Chapter 16

1779 Kata
Robi baru saja membenarkan lampu toilet guru yang mati. Setelah menepukkan kedua tangannya yang berdebu, ia turun dari bangku yang membantunya meraih lampu itu. Seorang guru memasuki toilet dan menyapanya. "Wah udah benar, ya." Guru itu menggumam ketika melihat sinar lampu di toilet yang sudah memancar. Robi hanya mengangguk dan hendak melewati guru itu untuk keluar dari toilet. Namun sesuatu yang diucapkan guru tadi sedikit menginterupsinya.   "Bener deh saya nyuruh Pak Keano untuk nyari kamu."   Guru itu tersenyum sendiri sambil memandang Robi. Lalu kakinya hendak memasuki toilet itu lagi.   "Tunggu, Pak. Tadi kalau saya tidak salah dengar, Bapak menyebut nama Keano?" tanya Robi. Ia penasaran dengan nama yang tadi disebut guru itu.   Guru itu mengangguk dan menjawab dengan mantap, "Iya. Guru itu yang tadi nyuruh kamu untuk mengganti lampu toilet yang mati, namanya Keano."   Robi terkesiap. Tercengang di tempatnya berdiri. Lalu mematung dan menyaksikan guru itu masuk ke dalam toilet, menutupnya dari dalam.   Jadi ... lelaki tadi yang bicara denganku itu Keano?   Robi membatin. Sudut bibirnya reflek tertarik. Ia menyeringai.   Anak kecil yang dulu bersama dengan temannya yang ia bunuh ternyata ada di dekatnya. Selama beberapa minggu ia mencari tahu tentang Keano, tidak pernah berhasil. Ia hanya berhasil menemukan alamat rumah Keano dan mengirimkan beberapa surat peringatan. Namun tempat kerja Keano tidak pernah Robi temukan. Ternyata Keano bekerja di sekolah yang sama dengannya. Bedanya kini bocah lelaki yang dulu hanya sebatas lututnya sekarang telah berubah menjadi lelaki dewasa yang bahkan tingginya sepadan dengannya.   Tujuan Robi mencari keberadaan Keano tentu saja untuk membalas dendam. Hari itu, kalau saja Keano tidak memberikan kesaksian terhadap perbuatannya, maka Robi tidak akan pernah dipenjara. Hari itu Robi sudah tenang karena terrnyata tidak ada bukti yang cukup untuk memenjarakannya. Namun Keano malah bersaksi sebagai teman anak kecil yang dibunuhnya. Namanya Jasmin. Robi bahkan tidak pernah melupakan sedikit pun tentang kejadian 22 tahun yang lalu itu.   Setiap malam, dalam bilik penjaranya ia selalu bertekad ketika begitu keluar dari penjara nanti, orang pertama yang ia datangi adalah Keano. Ia akan mencari dan menemui Keano. Bagaimanapun caranya.   Seringaiannya makin lebar ketika mengetahui kalau Keano berada di sekitarnya. Jadi, mudah untuk menemuinya dan menuntut balas pada lelaki itu.     Robi masih menyaksikan kejadian yang berjarak sekitar sepuluh meter di depannya. Keano tadi berlari kencang sekali demi menemui seorang gadis yang mengenakan seragam itu. Dahi Robi berkerut. Untuk apa seorang guru harus bersusah payah berlari demi menahan langkah siswinya? Pasti ada sesuatu di antara keduanya. Dari jaraknya berdiri kini mungkin Robi tidak bisa mendengar hal apapun yang mereka katakan. Bahkan dari jaraknya berdiri juga ia tidak bisa melihat dengan jelas wajah gadis yang tengah ditatap Keano itu. Yang ia ingat hanya tas ransel berwarna hitam milik gadis itu. Namun yang pasti Robi tahu satu hal. Gadis itu, pasti sangat berharga bagi Keano.   