16. Apa kamu mau jadi istriku?

1992 Kata
Mata Caramella kemudian memicing sedikit dan hanya tanda itu yang mengisyaratkan kalau wanita itu bingung sejenak. Tidak lama kemudian, rasa terkejutnya itu pulih. "Apa aku tidak salah dengar? Katakan sekali lagi padaku?" "Aku mencintaimu." Caramella kembali terdiam sejenak, kemudian tertawa dengan sangat keras. Dadanya naik turun. "Kamu mencintaiku?" "Iya." "Kamu bercanda ya?" "Aku sedang tidak bercanda. Aku mengatakan yang sebenarnya tentang perasaanku padamu." Caramella menggelengkan-gelengkan kepalanya tak percaya. "Ini tidak mungkin. Bagaimana bisa kamu mencintaiku? Kita belum lama saling mengenal." "Apa kamu percaya dengan cinta pandangan pertama?" "Tidak,"jawabnya tegas. Tristan bangun dan duduk. Pria itu bertelanjang d**a. Caramella memalingkan wajahnya. Ia tidak mau percaya semalam ia tidur dengan pria itu tanpa mengenakan pakaian sehelai pun. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan berharap ini hanya salah satu mimpi buruknya. "Tentu saja kamu tidak akan percaya, karena kamu tidak percaya adanya cinta dan juga pernikahan." "Itu benar." Tristan menyeringai. "Sebenarnya aku tidak ingin memberitahumu tentang perasaanku padamu sekarang. Tadinya aku akan memberitahumu setelah aku berhasil membuatmu percaya cinta dan membuatmu jatuh cinta kepadaku, tapi aku terpaksa memberitahumu sekarang, karena aku tidak ingin kamu berpikiran kalau aku hanya memanfaatkanmu saja untuk bisa tidur denganmu untuk memuaskan hasratku saja." "Apa kamu peduli apa yang aku pikirkan tentangmu?" "Tentu saja. Aku peduli, karena aku tidak ingin kamu berpikiran buruk tentangku dan aku ingin mempunyai kesan yang bagus di matamu." "Tapi aku tidak peduli hal itu." "Seharusnya kamu peduli." Tristan menyeringai. "Tapi aku tidak mencintaimu." "Aku tahu dan aku akan membuatmu mencintaiku." Senyuman Tristan yang memiliki pesona itu cukup membuat hatinya ketar-ketir dan membuat dirinya menjadi gugup. Apa lagi ia melihat sorot jahil di mata pria itu. "Ada apa?" "Apa kamu tahu tubuhmu itu sangat indah?"goda Tristan. Secara refleks Caramella menutup tubuhnya dengan selimut yang sejak dari tadi sudah ditutupi selimut. Rona merah menjalari wajahnya dan terasa panas. "Aku sudah melihat seluruh tubuhmu untuk apa kamu menutupinya dengan selimut,"goda pria itu lagi. Caramella tahu pria itu sekarang sedang menggodanya dan Tristan menikmatinya. "Aku sudah memperkosaku." "Diperkosa!"kata pria itu dengan nada tingggi. "Tidak. Kita melakukannya secara sukarela andai kamu ingat saat itu kamu sangat menikmatinya juga dan kamu terlihat sangat puas." Rasa panas membakar wajah wanita itu . Ia yakin warna wajahnya sudah berubah menjadi semerah tomat sekarang. Tristan tersenyum menggoda. Caramella sangat malu pada dirinya sendiri ketika membayangkan mereka bercinta. "Aku tidak percaya ini. Bagaimana aku bisa bercinta denganmu semalam? Aku tidak mungkin mau tidur dengan klienku sendiri." Tristan sedang berusaha keras menguasai dirinya, karena dituduh memperkosa wanita itu. Wajahnya nampak tegang dan frustasi. Ia menyisirkan jarinya di rambutnya. "Tenang saja. Aku akan bertanggung jawab. Aku memintamu untuk menjadi kekasihku?" "Apa kamu sudah gila?" "Kalau begitu apa kamu mau jadi istriku?" "Tidak akan ada pernikahan." Tristan menghela napas. "Baiklah. Aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan hati dan jiwamu, Miss Hewitt." Pria itu mengedipkan sebelah matanya. "Aku tidak peduli hal itu. Sekarang di mana pakaianku?" "Tidak jauh dari