46. Let's Destroy Them

2091 Kata
London, England. ______________     "Ya, sebentar ...." Letty bergegas menuju pintu rumahnya. Dia sempat berhenti untuk melihat jam dinding. "Sialan, pukul tujuh pagi. Siapa yang bertamu sepagi ini. Chester? Scarlett? Tidak mungkin. Mereka tahu hari ini hari libur dan aku tidak bekerja di hari minggu," gerutu gadis itu.     Dia berdecak kesal lalu akhirnya meneruskan perjalanannya menuju pintu rumah. Letty menggeram saat orang di luar tidak mau berhenti menekan bel pintu.    "Iya ... kubilang seben-" ucapan Letty terhenti saat dia melihat siapa yang sedang berdiri di depan pintu rumahnya.    "Good morning," ucap orang itu. Dia tersenyum.    "Kau?" Letty mengerutkan dahi. Dia agak terkejut saat melihat siapa yang sejak tadi membunyikan bel rumahnya tanpa henti. "Alexander Oliver, apa kau tidak punya pekerjaan lain selain mengganggu pagiku?" ucap Letty dia melipat tangan di d**a sambil bersandar ke tiang pintu.    Alex mengulum senyum. Dia mengangkat tangan yang memegang iPad lalu sebelah tangannya lagi memegang sebuah buku. Tebalnya sekitar dua puluh senti. Letty langsung memutar bola mata sambil menghembuskan nafas kasar.     "Manajemen keuangan, mata kuliah wajib," ucap Alex.     Letty menggeram. Mood-nya benar-benar sedang tidak ingin bertemu dengan segala t***k-bengek pelajaran kampus. Dia hanya ingin bersenang-senang hari ini. Lagi pula di dalam sedang ada tamu.     "Bisakah kita bicarakan ini besok? Di kampus?" ucap Letty.      Alex menggeleng. Tanpa permisi dia langsung melangkah, melewati Letty yang sedang mematung di pintu rumahnya.     "Hei ...." Letty berseru, lalu akhirnya memutar tumitnya. Alex tidak menggubris sama sekali. Dia terlihat asik memperhatikan setiap sudut rumah Letty.     "Wow ...." Tatapan Alex tertuju pada mini bar milik Letty. Matanya membesar saat melihat deretan minuman beralkohol yang terpajang di rak-rak mini itu. "Wow apa itu Macallans?" tunjuk Alex pada salah satu merek malt whisky yang terpajang di mini bar Letty.    Letty mendengus. Dia memutar bola mata lalu berjalan menghampiri Alex. Alex tidak tinggal diam. Awalnya dia tercengang saat melihat deretan minuman mahal di mini bar Letty namun kini dia jadi sangat penasaran. Tanpa permisi, Alex langsung menghampiri mini bar Letty.    "Wow, kau punya banyak sekali koleksi minuman, nona Murphy," ucap Alex.   Letty akhirnya menyusul Alex. Dia duduk di salah satu booth sementara Alex mengambil salah satu vermouth lalu membawanya ke meja. Dia meraih sebuah seloki yang di pajang di ujung meja dan mulai menuangkan Martini ke seloki lalu meneguknya.    Letty hanya menontonnya. Entah mengapa Letty jadi tidak ingin mengedipkan matanya. Manik matanya terlalu fokus pada tenggorokan Alex. Jakunnya bergerak menimbulkan bunyi yang membuat Letty harus rela menelan salivanya.     "Ehem!" Letty memalingkan wajah saat dia sadar jika dia tengah memuji Alex didalam hatinya.     "Well, boleh juga," ucap Alex lalu menaruh seloki kosong itu di atas meja. "Oh," Alex menaikkan kedua alisnya saat dia ingat tujuannya untuk kemari.    "Ini," Alex mendorong buku tebal di atas meja ke arah Letty.    Letty berdecak kesal. "Aku benar-benar sangat tidak ingin membuka buku apa pun hari ini, Alex. Lagi pula ini hari minggu, biarkan aku sedikit bersantai," keluh Letty.    Alex mengulum bibir sambil mengangguk pelan. Kemudian dia menaikkan kedua bahu. "Oke ... kalau begitu biarkan aku menghiburmu," ucap Alex. Letty mengerutkan kening. Dilihatnya tangan Alex kembali bergerak meraih seloki di ujung meja.   