Setelah menyeringai, ia kembali menyapu halaman. Lalu meninggalkan tempat itu dan melangkah memasuki sekolah. Seringaiannya bertambah lebar saat sebuah ide muncul di pikirannya. Dendamnya pada Keano ... ia tahu cara melampiaskannya.     °°°°     "Rumah kami beneran cuma sepuluh menit dari sekolah kan. Harusnya tadi gak perlu diantar segala." Alana memecah keheningan. Ia meringis dari jok mobil belakang dan memandang cermin yang memantulkan wajah Keano.   Tadi setelah pernyataan Keano pada Alana, lelaki itu menawarkan untuk mengantar keduanya pulang ke rumah daripada harus berjalan kaki. Berulang kali Alana menolak tawaran Keano, namun lelaki itu tetap kukuh pada pendiriannya. Jadi sebagaimanapun kerasnya Alana menolak, maka begitu lah Keano akan makin keras memaksa untuk mengantar keduanya. Perjalanan yang hanya memakan sepuluh menit berjalan kaki kini dipangkas menjadi lima menit dengan mengendarai mobil.   Deon yang duduk di kursi penumpang samping Keano hanya memutar bola matanya. Rasanya ia sudah seperti obat nyamuk di sana. "Makasih tumpangannya, Pak." Setelah itu Deon mengangguk singkat lalu keluar dari mobil Keano.   "Iya, sama-sama," sahutnya. Keano lalu memandang rumah yang besar di depannya. Kemudian tersenyum sambil mengangguk-angguk kecil. "Jadi ini rumah kamu?" tanyanya pada Alana.   Alana yang hendak membuka pintu mobil akhirnya diurungkan. Ia menatap Keano dan rumahnya secara bergantian. Lalu menyengir. "Iya. Makasih tumpangannya ya." Setelah mengucap itu, Alana bergegas membuka pintu mobil dan keluar.   "Gimana kalau mulai besok ... aku jemput kamu?" tawar Keano pada Alana. Lelaki itu membuka kaca mobilnya dan menatap Alana dari samping. "Toh rumah kamu gak jauh dari sekolah, aku bisa mampir."   Alana mengernyit dahinya. Mendengar Keano yang berbicara dengannya dengan nada lembut dan ramah mengapa membuatnya bergidik ya? Ia jadi geli sendiri saat tiba-tiba melihat Keano yang sikapnya jadi berbanding 180 derajat padanya.   "Kenapa?" tanya Keano lagi saat Alana malah tersenyum sendiri menatapnya.   Alana meredakan senyumnya lalu menggeleng. "Gak pa-pa, kok," jawabnya.   Dan sejak tadi semua adegan itu dilihat oleh Deon yang hanya bisa memandang keduanya dengan ngeri. Bayangkan saja, melihat seorang guru dan siswinya berbicara santai tanpa sapaan formal, membuatnya meringis. Cringe.   "Gak usah, No. Gak enak karena ngerepotin kamu. Aku bisa jalan kaki sama Deon, kok. Lagi pula cuma sepuluh menit, ya ampun." Alana terkekeh geli.   Deon tadi sempat secara cepat menatap Alana saat gadis itu memanggil Keano yang notabene-nya gurunya dengan sapaan 'No'.   "Gak enak juga dilihat siswa lainnya." Alana melanjutkan. Deon mengangguk menyetujui dengan tanpa suara.   "Oh gitu. Ya udah deh." Keano berujar dengan raut kecewa. Namun dengan cepat ia mengubah ekspresinya. "Kalau gitu besok kabari aku ya. Kita ketemu di sekolah," katanya lagi. Ia tersenyum.   Alana mengangguk. "Oke."   "Ya udah, aku balik dulu. Dah." Keano melajukan mobilnya kembali.   Deon menatap ngeri saat Keano malah melambaikan tangan pada mereka. Ia masih memandang mobil Keano yang perlahan semakin mengecil di telan jalanan. Begitu juga Alana. Justru gadis itu membalas lambaian tangan  Keano. Lalu ia memperhatikan ekspresi Deon yang aneh. Alana menyenggol lengan cowok itu. "Oy! Kenapa?"   