tempat tidur." Caramella menemukan pakaiannya teronggok di kaki tempat tidur. Tristan menyibakkan sepreinya, lalu berdiri. Wajah Caramella langsung pucat melihat sosok pria telanjang di depannya. Ia membekap mulutnya dengan tangan meredam jeritan paniknya dan yakin sekarang ia sedang bermimpi buruk. Pria itu segera berpakaian. "Kamu tidak perlu panik seperti itu, Sayang?" "Sayang?" "Apa kamu tidak suka panggilan itu?" "Aku bukan kekasih atau istrimu." "Tapi aku sudah menganggapmu sebagai kekasihku." Salah sudut bibir Tristan terangkat ke atas. Seringaian jahil mengembang di wajahnya. "Kau ini,"seru Caramella kesal sambil melemparkan bantal ke wajah Tristan. Pria itu berhasil menghindar dan senang sudah berhasil menggodanya. "Sebaiknya kamu segera berpakaian." Caramella berdiri sambil melilitkan selimut di badannya, lalu berjalan menuju dinding lemari. Ia merasa risih dan salah tingkah diperhatikan terus oleh Tristan. Sorot matanya yang tajam itu selalu mengikuti setiap gerak langkahnya. Ia mengambil jubah kamar dari bahan handuk putih. "Balikan badanmu!" Tristan menurut. Caramella cepat-cepat mengenakan jubah itu dan sembari menghadap Caramella lagi, pria itu bertanya,"Apa kamu ingat ketika kita berdansa?" Kepala Caramella berdenyut sakit. "Iya aku ingat." Tristan tersenyum. "Itu sudah cukup bagiku." Wanita itu memandang heran pada Tristan apa ada yang aneh atau spesial ketika mereka berdansa. Pria itu sudah selesai berpakaian. "Sampai ketemu lagi di meja makan! Dan jangan coba-coba menghindariku." Tristan membuka pintu kamar. Pria itu tidak menyadari, Ester memergokinya keluar kamar Caramella. Ia tersenyum, lalu pergi dari sana. Sementara itu Caramella masih mencerna semua apa yang terjadi semalam. Kepalanya kembali berdenyut sakit. Ia mengangkat sebelah tangannya ke pelipis. Seharusnya ia tidak minum terlalu banyak dan penyesalan itu sekarang itu tidak ada gunanya lagi. Caramella langsung melompat dari tempat tidur dan buru-buru masuk ke kamar mandi. Ia memutar keran pancuran dan berdiri di bawahnya. Air hangat membasuh badannya. Ia sama sekali tidak mau percaya sudah melakukan hal itu dengan Tristan. Tangannya sedikit gemetar saat memakai pakaiannya, lalu membereskan semua barang-barangnya. Ia sudah memutuskan akan kembali ke hotel dan menikmati sisa hari liburannya. Dengan hati-hati ia membuka pintu kamar dan mengintip keluar dan berjalan mengendap-endap menuju pintu depan. Caramella merasa sangat kesal, karena Tristan tadi terlihat tidak menyesali perbuatannya bagaikan seseorang yang berhasil merayu wanita agar bersedia tidur bersamanya. Caramella cepat-cepat membuka pintu dan pergi keluar rumah. Ia sekarang bingung harus mencari taxi di mana. Sejak dari tadi ia tidak melihat satu pun taxi yang lewat. Ia juga tidak mungkin berjalan kaki bisa-bisa mati karena kelelahan. Ia juga tidak mungkin kembali ke rumah itu. *** Tristan, Ester, dan neneknya sudah berada di meja makan menunggu Caramella, tapi wanita itu tak kunjung datang. "Aku akan memanggilnya." Tristan pergi dari ruang makan dan Ester langsung mendekat pada ibunya. "Sepertinya telah terjadi sesuatu diantara mereka di pesta kemarin malam,"bisiknya. "Menurutmu begitu?" "Aku sangat yakin dan tadi aku melihat Tristan keluar dari kamar Miss Hewitt. Untuk apa dia pagi-pagi sekali datang ke kamarnya? Itu aneh." Ester memicingkan matanya dan akan mencari tahu. Tristan yang sudah berada di depan kamar berkali-kali mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban. Ia membuka pintu dan keadaan kamar itu sangat sepi tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Ia mencri Caramella ke seluruh kamar, bahkan di kamar mandi pun wanita itu tidak ada. Barang-barang dan pakaiannya pun sudah tidak ada di dalam lemari. "Siial!" Tristan segera pergi dari kamar dengan terburu-buru tanpa menutup pintu kamar kembali. Ia berlari menuju pintu depan dan Caramella tidak ada di luar. Ia segera mengambil mobilnya dan mencari wanita itu di sepanjang jalan. "Kemana perginya dia?" Pria itu memberhentikan mobilnya di pinggir jalan dan meneleponnya, tapi teleponnya tidak aktif. Tristan nampak kesal. "Awas kalau aku menemukanmu. Kamu tidak akan bisa lari dariku." Tristan memutuskan pergi ke hotel di mana Caramella menginap. Sepanjang perjalanan menuju ke sana, ia melihat ke samping jalan sambil mencari wanita itu. Setibanya di hotel Marien Intercontinental, ia langsung masuk dan berjalan menuju meja resepsionis menanyakan nomor kamar Caramella. Setelah tahu di mana kamarnya, Tristan dengan langkah cepat berjalan menuju pintu lift dan tidak sengaja menabrak petugas kebersihan yang tak lain adalah ayahnya Caramella. Ia meminta maaf kepada petugas itu bertepatan dengan pintu lift terbuka. Ia segera masuk dan sudah tidak sabar untuk segera sampai di kamar wanita itu. Sejak dalam perjalanan ke sini, ia sudah menyusun kata-katanya untuk disampaikan pada Caramella. Pintu lift terbuka dengan suara bunyi denting. Ia mencari nomor kamar Caramella dan menemukannya. Tristan mengetuk pintu dan terdengar suara dari dalam. "Siapa?" "Petugas kebersihan,"jawab Tristan berbohong. Pintu kamar terbuka dan Caramella terkejut melihat Tristan berdiri di depan kamarnya dengan senyuman menyeringai. Wanita itu hendak menutup pintu, tapi pria itu berhasil menahannya. "Kita perlu bicara." "Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan." "Tentu saja ada, Sayang." Caramella memelototi Tristan. "Biarkan aku masuk dulu! Aku mohon. Apa kamu lebih suka bicara di luar?" Dengan berat hati, Caramella menyuruh Tristan masuk. Ia mengawasi tamu yang tak diundang itu masuk melewati dirinya di pintu. Ia berjalan mendekati Tristan yang sudah duduk di sofa tanpa mengalihkan tatapannya dari mata pria itu. "Sekarang apa maumu?" Tatapan Tristan terpaku menatap wajah wanita itu yang sudah menguasai pikiran, hati, dan jiwanya. Wanita itu sekarang kelihatan penuh percaya diri sama sekali tidak gentar. Ia juga melihat kalau wanita itu sedang memperhatikan penampilannya, karena tatapan wanita itu pelan-pelan beralih dari ujung kakinya hingga ke wajahnya. "Aku ingin tahu kenapa kamu pergi dari rumah begitu saja tanpa pamit." "Aku tidak ingin memberitahu kalian." Tristan menatap wajah cantik itu. "Kenapa?" Tristan menuntut penjelasan. Tristan memperhatikan wanita itu yang duduk agak jauh darinya dan ia tidak suka itu, jika berjauhan dengan wanita yang sudah mencuri hatinya. Wanita itu menjalin tangannya di depan badannya dan sekali lagi membalas tatapan Tristan. "Aku tidak ingin berlama-lama di rumah nenekmu. Lagi pula aku sudah sembuh. Aku takut kalian akan melarangku pergi." "Aku tidak akan melarangmu pergi, jika kamu sudah sehat. Kalau kamu ingin kembali ke hotel seharusnya kamu bilang pada kami setidaknya padaku. Aku bisa mengantarkanmu ke sini." Tristan menatap gemas pada wanita itu. "Itu sudah terlanjur. Aku pikir kamu tidak akan mengizinkanku keluar dari rumah itu." Sejenak Tristan menyangka melihat sekilas kesedihan pada mata Caramella, tapi karena begitu cepatnya, ia jadi tidak yakin. "Aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sana, tapi sebenarnya hatiku menginginkan kamu tetap tinggal di sana selama sisa liburanmu, tapi kelihatannya untuk saat ini tidak mungkin." "Apa hanya itu saja yang ingin kamu bicarakan denganku?" "Iya." "Kalau begitu kamu bisa pergi sekarang " "Aku sudah jauh-jauh datang ke sini, aku tidak ingin cepat-cepat pergi." Seringaian menggoda di wajahnya muncul lagi dan membuat kenyamanan Caramella merasa terganggu. Wanita itu sudah menghela napas kesal berkali-kali. "Terserah kamu saja." "Apa kamu merasa malu padaku, karena apa yang terjadi semalam?" "Kenapa aku harus malu kepadamu?" "Karena aku merasa kamu sedang mencoba menghindariku." Bahu wanita itu tampak tegang, tapi hanya sedikit. "A-ku tidak menghindarimu,"katanya gugup. "Kamu tidak akan pergi begitu saja tanpa pamit dari rumah." "Maaf. Aku tahu kalian sudah sangat baik padaku dan menerimaku. Aku sangat menghargainya. Aku akan ke sana lagi untuk berpamitan pada mereka. Sebenarnya aku merasa tidak enak pada keluargamu, karena aku pergi begitu saja." "Aku senang hati akan mengantarmu menemui keluargaku." Caramella terdiam sebelum menjawab. "Baiklah." Tristan tersenyum dan mengulurkan tangannya, tapi Caramella menolaknya. "Baiklah. Sepertinya aku harus berusaha lebih keras lagi untuk mendapatkanmu,"gumam Tristan. "Apa yang kamu katakan?" "Tidak bukan apa-apa." Mereka keluar kamar dan meninggalkan hotel. Di lobi hotel Derick sempat melihat Caramella pergi bersama seorang pria yang tadi bertabrakan dengannya. *** Di mobil, tangan Tristan yang bebas menggenggam erat tangan Caramella. Wanita itu berusaha melepaskannya, tapi pria itu tidak mengizinkannya. Tristan tersenyum senang, karena akhirnya wanita itu menyerah. Jemari pria itu mengelus tangannya membuat Caramella merasa debar jantungnya melambat dan kemudian berpacu lagi. "Kenapa kamu mencintaiku?"tanyanya tiba-tiba. Tristan berpikir sejenak sebelum menjawab. "Aku tidak tahu." "Apa maksudmu tidak tahu? Pasti ada alasannya." "Tidak ada alasan untuk mencintai seseorang. Aku mencintaimu begitu saja." Caramella mengerutkan dahinya salah satu alisnya terangkat. "Mana bisa seperti itu. Pria sepertimu hanya menyukai wanita-wanita cantik." Tristan terbahak. "Itu benar. Aku memang terpesona oleh kecantikanmu, tapi meskipun wajahmu tidak cantik, aku akan selalu mencintaimu." Sorot matanya menjadi lembut saat menatap Caramella sekilas sebelum ia memperhatikan jalanan di depannya. "Dan aku tidak akan pernah mengkhianatimu. Aku janji." "Jangan sembarang mengucapkan janji, jika tidak bisa dipenuhi, karena itu menyakitkan. Simpan saja janjimu itu." "Aku tidak pernah mengingkari janji." Hening. Sambil memperhatikan jalanan, Tristan kembali mengingat malam romantisnya bersama Caramella. Ia ingat benar bagaimana tubuh wanita itu merapat kepadanya. Matanya berwarna gelap selembut beledu dan langit malam. Betapa ia ingin menyentuhnya lagi. Mulutnya terasa manis dan sekali menciumnya tidak ingin berhenti. Ia mencengkeram kuat setir mobilnya berusaha menekan hasratnya dan mengontrol dirinya. Mobil memasuki gerbang rumah. Mereka keluar dari mobil setelah berhenti di depan pintu utama. Tristan menarik Caramella ke balik pohon. Wanita itu terkejut saat Tristan menekannya ke batang pohon. "Mau apa kamu? Dan kenapa aku dibawa...." Tristan memanggut bibir Caramella dalam ciiuman liar yang menghentikan kata-katanya dan membuat kepala wanita itu berputar-putar dan sesak napas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN