Alana mengerjapkan matanya. Hal pertama yang ia lihat yaitu langit-langit sebuah ruangan. Lalu berikutnya ia mengedarkan tatapannya. Dan ia baru menyadari bahwa tengah berada di UKS SMA-nya. Alana memandang tirai hijau yang mengelilinginya, kemudian mendengar seseorang berbicara dari belakang tirai itu.
"Alana cuma shock. Dia gak pa-pa, kok. Paling sebentar lagi dia akan sadar."
Suara wanita. Alana mendengar sosok itu berbicara dengan lembutnya. Suara itu yang ia yakini adalah suara Bu Dina, dokter di UKS.
Lalu satu orang lagi di sana hanya menganggukkan kepalanya paham dan bernapas lega. "Iya. Terima kasih, Bu."
Setelah mendengar kalimat itu, Bu Dina lekas melangkah meninggalkan ruangan itu.
Sedangkan orang yang satunya masih terdiam di tempatnya berdiri.
Alana memberanikan dirinya memanggil sosok itu. Ia membuka mulutnya. "Pak?" panggilnya. "Pak Keano."
Orang yang ternyata Keano itu bergeming. Ia terkesiap kecil dan bergegas melangkah mendekati bilik di mana Alana tengah berbaring. Dengan satu hentakan, tirai hijau di depan Alana itu tersibak.
Keano dengan wajah paniknya muncul dari sana.
"Kamu udah bangun?" tanya lelaki itu. Raut Keano terlihat masih panik. Alana tahu kalau lelaki itu masih khawatir padanya.
Alana beranjak bangun dan dibantu oleh Keano dengan menopang kedua lengannya. "Hati-hati," kata Keano. Lalu selanjutnya tersenyum menatap Alana.
"Cuma ada kita berdua di ruangan ini?" Alana tiba-tiba memecah hening. Ia menatap Keano yang menjulang tinggi di sampingnya. Lalu ia mengedarkan tatapannya. "Sepi, kan?" tanyanya lagi.
Keano terkekeh dan melangkah mendekati Alana. Telapak tangannya terangkat dan memegang wajah gadis itu. "Cuma ada kita berdua."
Alana menghembuskan napas lega lalu menyuruh Keano duduk di kursi penjenguk di samping brankarnya. "Ada yang ingin aku omongin."
"Apa?" Keano memasang wajah penasaran.
Alana menatap Keano dengan raut serius. "Laki-laki yang pakai baju cleaning service yang menyelamatkanku itu, si Pembunuh itu, kan?"
Keano mengedipkan matanya kecil. Ia tersentak kaget oleh pertanyaan gadis di depannya. "Orang yang menyelamatkan kamu?" tanyanya sangsi.
Alana mengangguk mantap. "Aku yakin ada orang yang tiba-tiba dorong aku agar gak kejatuhan pot bunga itu. Lalu seingatku itu bukan Lita atau Deon. Dan ketika aku buka mata, lelaki itu ada di sana. Dia terus tanya keadaanku." Alana menjelaskan panjang lebar. Sedangkan Keano di depannya hanya terdiam.
"Tanya gimana?" Keano bingung merespon Alana. Lalu hanya itu yang bisa ia sampaikan.
"Dia tanya gimana keadaanku. Baik-baik saja atau enggak," jawab Alana. Gadis itu menjeda kalimatnya dan menunggu reaksi Keano. Namun Keano masih bergeming. "Kenapa bisa dia ada di sekolah ini juga?" tanya Alana saat Keano masih tidak meresponnya.
Keano menundukkan kepalanya. Lalu sedetik kemudian ia mengangkat kepalanya dan menatap Alana. Kedua tangannya terangkat memegang bahu Alana. "Kamu dengerin aku, ya," perintahnya.
Alana mengangguk.
Dengan sekali tarikan napas, Keano melanjutkan. "Aku gak tahu kapan persisnya lelaki itu bisa sampai ke sekolah ini, Na. Tapi yang jelas, keberadaan dia di sekeliling kita itu tanda bahaya. Aku yakin dia datang buat menuntut balas padaku," jelas Keano. Matanya menatap tepat ke manik Alana. Lelaki itu sangat serius.
Alana terkesiap kecil. "Menuntut balas?" tanyanya. "Maksudnya ... dia mau balas dendam padamu?" Alana membalas tatapan Keano dengan tidak kalah serius.
Keano mengangguk. "Iya. Dia pasti datang untuk menuntut balas padaku."
Alana terdiam. Ia mengerjap bingung lalu kembali menatap Keano. "Tapi kenapa?" Dahinya mengerut bingung. "Kenapa bisa dia yang menuntut balas, No? Aku yang dia bunuh." Alana berujar dengan geram. Rautnya memaancarkan sorot marah.
Keano tahu kalau Alana kini marah. Dan sebenarnya bukan hanya Alana saja yang marah saat ini. Keano jauh lebih marah darinya. Keano marah karena Robi kini berada di sekeliling mereka. Ia marah karena dengan seenaknya Pembunuh itu datang lagi dan hendak menuntut balas padanya.
"Dia lakukan itu karena aku adalah saksi, Na."
Alana terkesiap lagi. "Saksi?" Lalu ia teringat beberapa hal dalam mimpinya. Seingatnya hanya dirinya dan Keano yang melihat persis kejadian penculikan itu. Namun Keano tidak melihat kejadian pembunuhan itu. Bagaimana bisa?
Keano mengangguk menjawab pertanyaan gadis itu. "Aku saksi dalam peristiwa itu. Dan asal kamu tahu ... dia bahkan hampir membunuhku di pengadilan waktu itu. Dia marah karena aku buka suara di pengadilan. Dia marah karena dipikirnya ... dia dipenjara karena aku."
Alana melihat Keano mengatakan kalimat tadi dengan sorot bingung. Lelaki di depannya pasti kini juga merasakan hal yang sama sepertinya. Alana juga menyadari kalau Keano pun takut dengan fakta bahwa Robi kembali lagi dan berkeliaran di sekelilingnya. Bayangkan saja, waktu itu Keano hanya bocah berusia delapan tahun dan sudah disajikan pemandangan mengerikan saat itu. Pasti jiwanya terguncang. Alana yakin Keano mendapatkan trauma hebat dari peristiwa itu.
"Kamu tenang aja. Aku akan melindungi kamu."
Dan lelaki itu masih sempat tersenyum dan berjanji untuk melindunginya. Alana membalas senyuman Keano. Ia mengangguk.
Hatinya menghangat. Sekarang ia tahu alasan mengapa ia terlahir kembali. Ia harus melindungi Keano dari pria jahat itu.
°°°°
Robi masih bingung satu hal. Gadis yang tadi diselamatkannya tiba-tiba pingsan saat bersitatap dengannya. Ia bingung, mengapa bisa seseorang pingsan begitu saja padahal tadinya masih terlihat baik-baik saja. Dan kini ada sedikit yang mengusiknya. Tatapan gadis itu mengganggunya. Tatapan itu terasa familiar di ingatannya.
Namun sejauh apapun ia mengingat, Robi tidak bisa mengingat siapa gadis itu.
Tunggu dulu!
Lalu mengapa tadi Keano tiba-tiba datang dengan wajah panik dan langsung menggendongnya menuju UKS? Mereka seperti saling mengenal. Tidak mungkin jika gadis itu hanya siswi biasa lalu mendapat tatapan khawatir begitu.
Robi mengerutkan dahinya sembari berpikir.
Kini mendadak semua hal begitu membingungkan baginya. Niatnya untuk membalas dendam pada Keano bahkan belum sempat ia lakukan. Namun gadis tadi muncul dan menggoyahkan semuanya.
"Siapa dia?" Robi bertanya di keheningan.
Saat ini tengah berada di ruang dapur sekolah. Bel pulang sebentar lagi berdering, dan tugasnya akan selesai ketika semua orang meninggalkan sekolah ini.
Sekali lagi Robi mengingat raut wajah gadis itu. Ia yakin kalau ia mendapat tatapan kaget dari siswi itu. Selanjutnya ada sorot marah dan takut. Entah persisnya bagimana, namun yang jelas, Robi hanya ingat itu.
Tiba-tiba ia jadi teringat sosok gadis yang berbicara dengan Keano lusa sore di depan gerbang sekolah. Meskipun ia tidak bisa melihat wajahnya, namun Robi masih ingat postur tubuh gadis itu. Dan setelah dipikir lagi, postur tubuh gadis di gerbang sekolah sama persis dengan gadis yang tadi diselamatkannya.
Semuanya kini terasa membingungkan. Apakah mereka berdua adalah gadis yang sama?
Kalau begitu, artinya gadis itu adalah sosok yang dipedulikan Keano. Dan sosok yang dipedulikan Keano adalah targetnya.
Robi menyeringai.
°°°°
Keano baru saja menutup pintu rumahnya dan hendak berangkat ke sekolah saat kakinya tak sengaja menginjak sesuatu. Lelaki itu menunduk dan melihat ada sebuah amplop di bawah kakinya. Dengan cepat ia mengambil amplop itu dan membukanya. Keano melihat isinya.
Lagi-lagi surat berisi ancaman. Keano geram. Lalu tangannya meremas surat itu dan melemparnya ke sembarang tempat. Matanya mengedar ke sekeliling. Ia mencari orang yang menaruh amplop itu di depan rumahnya. Namun tidak ada siapapun di sana. Yang ada hanya beberapa tetangganya yang bersliweran seperti biasa.
Keano beranjak. Ia melangkah dan menuju pagar rumahnya dan membukanya. Begitu kakinya menginjak jalanan di depan pagar, matanya kembali mengedar. Tidak ada tanda-tanda orang mencurigakan. Lalu siapa yang memberinya amplop itu?
Apa ini ulah Robi lagi?
"Sial!" desis Keano dengan geram. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia menatap jalanan di depannya. Robi atau siapapun itu tidak bisa bermain-main dengannya lagi seperti 22 tahun lalu.
Keano bukan lagi bocah berusia delapan tahun yang dulu. Ia akan membalas perbuatan Robi. Bagaimana pun caranya.
Bocah kecil, ingat aku?
Wah, kamu sudah tumbuh dewasa sekarang. Hahaha. Senang melihatmu bisa tumbuh dewasa.
Ada hal yang membuatku senang lagi.
Kamu masih hidup. Tidak seperti temanmu itu.
Kita harus bertemu secepatnya, ya! Aku akan menemuimu.
°°°°