Alex berjalan. Dia keluar dari mini bar dan langsung menghampiri Letty. Dia duduk di booth depan Letty. Menuangkan Martini ke dalam gelas lalu memberikannya pada Letty.    Letty mengerutkan dahi sambil menatap Alex. Lalu Alex memberi isyarat dengan matanya agar Letty segera mengambil seloki itu dari tangan Alex.    "Ini masih terlalu pagi untuk minum alkohol," ucap Letty. Dia kembali menatap Alex. "Ck!" Mata Alex terlalu memaksanya. Tidak ada pilihan lain bagi Letty selain menerima gelas kecil itu.     "Kau mau jalan-jalan?" tanya Alex.     Letty menarik napas panjang. Dia membawa tangannya ke belakang lalu bersandar pada meja bar. Letty memang berencana untuk keluar hari ini. Dia bahkan hendak menelepon Chester tapi, sepertinya Letty menemukan seseorang yang pas untuk diajak hangout.      "Well, kau berhutang makan malam denganku, by the way," ucap Alex lagi.     Letty memalingkan wajah menatap Alex. Dia terekekeh kecil. Sedikit merasa senang sebab ternyata Alex masih mengingat janji makan malam itu.     "Well ... sepertinya tidak ada jalan lain selain menerima ajakanmu," ucap Letty. Mereka tersenyum bersama.     "Cheers?" tanya Alex sambil mengangkat selokinya. Letty tersenyum lalu mengangkat gelasnya untuk menyambut gelas Alex. Mereka bersulang. "Well, sepertinya aku harus memulainya dari awal." Alex turun dari booth-nya. Dia menaruh seloki di atas meja bar, kemudian dia berdiri di depan Letty. Sementara Letty masih menikmati martini-nya. Letty mengerutkan kening saat melihat Alex begitu sibuk menyeka tangan kanannya di baju. "Kau sedang apa?" tanya Letty. Alex mendongak lalu mengulurkan tangannya. "Hai, namaku Alexander. Panggil aku Alex," ucap Alex. Letty mengerutkan dahi. "Apa-apaan kau," sinis Letty. Alex tidak berusaha membalas ucapan Letty atau pun membantahnya. Dia hanya terus menatap Letty. Menunggu gadis itu untuk kembali memalingkan wajah padanya. Letty masih terus mempertahankan gengsinya. Menatap ke samping mungkin ide yang baik, tapi nyatanya Letty tetap penasaran. Dia pun memutar wajahnya kembali menatap Alex. Alex masih pada posisi mengulurkan tangan di depan Letty. Letty menghembuskan napas berat namun akhirnya dia meraih tangan Alex. "Letty Murphy," ucap Letty. Alex tersenyum. "Miss Murphy, maaf ketika pertemuan pertama kita aku sempat membuatmu kagum," ucap Alex. Letty yang awalnya mulai tersenyum kembali mengerutkan kening. "Kagum?" ulang Letty. Alex mengangguk. Mereka masih berpegangan tangan. "Ya. Maaf karena kau harus terganggu oleh pesonaku," ucap Alex sangat confidence dengan kalimatnya. "Cih ...." Letty menggeleng pelan. "Benar-benar arogan," gumam Letty. "Arogan adalah hak mutlak seorang lelaki, nona Murphy." "Ohya?" "Ya. Jika seorang lelaki yakin akan segala sesuatu yang ada padanya, dia pantas menyombongkan diri," ucap Alex. "Wow, filosofi yang indah tuan Oliver, sepertinya kau bisa mulai menulis filsafatmu," ucap Letty sarkastik. Alex tersenyum. "Tapi, aku akan lebih senang jika menulis tentang dirimu," goda Alex. Letty hampir tersedak oleh minumannya. "Oh ... look, how cute you are ...." Seseorang bersuara. Sontak membuat Letty menarik tangannya dari genggaman tangan Alex. Alex berbalik. Dia penasaran dengan suara itu. Seorang wanita yang hanya memakai bathrobes berwarna merah. Dia tengah asik memandang Letty dan Alex sambil melipat tangan di d**a dan bersandar pada pintu kamar tamu. Alex kembali memutar wajahnya pada Letty. "Who's that girl?" tanya Alex sambil mengerutkan keningnya. "Oh, Alex kenalkan dia Jo," ucap Letty. Alex kembali memutar lutut. Dia menatap Jo, yang berjalan dengan gaya seperti rol model yang tengah berjalan di atas karpet merah. Pelan, sambil terus memperlihatkan lekuk tubuhnya yang di balut kain sutra merah itu. Letty mengerutkan kening. Matanya mengecil saat melihat bagaimana kontak mata antara Alex dan Jo. Dua orang di sampingnya seolah tak ingin melepas tatapan satu sama lain. Jo tepat berada di depan Alex. Mereka masih saling bertatap tanpa berniat memulai perkenalan. Tangan Jo terangkat, bergerak perlahan. Dia bahkan dengan berani mencodongkan badannya kedepan membuat Alex harus rela memundurkan tubuhnya. Jo terkekeh saat tangannya berhasil meraih botol Martini di belakang Alex. Dia membuka penutup botol dan langsung meneguk minuman itu dari botolnya langsung. "Hai, namaku Jo," ucap Jo sambil mengulurkan tangannya. Alex menyambut tangan itu tanpa ragu. "Alex," ucapnya. Alex lalu dengan sengaja mengecup punggung tangan Jo. "What the hell ...," gumam Letty. Dia memutar bola mata sambil melayangkan tangan ke udara. Sesuatu dalam dirinya seolah tak terima dengan apa yang baru saja dia lihat. Alex menangkap sesuatu lewat manik matanya. Dia menahan tangan Jo untuk lebih memperhatikan sesuatu yang ada di punggung tangan Jo. Alex kembali mengerutkan kening. "Dari mana kau dapat tato ini?" tanya Alex. Matanya mengecil meneliti manik mata Jo. Jo mengikuti arah tatapan mata Alex. "Oh," Jo menarik tangannya dari tangan Alex. "Tentu saja dari tempat membuat tato," ucap Jo santai. Alex menggeleng. Matanya kembali menatap sesuatu lalu dengan cepat dia menyibakkan kerah baju Jo dan sontak membuat dadanya terekspos. "Hei, what the f**k!" Jo memekik. Keningnya mengerut dan matanya menatap Alex dengan tatapan tajam. "Apa yang sedang kau coba lakukan Alex?" tanya Letty. Dia juga ikut terkejut saat melihat bagaimana cara Alex menarik kerah baju yang di kenakan Jo. "Dari mana kau kenal wanita ini, Letty?" tanya Alex. Dia berbalik menghadapkan tatapan awas pada Letty. Letty mengerutkan kening lalu perlahan mulai menggerakkan bola matanya menatap Jo. Jo masih terlihat sangat kesal. Letty bisa melihat kepalan rangan Jo yang siap mendarat di wajah Alex sebentar lagi. "Di, dia ... Dia, temanku dari New York," dusta Letty Alex menggeleng pelan. "Aku tidak yakin jika dia dari New York," ucap Alex. Tubuhnya berputar perlahan dan kembali menatap Jo. "Aku kenal simbol itu, Shin Hebi, sang pengendali, si ular. Sebuah simbol yang di pakai sesama anggota." Alex menarik dirinya. Manik matanya semakin tajam menyelidik wajah Jo. Sementara Letty tidak ingin melakukan apa-apa. Dia bisa saja membunyikan jarinya dan membuat ilusi untuk Alex tapi, Letty sangat penasaran. Dia baru tahu jika Alex ternyata mengerti dengan simbol-simbol yang hanya di pakai para anggota. Lalu sejauh mana Alex tahu tentang semua itu?" "Nona," panggil Alex. Dia berdiri dengan jarak yang sangat dekat dengan Jo. Sementara gadis itu terlihat santai. Dia bahkan melipat tangannya di d**a sambil mengangkat dagunya tinggi. "Kau pasti salah satu dari mereka, iya kan?" ucap Alex. Rahangnya mulai berubah, tegas dan keras diikuti dua tangannya yang perlahan mulai mengepal. Jo terkekeh sinis. "Hei gadis Inggris," Jo memalingkan wajahnya pada Letty. "Kau akan bertindak atau aku yang akan bereskan orang ini?" lanjut Jo. Alex langsung memutar tubuhnya. Dia menangkap sesuatu lewat ucapan Jo. "Apa maksudnya ini nona Mur—" ucapan Alex terhenti saat Letty berhasil masuk kedalam pikiran Alex dan menguasainya. Menciptakan ilusi seperti biasanya. Alex langsung terdiam. Dia mematung. "Wow ...." Jo berdecak kagum sambil menggelengkan kepalanya. Akhirnya sekarang Jo mengerti mengapa Tsukasa sampai takluk kepada gadis kecil di depannya. "Kau punya kekuatan luar biasa nona Inggris," ucap Jo. Dia berjalan. Memutari tubuh Alex sambil matanya memerhatikan bagaimana tubuh Alex yang membeku. Hanya ada hembusan napas dari Alex yang terdengar menggema di ruangan ini. "How do you do that?" tanya Jo. Dia masih menatap Alex dengan tatapan heran. "I don't know. Seseorang menyebutnya gifted," ucap Letty. Jo berdecak kagum lagi sambil menggelengkan kepala. "That was amazing," gumam Jo. "Well, sepertinya kita harus cepat membereskan ini Jo." Letty turun dari booth-nya lalu menaruh seloki ke atas meja. "Kau tahu yang harus kau lakukan, Chester akan menjemputmu sebentar lagi," ucap Letty. Jo menatap Letty sebentar namun dia masih tidak bisa melepas tatapannya pada Alex. Ini yang pertama kalinya bagi Jo. Melihat seseorang yang bisa dengan mudah mengendalikan pikiran seseorang, lalu menguasainya dan sanggup membuat orang itu tidak berkutik. Benar-benar luar biasa. "Jika kau punya kekuatan sebesar itu mengapa bukan kau saja yang masuk kedalam The Rebels dan menghancurkan mereka? Kau bisa menguasai Tsukasa dengan gampang, tapi kau tidak bisa mengatasi pimpinan The Rebels?" tanya Jo. Dia memutar tubuhnya lalu meraih salah satu booth. Dia duduk di sana sambil memangku salah satu kakinya. Jo kembali meneguk martini yang sejak tadi menganggur di tangannya. Letty menggeleng. Matanya hanya tertuju pada pria di depannya. Sejujurnya dia sangat tidak ingin melakukan ini, terlebih kepada Alex. Tapi, sepertinya Alex sudah tahu tentang dunia sindikat mafia dan itu akan berbahaya bagi Letty. "Dia tidak bisa di hadapi dengan ilusi. Bahkan Tsukasa juga begitu. Namun bedanya, Nate St. Jhon punya sistem keamanan yang canggih dan ratusan senjata di kastilnya. Aku bahkan sedikit ragu mengirimu kesana," tutur Letty. Dia memalingkan wajahnya menatap Jo. Jo terkekeh. Dia kembali meneguk Martini di tangannya. Kali ini dia melakukan one shoot. "Ahh ...," Jo mendesah saat bibirnya berhasil menghabiskan isi dari botol miras itu. Dia tersenyum pada Letty. "Nate akan senang saat bertemu denganku. Mungkin dia akan kuajak bernostalgia," ucap Jo. Letty tersenyum. "Itulah alasanku mengeluarkanmu dari tempat itu," ucap Letty. Ketika melihat Jo di markas Yakuza. Letty tahu jika Jo hanyalah seorang pelobi yang tersesat. Peraturan para mafia. Jika para Pelobi gagal melakukan negosiasi, mereka harus rela tinggal di kastil musuh dan melayani mereka layaknya tuan mereka. Jo adalah anak buah Nate St. Jhon, bertahun-tahun yang lalu, Jo menjadi pelobi untuk The Rebels namun negosiasi mereka di tolak. Jo di haruskan untuk bertarung, namun sialnya dia di kalahkan oleh anak buah Tsukasa. Jadi Jo harus bersedia mengabdi di kastil Yakuza selama hampir sepuluh tahun. Letty bisa melihat semua itu sejak pertama kali dia melihat Jo. Jadi, Letty memilih Jo untuk menjadi anak buah pertamanya. "Are you ready, Jo?" tanya Letty. "Never been this way before," ucap Jo. "Kau yakin tidak akan berhianat?" tanya Letty sekali lagi. "Seorang ninja tidak pernah berhianat, nona." Jo tersenyum kecil di akhir kalimatnya. "Well, let's destroy them."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN