menamparnya. Namun, berbeda dari sebelumnya kali ini Letty membiarkan Alex mengecup punggung tangannya.
'Bagaimana aku harus menanggapi perasaan ini, Alex? Aku menyukaimu tapi, bisakah kita bersama? Lagi pula dengan identitas ini, aku bisa apa? Bagaimana perasaanmu nanti jika kau tahu siapa diriku sebenarnya. Bagaimana tanggapanmu saat tahu bahwa aku anak dari pria yang paling kau benci?' Batin Letty berusaha memperingatkan dia.
****
Waktu bergulir cepat. Tanpa terasa, siang sudah berganti malam. Alex dan Letty menghabiskan senja di rooftop hingga tiba saatnya makan malam. Sesuai janji Emery, dia menyediakan makan malam spesial. Spesial karena dia sendiri yang turun ke dapur dan memasakkan makanan untuk Alex dan Letty.
Letty sangat menikmati kehangatan di rumah ini. Emery benar-benar sangat ramah. Dia mengingatkan Letty pada ibunya Elena. Mereka menikmati makan malam dengan obrolan ringan. Sesekali Emery menceritakan kisah lucu Alex dan membuat Letty tertawa.
Makan malam telah berakhir. Alex memilih untuk kembali ke kamarnya. Dia butuh mandi. Kemudian Emery mengajak Letty ke ruang tengah. Emery tampak sibuk mengeluarkan beberapa album foto lalu di bawanya kepada Letty. Mereka mulai membuka lembar demi lembar album itu.
"Ini saat Alex mengikuti lomba piano. Dia suka sekali bermain piano. Dia dapat banyak penghargaan," ucap Emery sambil menunjukan foto di album yang sedang di pegang Letty. Letty tersenyum melihat wajah lucu Alex. Gadis itu kembali membuka lembar foto.
'Suaranya juga merdu.' Batin Letty.
"Kalau ini saat dia bermain saxophone," ucap Emery. Letty mengangguk lalu kembali membuka lembar selanjutnya.
Dia mengerutkan dahi saat melihat foto seorang remaja yang memakai seragam latihan ilmu beka diri judo. Tapi entah mengapa wajahnya murung.
"Ah ...." Emery meraih album itu. Dia mengusap satu lembar foto yang ada di lembaran itu. Raut wajahnya berubah. "Waktu itu Alex tidak ingin ikut pertandingan judo. Padahal dia sudah menekuni bela diri itu selama hampir dua tahun. Itu pun karena desakkan ayahnya." Emery mengulum bibir lalu menggelengkan kepala. Letty mengerti maksud perkataan Emery. Dia meraih kedua sisi lengan Emery dari samping lalu mengusapnya.
"Dia bilang jika dia tidak ingin berkelahi walau itu sebatas latihan. Dia benci melihat pertandingan olahraga yang mengadu kekuatan fisik. Tapi, ayahnya ...." Emery tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Dia menggeleng sambil mengulum kuat bibirnya.
'Sebenarnya, seberapa kejam Marthin Oliver itu?' Batin Letty.
"Dia menuntut Alex agar bisa bertarung namun Alex tetap bersih keras dan lebih memilih menghabiskan waktunya dengan bermain alat musik. Dia bahkan tidak perduli jika ayahnya pulang dan memukulinya. Aku tidak tahu bagaimana lagi caranya membuat ayah dan anak itu akur," tutur Emery.
Letty berusaha menenangkan Emery dengan terus mengusap lengan Emery. Letty tidak menyangka jika ternyata kehidupan Alex tidak jauh berbeda dengannya.
"Kadangkala orang tua berpikir jika mereka hanya ingin yang terbaik untuk anak mereka. Namun, di saat bersamaan, sebenarnya mereka sedang memaksa anak-anak untuk mengikuti kehendak mereka. Menekan jati diri para anak, bahkan kadang membunuh karakter mereka. Jika aku jadi Alex, aku tetap akan berada pada prinsipku. Dia benar, tidak seharunya semua orang saling mengadu kekuatan lewat fisik. Apa pun itu, walaupun alasannya untuk olahraga. Karena, seseorang yang hidup di arena bertarung akan memiliki insting berbeda dengan orang lain. Mereka akan terkesan agresif dan tidak bisa mengontrol emosi. Jadi, Alex telah membuat keputusan yang benar sejak dulu," tutur Letty.
Emery memutar tubuh menghadap Letty. Dia tersenyum lalu meraih tubuh Letty untuk memeluknya lagi. "Putraku sangat beruntung karena bertemu denganmu," sanjung Emery.
"Hei ladies," seru seseorang. Letty memutar tubuhnya. Matanya membulat saat melihat penampilan Alex. Hotpants dengan t-shirt tanpa lengan. Letty merasa mulutnya berair hingga dia perlu menelan ludah. Emery terkekeh kecil saat matanya sempat menangkap ekspresi yang di tunjukan Letty.
"Apa yang sedang kalian bicarakan,hah?"
Letty membuang muka saat dia sadar jika Emery tengah memperhatikannya.
"Darling, sepertinya kau juga butuh bebersih. Ayo, kuantar kau ke kamar tamu," ucap Emery. Mereka kompak berdiri tapi sebelum beranjak dari sana, Letty sempat melirik kecil ke arah Alex. Sayangnya Alex juga tengah menantikan tatapan itu jadi mereka saling mencuri tatapan sebelum akhirnya Letty melewati tubuh Alex.
"Kamarnya sudah siap, Nyonya," ucap Nancy.
"Terima kasih Nancy," balas Emery. Dia membawa Letty memasuki kamar tamu. "Kuharap kau akan sangat nyaman disini," ucap Emery.
"Terima kasih Nyona Oliver," ucap Letty. Emery mengangguk lalu dia meminta izin untuk meninggalkan Letty.
"Wow, kamarnya luas sekali," gumam Letty. Dia langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Setengah jam kemudian Letty keluar. Di atas ranjang ada sebuah dress kimono. Sepertinya kepala pelayan yang menyediakan ini sebelum mereka datang. Letty langsung melepas handuk dan bergegas menggantinya dengan kimono itu. Setelahnya, Letty beralih ke meja rias untuk menyisir rambutnya namun, sesuatu tiba-tiba terlintas di pikirannya.
"Ponselku," gumam Letty. Dia bergegas kembali ke ranjang untuk mengambil tasnya di sana. "Astaga ...." Letty berdecak kesal saat melihat ponselnya. Ada begitu banyak panggilan tak terjawab diikuti banyak pesan dari Scarlett.
Letty langsung menghubungi nomor Scarlett.
"Hallo, Letty?"
"Hai, Scar."
"Dimana kau?" tanya Scarlett.
"Scar, apakah kau bisa mengurusnya untuk malam ini? Aku punya banyak tugas kampus dan harus segera kuselesaikan," dusta Letty.
"Oke, baiklah. Jaga dirimu," ucap Scarlett.
"Kalian juga," balas Letty kemudian mematikan sambungan telepon.
"Hah ... sialan, aku harus rela melewatkannya untuk malam ini. Padahal ini kesempatan lagi untukku lebih mengenal sindikat itu," gumam Letty..
"Sindikat apa?"
Letty membulatkan mata saat mendengar suara barusan. Perlahan dia mulai memutar tumit. Betapa kagetnya Letty saat melihat siapa yang sedang berdiri sambil melipat tangan dan bersandar di tiang pintu.
"A- Alex?"
_________
To be continue ~