Deon langsung menatapnya dengan masih memasang raut aneh. "Na? Gue barusan gak mimpi atau ngelindur, kan?" tanyanya sangsi.   "Maksud lo?" Alana ikut mengernyit.   "Iya, gue beneran ya tadi naik mobil Pak Keano sama lo?" Deon malah terlihat linglung.   Alana mencubit pipi cowok itu yang menyebabkan Deon mengaduh. "Rasain! Lagian sih lo ngaco! Ini bukan mimpi."   Deon mengelus-elus pipinya lalu memprotes. "Beneran bukan mimpi ternyata. Sakit."   Alana hanya menggelengkan kepalanya menatap Deon. Cowok itu beranjak dan langsung berjalan dengan santai menuju rumahnya sendiri yang hanya berjarak dua rumah dengannya. Masih dengan mengelus-elus pipinya. "Heran deh punya temen kok gitu amat." Alana menggeleng sambil berdecak. Ia melangkahkan kaki memasuki pelataran rumahnya dengan langkah ringan.   Lalu detik berikutnya ia ikut mengaduh seperti Deon tadi. "Aw!"   Alana mengelus-elus pipinya sendiri yang sengaja dicubit sendiri olehnya. Sebenarnya bukan hanya Deon saja yang menganggap kalau kejadian tadi hanya mimpi. Tapi Alana pun menganggapnya seperti itu. Dan setelah mencubit pipinya sendiri, Alana yakin kalau tadi bukan lah mimpi. Ia benar-benar dalam keadaan sadar.   "Yes, bukan mimpi!"     °°°°     "Jadi beneran kalau Pak Keano akhirnya percaya sama lo?" tanya Lita antusias. Senyumnya lebar sekali sejak tadi. Begitu tadi memasuki kelas, Lita langsung memberondongnya dengan pertanyaan. Dan cewek itu juga menanyainya dengan raut penasaran yang menggemaskan.   Alana hanya mengangguk singkat. Lalu sudut bibirnya juga tertarik lebar. Selebar punya Lita.   Lita sontak menganga. "Aaaaaaa!!! Selamat ya sayangku!" seru Lita lalu berangsur memeluk Alana dengan gembira. Berulangkali Lita mengelus punggung Alana sambil mengucap selamat.   Alana melerai pelukannya. "Iya, gue juga gak nyangka."   "Berarti kemarin dia nyari lo gitu, kek di drama-drama gitu?" tanyanya lagi. Lita masih sangat penasaran. Beberapa kali ia mengatakan kalau menyesal tidak pulang bersama Alana kemarin sore.   "Iya, Ta. Pokoknya kek di drama gitu deh," jawab Alana. Ia tertawa aneh lalu menyeringai. "Gue keknya jatuh cinta sama Pak Keano. Dia ganteng banget!" Alana meraba pipinya yang panas.   Lita ikut antusias. "Ih... gue juga naksir doi."   "Dasar fangirl! Liat cogan dikit aja langsung naksir."   "Deon!"     °°°°     Alana dan Lita seperti biasa berjalan menuju kantin. Sejak tadi mereka berceloteh banyak hal. Yang paling banyak bicara kali ini adalah Alana. Gadis itu banyak menceritakan tentang kejadian kemarin.   "Gue pokoknya abis itu kepikiran terus deh. Gak bisa tidur gue."   Alana dan Lita berjalan tanpa memerhatikan sekitar. Padahal biasanya koridor bawah tangga tidak pernah terjadi apapun. Namun kali ini ada sesuatu yang cukup membuat heboh. Beberapa siswa di lantai atas seperti sedang sibuk bermain kejar-kejaran. Siswa kelas sepuluh yang baru saja lulus SMP yang melakukan hal itu, tidak heran karena mereka masih tergolong sangat muda dibanding kakak kelasnya. Sayangnya mereka lupa kalau ada beberapa pot tanaman yang disusun berjejer di sisi pegangan lantai dua. Saking asyiknya bermain, mereka tidak menyadari telah menyenggol sebuah pot dan mengakibatkan pot itu jatuh. Jika tidak ada siapapun di bawahnya, mungkin aman. Namun malang, Alana dan Lita berjalan di bawah tepat saat pot iu tersenggol.     "Awas!"     Semuanya bagai slow motion saat Deon yang sedang berjalan menuruni tangga menyusul Alana dan Lita malah tertegun menyaksikan semuanya. "Alana awas!"   Alana yang merasa dipanggil, menoleh ke belakang, dan memandang Deon. Lalu ia melihat ke atasnya di mana pot itu akan jatuh ke kepalanya sebentar lagi. Mata Alana membelalak. Lalu memejam.     PRAK!     Sontak semua murid yang ada di sana terkejut mendengar suara pecahan pot yang terbuat dari tanah liat itu. Terutama Alana. Ia membuka matanya perlahan. Lalu menyadari kalau dirinya sudah jatuh terduduk dan di depannya ada serpihan pot dan tanah beserta tanamannya yang berceceran. Pot itu tidak jadi mengenai kepalanya. Alana mengembus napas lega. Namun seingatnya tadi ada yang mendorongnya sehingga ia berhasil menghindar dan malah terjatuh. Alana mendongak, memandang di depannya.   Beberapa siswa yang ada di sana berkerumun dan menatapnya. Mereka memasang raut panik dan penasaran tentang cerita yang sebenarnya terjadi.   "Alana, lo gak apa-apa?" Lita yang pertama mendatanginya dengan wajah panik. Lalu cewek itu menatap ke lantai atas dan berseru lantang memandang beberapa siswa yang berada di sana menatap mereka. "Woy! Tanggungjawab!" Lita menunjuk-nunjuk mereka.     Alana masih terguncang. Lalu Deon gantian berlari menyusulnya. Dengan raut panik, cowok itu menyentuh bahu Alana. "Na, lo gak apa-apa? Gak kena kan?" Deon menatap tangan lalu kaki Alana bergantian untuk menemukan letak sakit Alana. Namun gadis itu tidak tergores sedikitpun.   Alana mencari sosok yang tadi mendorongnya untuk menyelamatkannya. Matanya mengedar. Begitu ia kembali mendongak dan memutar badannya ke belakang, ia menemukan seorang pria berseragam cleaning service di sana, tengah ikut menatap ke arahnya. Pria itu kini berjalan ke arah Alana. Lalu berjongkok dan memegang bahu Alana. "Nak, gak apa-apa, kan?" tanyanya.   Mata Alana membelalak lebar.   Pria itu ...   "Minggir-minggir. Yang lain minggir ya, kasih jalan." Sebuah suara menginterupsi beberapa siswa yang ada di sana dan mencari jalan untuk bisa sampai di depan Alana. Keano muncul dari celah beberapa siswa di sana itu. Lalu mendekatinya. Memasang raut cemas.   "Alana, apa yang terjadi? Kamu gak apa-apa?"     Alana menghiraukan Keano. Justru gadis itu masih terkejut menatap pria berseragam cleaning service itu. Sekelebat ingatan tentang peristiwa di dalam mimpinya tiba-tiba melintas. Pria itu ... Robi. Orang yang membunuh Jasmin. Membunuhnya di masa lalu.     Kepala Alana mendadak pusing. Ia memegangi kepalanya yang sekarang sakit. "Ah!"   "Alana?" Keano panik menyaksikan Alana yang kesakitan.   "Na, lo kenapa?" Deon kini gantian bertanya.   Alana masih memegangi kepalanya yang serasa dipukul dengan benda berat. Ia kehilangan tenaganya. Lemas. Pandangannya buram. Lalu sedetik kemudian, Alana tak sadarkan diri.     °°°°      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN