AMI. 8 DALAM RASA BIMBANG

1131 Kata
Ami masih diam. Kepalanya tertunduk. Bingung dengan situasi yang ada saat ini. "Ami!" Ardan menyenggol lengan Rahmi. Wajah Rahmi terangkat. "Oh, maaf Acil Vanda, Nini Asma, Ami harus berpikir dulu. Beri Ami waktu untuk berpikir." Rahmi memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya. Vanda, dan Asma menghela napas kecewa, sedang Ardan merasa lega. Karena ia juga perlu waktu untuk berpikir lebih dalam. Bahkan kalau bisa ia ingin menolak saat itu juga. "Ya sudahlah, waktu kalian dua Minggu untuk berpikir, Ami, Ardan. Nini sangat mengharapkan kalian bisa menerima perjodohan ini. Nini masuk dulu." Asma berdiri dengan dibantu Vanda. "Amma juga masuk, kalian bicara saja berdua." Vanda menuntun Asma masuk ke ruangan dalam. "Bagaimana?" Ardan menatap Rahmi. "Abang bagaimana?" Rahmi balik bertanya. "Kamu mau tidak?" Tanya Ardan lagi. "Abang mau tidak?" Rahmi kembali mengembalikan pertanyaan Ardan. "Ini kita sedang membicarakan hal penting, tentang pernikahan." Ardan menatap Rahmi dengan mimik serius "Karena itu harus dipikirkan dengan matang. Ami pulang dulu." Rahmi berdiri lalu melangkah ke pintu diikuti oleh Ardan. "Kita harus bicarakan ini secara mendalam, Ami. Tidak bisa asal bicara saja. Karena ini menyangkut masa depan kita." Ardan mengantarkan Rahmi sampai Rahmi menaiki motornya. "Iya, salim!" Rahmi menyodorkan tangan, Ardan menyambut uluran tangan Rahmi. Dicium punggung tangan Ardan. "Ami pulang dulu, assalamualaikum." "Waalaikum salam," sahut Ardan. Ardan menatap Rahmi, yang meninggalkan halaman rumah. 'Ck, Nini ada-ada saja. Pernikahan itu untuk satu kali seumur hidup, masa asal pilih tanpa kenal lebih dekat. Eh, kurang dekat apalagi aku dengan Rahmi. Seperti kata Nini, dari Rahmi dalam kandungan aku sudah tahu dia. Arghh, Nini ... hatiku jadi gelisah kalau begini!' Ardan mengusap wajahnya, lalu masuk ke dalam rumah. Pintu kamar nininya terbuka. Ia bisa mendengar pembicaraan nininya, dan ammanya. "Sabar, Amma. Kita hanya bisa berdoa, agar Allah mendekatkan mereka, menjodohkan mereka. Kita tidak bisa memaksa, karena ini hidup mereka berdua. Mereka yang akan menjalani, dan merasakannya." Vanda mengusap lembut lengan Asma. "Aku tahu, Vanda. Apa yang aku lakukan hanyalah sebuah usaha. Jika Allah tak berkenan, mereka tidak akan dipersatukan. Hanya saja ada kecemasan yang aku rasakan. Aku takut Ardan salah memilih istri." Lirih suara Asma. Vanda menarik napas. Ia juga memiliki kecemasan yang sama, tapi Ardan sudah dewasa, tak bisa lagi ia terlalu ikut campur urusan masa depan putranya. "Aku juga ingin Ardan segera menikah, agar aku bisa merasakan dipanggil Nini seperti Rara, Amma. Tapi tak ada yang bisa aku lakukan, selain berdoa, agar jodoh putraku secepatnya datang." Vanda mengusap matanya yang basah. Ardan memejamkan mata. Ternyata begitu besar keinginan Nini, dan ammanya, untuk melihat dirinya menikah. Ardan melangkah menuju kamarnya. Sebenarnya di rumah nininya ini, hanya dirinya, dan nininya yang menempati. Karena ammanya tinggal di runah lain bersama abbanya. Sedang Andra, adiknya, tinggal di Jakarta bersama Revan, kakak ammanya. Ardan masuk ke dalam kamar. Ia duduk di tepi ranjang. Ia memikirkan, keputusan apa yang harus ia ambil. Namun keputusannya tentu harus sejalan dengan keputusan yang diambil Rahmi. * Rahmi tiba di rumah. Bi Bayah yang membukakan pintu. "Assalamualaikum," salam Rahmi. "Waalaikum salam," sahut Bi Bayah. "Nini, dan Kak Aya mana?" Tanya Rahmi, karena melihat keadaan rumah yang sepi. "Di kamar Nini," jawab Bi Bayah. Rahmi menuju kamar ibu Al. Pintu terbuka sedikit. Rahmi ingin mengetuk, tapi urung saat mendengar namanya disebut. "Itu hanya sekedar keinginan Ibu, Aya. Ami pasti memiliki keinginan sendiri. Mungkin dia masih ingin menyelesaikan pendidikannya dulu. Tidak usah bebani dia dengan keinginan Ibu." Terdengar suara nininya berbicara. "Aku hanya merasa gerah, dengan pria-pria yang mulai bersikap agresif mendekati Ami. Apa lagi si Widodo itu. Terlihat sekali kalau dia sangat ingin merebut hati Ami. Bang Al juga merasakan hal yang sama seperti yang Aku rasakan, Bu," ucap Aya. "Wajar kalau banyak yang mendekati. Meski Ami tidak sedarah dengan keluarga Ramadhan, tapi dia mirip kalian. Dia cantik, budi pekertinya baik, pintar memasak, ramah pada semua orang. Itu hasil didikan kamu, Aya." "Nanti kita bicarakan lagi hal ini ya, Bu. Ibu tampak lelah. Sekarang Ibu istirahat, tekanan darah Ibu sedang tidak stabil. Nanti diminum lagi obatnya, Bu." "Iya, terima kasih, Sayang." Ibu Al berbaring di atas tempat tidur dengan dibantu Aya. Sedang Rahmi meninggalkan depan kamar ibu Al, ia masuk ke dalam kamarnya, dengan perasaan tak menentu, setelah mendengar pembicaraan tadi. Keputusan harus segera diambil. * Rahmi baru selesai salat Isya, saat teleponnya berdering. Rahmi menatap layar ponsel, untuk tahu siapa yang menelepon. "Assalamualaikum, Mas Wid," sapa Rahmi lembut, meski ia merasa tidak nyaman bicara dengan Widodo. "Waalaikum salam. Sudah bicara dengan pamanmu?" Tanya Widodo langsung pada tujuannya. "Maaf, belum." Kepala Rahmi menggeleng, meski Widodo tidak berada di hadapannya. "Kenapa, Ami!?" Volume suara Widodo mulai meninggi. "Maaf, bukannya saya sudah menolak Mas Wid, kenapa Mas Wid masih saja mendesak. Tolong hargai keputusan saya," mohon Rahmi. "Kamu yang harus menghargai aku. Beri aku kesempatan untuk membuktikan, kalau aku bisa membuatmu bahagia!" Volume suara Widodo semakin meninggi. Rahmi menghela napas, bagaimana ia bisa percaya, belum jadi istri saja, Widodo sudah berani nyaris berteriak kepadanya. "Maaf, Mas. Pernikahan bukan untuk ajang pembuktian. Tapi ikatan suci, yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah. Sekali lagi mohon maaf, saya tidak bisa menerima keinginan Mas Wid. Selamat malam, assalamualaikum." Rahmi mematikan ponselnya. Ponselnya kembali bersuara. Dilihat nama yang tertera di layar ponselnya. Dari Widodo. Rahmi kesal ponsel terus bersuara, ia ingin Widodo tahu kalau ia akan memblokir nomer Widodo. "Tolong jangan ganggu saya lagi, Mas Wid. Mohon maaf kalau nomer Mas saya blokir!" seru Rahmi dengan nada kesal. "Hey!" Teriakan dari seberang sana bukan suara Widodo. "Bang Ardan!" Rahmi terkejut mendengar suara Ardan, bukan suara Widodo. "Oh ... jadi kamu pacaran dengan Si Widodo itu, Ami!" Goda Ardan. "Tidak, Ami tidak pernah pacaran. Dia yang terus mengejar, padahal sudah Ami tolak berulang kali," sahut Rahmi. "Hmm ... selain Mas Widodo siapa lagi yang mengejar kamu?" Tanya Ardan penasaran. "Tidak ada! Ada apa Abang telepon Ami?" Rahmi berusaha mengalihkan bahan pembicaraan. Ia tidak ingin panjang lebar membahas Widodo, atau pria lainnya. "Sudah mengambil keputusan?" Ardan kembali melontarkan pertanyaan. "Keputusan apa?" Rahmi balik bertanya dengan perasaan bingung. "Yang tadi siang." "Yang tadi siang?" Rahmi masih bingung, dan lupa akan permintaan Asma tadi siang. "Yang diminta Nini, Ami ...." Ardan mulai kesal. "Oh ...." Rahmi ber- oh panjang. "Oh apa?" Ardan jadi kesal dengan Rahmi. "Waktunya dua Minggu, ini baru beberapa jam, Abang." Rahmi melayangkan pandang ke arah jam di dinding kamarnya. "Jadi belum ada keputusan?" Tanya Ardan. "Abang sendiri?" Rahmi lagi-lagi balik bertanya. "Aku menunggu keputusan kamu." "Ami juga tergantung keputusan Abang," sahut Rahmi. "Eh, bagaimana?" "Tidak tahu!" Kepala Rahmi menggeleng. Ia ingin, Ardan yang memutuskan, dan ia hanya mengikuti dari keputusan Ardan itu "Ya sudah, dua Minggu lagi saja." Ardan menyerah, karena pemikirannya sama dengan Rahmi. Rahmi yang memutuskan, ia hanya mengikuti keputusan Rahmi saja. "Iya!" Sambungan telpon berakhir. Rahmi merenung, dan mempertimbangkan pilihan mana yang terbaik, bukan hanya untuknya, tapi untuk seluruh keluarga juga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN