AMI. 9 SIAPA DIA?

1011 Kata
Pagi ini, ruang makan rumah Al ramai oleh celoteh si kembar. "Mbak Janah sudah mau menikah hari Minggu ini. Jamilah happy sekali kakaknya ingin menikah. Kak Ami kapan dong menikah. Biar rumah kita ramai. Banyak keluarga yang datang." Pertanyaan dilontarkan oleh Zizi. "Masih lama," sahut Rahmi singkat. Al, dan Aya saling tatap, dan bertukar senyuman. "Kenapa masih lama sih? Cowok yang naksir sama Kak Ami banyak. Tidak boleh pacaran, jadi langsung menikah saja, Kak Ami!" ucap Zizi penuh semangat. "Menurut Zizi, dari semua pria yang naksir Kak Ami, yang mana paling Zizi sukai?" Tanya ibu Al, ditatap cucunya. "Siapa ya?" Zizi berpikir, sambil membayangkan satu persatu wajah pria yang ia tahu suka dengan Rahmi. "Siapa, Zi?" Aya ikut penasaran dengan jawaban putrinya. "Tidak ada, cowok yang keren di kampung ini dari keluarga kita semua. Paman Aay, Paman Aan, Om Ardan, keren semua. Cowok yang naksir Kak Ami masih kalah keren." Zizi mengangkat dua jempolnya, lalu mengarahkan kedua jempolnya ke bawah. "Seandainya di antara Paman Aay, Paman Aan, dan Om Ardan. Menurut Zizi yang mana paling cocok dengan Kak Ami?" Tanya Aya masih penasaran. "Siapa ya? Keren semua," ucap Zizi, setelah berpikir sejenak. "Menurut Ami, siapa yang paling keren?" Pertanyaan Aya ditujukan pada Rahmi. Tatapannya juga terarah pada Rahmi. "Semua keren, Kak Aya," jawab Rahmi dengan wajah merona. Rahmi merasa malu jodohnya jadi bahan pembahasan. Aya bertanya karena tadi malam, Vanda menelpon, menceritakan kejadian saat siang di rumah Asma. Tentang Ardan, dan Rahmi yang diberi waktu dua Minggu untuk berpikir. Aya cukup terkejut, karena Rahmi tidak bercerita apa-apa. Aya ingin menanyai Rahmi nanti saja, saat Rahmi sudah pulang dari kuliah. Untuk saat ini, Aya ingin menggoda sekalian memancing Rahmi saja. "Tidak ingin memilih salah satu," goda Al pada keponakannya. "Semua Abang Ami," sahut Ami. Wajahnya semakin merah saja. "Iya percaya," ujar Aya dengan senyum di bibirnya. Aya tidak ingin, Rahmi merasa tidak nyaman dengan apa yang baru saja mereka bicarakan. * Pulang kuliah, Rahmi menjalankan motornya santai saja. Ia sudah memasuki jalan yang menuju kampung mereka. Sebuah mobil menyalakan klakson, lalu berhenti di depan, untuk menghalang jalannya. Rahmi menghentikan jalan sepeda motornya. Ia menunggu dengan tetap duduk di atas motor saja. Seorang pria ke luar dari dalam mobil. Melihat pria itu, Rahmi tetap tidak turun dari atas motor. Ditatap Widodo yang berjalan semakin mendekat ke arahnya. Rahmi tidak gentar, karena sejak SD ia belajar bela diri, seperti keturunan keluarga Ramadhan juga. "Katakan, apa kurangnya aku sehingga kamu menolak aku, Ami?" Widodo memegangi stang motor Rahmi. Tatapan tajam di arahkan pada Rahmi. "Bukannya Mas Wid sudah pernah bertanya tentang ini, dan sudah saya jawab juga," sahut Rahmi. Dibalas tatapan Widodo. Rahmi mulai merasa kesal dengan sikap Widodo yang tidak bisa menerima penolakannya. "Lihat aku, Ami, di mana kurangnya. Kamu harusnya bersyukur, karena aku menginginkanmu." Widodo merentangkan kedua tangannya, lalu mempertontonkan otot di balik kaosnya yang ketat. Sebenarnya Rahmi ingin tertawa, melihat gaya Widodo yang persis iklan saja, namun Rahmi menahan tawanya, karena tidak ingin Widodo bertambah marah kepadanya. "Mas tidak punya kekurangan, tapi perasaan tidak bisa dipaksakan." Rahmi berusaha tetap sabar menghadapi Widodo. "Siapa yang kamu cintai, Ami?" Widodo belum juga puas dengan jawaban Rahmi. "Tidak ada. Saya tidak bisa menerima Mas, bukan berarti saya jatuh cinta pada orang lain." Kepala Rahmi menggeleng. Sesekali ia menatap orang yang berlalu lalang sambil memperhatikan mereka. Ada rasa malu di hatinya, saat orang-orang itu memperlihatkan mereka. "Sebaiknya Mas meneruskan perjalanan, karena saya ingin cepat sampai di rumah. Lagipula, tidak baik kalau kita jadi pusat perhatian orang." Rahmi berusaha membujuk Widodo agar menyingkir dari hadapannya. "Aku minta kejelasan darimu, Ami!" "Kejelasan apa lagi, Mas. Semua sudah jelas, saya tidak ingin menikah dengan Mas," jawab Rahmi masih bersuara lembut. "Alasannya itu apa, Ami!" Suara Widodo semakin meninggi. "Sudah saya jelaskan, saya tidak punya perasaan apa-apa kepada Mas Widodo." Rahmi mulai hilang kesabaran, karena Widodo tak paham juga. "Pasti kamu sudah punya calon, iya'kan? Aku benar'kan? Siapa dia? Sehebat apa dia?" Desak Widodo yang naik emosinya. "Tidak perlu orang hebat untuk menjadi suami saya, kalau hati saya sudah memilih dia. Tolong, Mas Wid. Biarkan saya pergi!" Suara Rahmi jadi ikut meninggi juga. Sebuah mobil berhenti di belakang motor Rahmi. Rahmi sangat tahu kalau mobil itu milik Ardan. Ardan ke luar dari dalam mobil. Ia berjalan mendekati Rahmi, dan Widodo. "Ada apa, Ami? Kenapa mengobrol di pinggir jalan seperti ini? Tidak malu dilihat orang?" Cecar Ardan tanpa basa basi. "Mas Wid ini keras kepala, Bang. Sudah berulang kali Ami tolak, dan sudah Ami jelaskan alasannya, tapi dia tetap ngotot ingin melamar." Rahmi menunjuk Widodo dengan dagunya. "Jangan keras kepala dong, Mas. Ami sudah menolak, sudah ada alasannya, kenapa masih memaksa." Ardan menatap tajam wajah Widodo. "Alasannya karena dia tidak punya perasaan padaku. Nah, aku ingin tahu, perasaannya itu untuk siapa? Biar aku tahu, apa lebihnya pria itu dari aku!" Widodo tetap ngotot. Widodo membalas tatapan tajam Ardan padanya. Rahmi sudah merasa sangat tidak nyaman, karena jadi perhatian orang yang berlalu lalang. "Kalau sudah tahu siapa pria yang disukai Ami, lantas Mas ingin apa?" Tanya Ardan menantang. "Aku akan memperbaiki diri, agar bisa seperti pria yang Ami sukai!" jawab Widodo mantap. Jawaban yang membuat Rahmi, dan Ardan jadi semakin kesal. 'Astaghfirullah Al adzim, ini orang kenapa bebal sekali ya. Bebal, atau oon, atau keras kepala, atau apa ya. Hah, Ami. Pria yang suka denganmu kenapa sikapnya minus sekali,' gerutu Ardan di dalam hati. "Maaf, Mas Widodo yang terhormat. Tidak ada tempat lagi di hati Ami untuk pria lain. Karena apa? Karena Ami akan segera menikah dengan pria itu. Pria yang Ami cintai, dan mencintainya." Ardan yang merasa kesal akhirnya menemukan cara, agar Widodo menerima kenyataan, dan segera berlalu dari sana. "Siapa dia!?" Widodo bertolak pinggang, dengan wajah sangar terbakar emosi. Tidak bisa terima kalau dirinya dikalahkan pria lain dalam mengambil hati Rahmi. "Ingin tahu?" Ardan bertanya dengan nada santai saja. "Cepat katakan siapa dia!?" Widodo memukul stang motor Rahmi. Widodo marah sekali, dan sangat tidak sabaran. "Dia ... dia ...." Ardan sengaja menggantung ucapannya, untuk mempermainkan perasaan Widodo. "Siapa!?" "Dia ...." Ardan menatap wajah Rahmi. Rahmi tampak tegang menunggu jawaban Ardan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN