Aku dan Rani sedang berjalan menuju parkiran sekolah saat tak sengaja mataku menangkap dua orang lelaki yang tengah berbicara di koridor menuju parkiran. Salah satunya dapat kukenali dengan jelas. Sosok lelaki yang membuatku uring-uringan belakangan ini. Guru baru itu. Iya, Keano. Sedangkan satunya tidak begitu jelas terlihat dari posisi kami berada saat ini.
Rani menyenggol lenganku saat ia melihat keduanya. "Pak Keano tuh," cicitnya. Sengaja tidak ingin begitu membuat kami kentara sedang memandangi keduanya.
Aku mengangguk mengiyakan. "Iya," balasku. Aku masih memandang Keano dan lelaki di depannya. Lelaki di depannya berseragam biru muda, khas cleaning service sekolah, dengan beberapa bekas tanah kering. Di tangannya memegang gunting kebun. Sepertinya sehabis memangkas rumput di sekitar parkiran.
Namun ada yang mengganggu penglihatanku. Tatapan Keano pada lelaki di depannya terlihat sangat tegang. Seperti sehabis terkejut saat melihat lelaki itu. Aku mengerut dahi. Kira-kira siapa lelaki itu? Jika hanya cleaning service biasa, mengapa Keano sampai setegang itu?
Pundakku ditepuk Rani. Sejak tadi kami hanya berdiri terdiam memandang dua orang itu. "Gimana? Mau lanjut lewat situ?" tanyanya.
Sepertinya Rani sungkan jika melewati Keano. Karena mereka tepat berada di tengah koridor. Otomatis kami harus menyelip di pinggir mereka. Namun tidak ada jalan lain jika ingin ke parkiran, selain lewat koridor ini.
"Iya lah, gak ada jalan lain," kataku. Aku mengedik bahu. Jika kami mendekat, bisa saja aku melihat rupa lelaki di depan Keano itu. Aku benar-benar penasaran.
Kami berjalan perlahan. Tak sadar sudah berjarak sekitar dua meter. Dari jarak itu aku bisa mendengar ucapan yang Keano ucapkan setelah ia menetralkan rasa terkejutnya.
Dengan hampir terbata ia mengucap, "Lampu di toilet guru laki-laki mati, Pak. Bisa tolong diperbaiki?" tanyanya.
Senetral mungkin ia tersenyum ramah. Lalu lelaki di depannya mengangguk.
"Baik, Pak. Nanti saya perbaiki," katanya.
"Permisi, Pak." Rani berjalan di depanku dan menyapa Keano. Ia terus menggandeng tanganku dan menarikku untuk mengikutinya.
Mendengar sapaan seseorang, Keano terlihat terkesiap kecil. Ia membalik badan dan menatap kami. Namun tatapannya membuatku terusik. Ia menatapku dengan terkejut. Seperti tatapan yang ia tujukan untuk lelaki cleaning service itu.
Setelah berdehem, ia mengangguk membalas sapaan kami. Kemudian ia berjalan menjauh menuju koridor kantor guru.
Ini ... sebenarnya apa yang barusan terjadi?
°°°°
"Lo udah bilang ke guru baru itu?" Deon bertanya padaku dari samping kananku. Ia melirikku yang terus saja memandang lurus-lurus jalan di depanku.
Kami sedang berjalan bersama menuju sekolah. Apa aku belum menceritakan alasan kami berdua yang selalu berjalan berangkat-pulang-sekolah? Jarak sekolah dan komplek perumahanku dan Deon hanya kurang lebih dua kilometer. Jadi kami memutuskan untuk berjalan saja ke sekolah. Hitung-hitung sekalian workout, sekalian olahraga, hihi.
Dulu aku selalu mengeluh kecapekan pada Deon. Namun ia selalu menyuruhku tetap kuat dan menyemangatiku. Akhirnya aku nurut saja, dan lama-lama memang menjadi kebiasaan kami untuk berjalan kaki.
Mungkin ketika salah satu dari kami sedang kurang enak badan, Deon akan membawa motor Mamanya. Iya, cowok itu belum dibolehkan membawa motor sebelum mempunyai SIM. Deon belum genap tujuh belas tahun. Sedangkan aku sudah genap tujuh belas tahun. Aku lahir tiga bulan duluan dibandingnya.
"Belom," jawabku sambil menggeleng. Aku menatapnya yang lebih tinggi dariku. "Dia kayaknya hindarin gue deh." Aku memasang raut muram.
Melihat aku yang muram, Deon justru tertawa. "Kan udah gue bilang. Dia pasti gak nyaman sama lo."
Aku mencebik bibir. "Gue nanti sepulang sekolah mau nyoba bicara sama dia. Atau istirahat deh. Iya, waktu istirahat aja."
Mendengar ucapanku, Deon sontak memandangku. "Bicara lagi? Katanya dia ngehindarin lo?" tanyanya sangsi. "Wah, lo emang mukanya tebel ya."
"Eh si Neon! Enak aja lo kalo ngomong!" seruku tidak terima dikatai begitu. Aku memukul lengannya.
Ia mengaduh dan meringis.
"Tebel kan emang." Deon memeletkan lidahnya. "Coba aja lo ngomong lagi sama dia. Awas aja kalo dia gak percaya lagi sama lo."
"Bisa gak, omongan lo ada akhlaknya sedikit?" Aku meninju lengannya lagi. "Keano pasti bakal percaya sama gue," tegasku. Aku mendelik ke arahnya. Ia malah memundurkan kepalanya.
"Oke." Deon mengalihkan pandangannya dariku.
Aku ikut memandang depan. Ternyata kami sudah sampai di depan gerbang sekolah. Kulihat sekolah sudah ramai, jam menunjuk pukul 06.45 WIB. Pantas saja, lima belas menit lagi gerbang akan ditutup. Dan siswa tidak ingin terlambat.
Kami melewati gerbang sekolah dan berjalan di koridor lantai satu. Begitu melewati kantor guru, beberapa guru kulihat sudah datang dan beberapa sedang absen. Aku tanpa sadar mencari keberadaan Keano. Leherku menjenjang dan melongok ke jendela kantor guru. Dan, ketemu. Lelaki itu sedang berada di mejanya dan mencatat sesuatu di bukunya. Senyumku tak sadar melekuk.
Tak ingin terlena terlalu lama, aku segera mengalihkan pandanganku dan bergegas menyusul Deon yang sudah berjalan di tangga. Kakiku berlari menyusulnya. Dan ketika sampai di atas tangga, Deon membalik badan dengan cepat. Aku tak bisa mengontrol langkahku dan otomatis kepalaku menabrak dadanya dengan keras.
"Aw!" Aku mengelus dahiku dan memberinya death-glare. "Kalau mau ngerem, bisa gak, kasih aba-aba dulu?" sarkasku.
Deon malah tertawa melihatku yang mengelus-elus dahiku. Tangannya terangkat dan gantian mengelus dahiku. "Sakit?" tanyanya.
"Udah tau, pake nanya." Aku melotot.
Ia malah tertawa keras sekali. Hingga beberapa murid yang ada di sana sesekali melirik kami. Aku menunduk malu. "Ish malu-maluin banget sih lo." Aku berjalan menjauhinya. Dan agak berlari menuju kelas.
"Eh, Alana!"
°°°°
"Lo bakal bilang ke Pak Keano?" Lita bertanya dengan bisikan di telingaku. Tangannya menutup depan bibirnya. "Lagi?"
Aku meliriknya dan mengangguk mantap. "He-em," desisku. Aku gantian mendekat ke arahnya dan gantian menjulurkan tangan di depan bibirku. Aku membisikkan sesuatu padanya, "Gue udah bawa senjata."
Mendengar itu, Lita melirik ke arahku. Aku mengedikkan daguku ke arah kolong meja. Di sana ada paperbag berwarna coklat. "Isinya apaan?" tanyanya lirih. Ia mencuri-curi pandangan ke depan dan aku. Tidak ingin membuat Pak Keano di depan sana yang tengah menjelaskan sub bab pelajaran merasa terusik dengan prosesi-bisik-membisik kami.
"Gue bilang senjata, ya senjata," kataku lagi.
Lita menyipitkan matanya lalu menggelengkan kepalanya. "Ish, mencurigakan."
Aku hanya tertawa mendengarnya.
Senjata yang kumaksud sebenarnya adalah bekal makan siang yang tadi pagi kubuat. Aku lupa makanan favorit Keano, juga kemungkinan seleranya sangat berbeda dengan saat ia kecil dulu, jadi aku hanya membuatkan nasi goreng sosis dan telur ceplok untuknya. Kupikir makanan itu bisa diterima semua usia.
Aku ingin kembali berbicara dengannya. Jadi kuputuskan jam istirahat nanti akan menemuinya di kantor guru. Keano lagi-lagi menghindariku. Begitu yang ia lakukan saat mengabsen kelas tadi.
Ketika namaku dipanggil, ia sama sekali tidak melihatku. Tidak seperti saat ia memanggil murid kelasku yang lain. Ia akan dengan sigap langsung menyebut dan memandang murid itu, kukira sambil mengingatnya. Iya, mungkin ia pikir sudah tiga pertemuan dan masih belum hapal dengan murid itu.
Menyebalkan. Ia menghindariku terus.
Bahkan saat aku mengacungkan tangan untuk bertanya pun, ia memberi jawabannya dengan mengedarkan tatapan ke penjuru kelas. Melirikku saja tidak. Lelaki itu bersikap ramah hanya di depan siswi lain, namun di depanku, ia menghindar dan memasang wajah dingin. Rasanya aku ingin menangis saja.
Benar-benar, Keano itu!
°°°
Beberapa kali aku masih mendapatkan respon tidak percaya dari Keano. Ini jelas seperti dugaanku, pasti membutuhkan waktu yang lama untuk meyakinkan Keano. Namun tentu saja aku tidak menyerah lagi. Begitu aku sampai di kantor guru, aku menunggu di bangku panjang di depan. Beberapa menit Keano belum juga muncul. Namun di menit ke sepuluh, ia datang. Aku bergegas bangkit dan mengumbar senyum saat tatapan kami bersiborok.
Keano menghentikan langkahnya. Ia menghela napas kasar saat matanya bersitatap dengan mata hazel kepunyaanku. Sebenarnya kurasa Keano ingin menghindar, namun ia sudah kepalang basah. Jadi akhirnya ia putuskan untuk menghampiriku.
“Kalau ingin meyakinkan saya lagi, lebih baik kamu pergi dan habiskan waktu makan siangmu,” kata Keano dingin dan melewatiku begitu saja.
Aku bergegas menyusul langkah Keano, menyejajarkan tubuh kami. “Saya bawa makan siang untuk kita berdua.”
Keano melirikku lalu tas kertas dalam genggamanku. “Gak usah. Lebih kamu makan sendiri.” Lelaki itu memasuki ruang guru dan menebar senyum. Sedangkan Aku masih membututinya bagai anak kecil yang takut ditinggal ibunya.
Saat sampai di depan mejanya, Keano membalikkan badan, membuat kepalaku membentur punggungnya. Aku meringis. Baru tadi pagi kepalaku membentur d**a Deon, kali ini harus mendapatkan sakit yang sama lagi. Keano menatapku dengan raut datar hingga aku kebingungan. Lalu berikutnya ia mendesah pasrah. “Oke, saya beri kamu waktu lima menit.”
Aku tersenyum. Hari itu Aku yakin kalau Keano yang dulu memang masih ada. Keano yang perhatian dan ramah padaku.
°°°°
“Jasmin suka bunga matahari.”
Keano tersentak mendengar perkataan Alana di depannya. Ditelisiknya raut gadis itu, namun tidak ditemukan kebohongan sedikitpun. Ia berdehem. “Lalu?”
“Jasmin hanya punya seorang ibu, ayahnya sudah meninggal sejak kecil.”
Kalau tentang bunga matahari, bisa saja gadis itu tahu dari orang lain. Atau asal menebak saja. Namun tentang orangtua Jasmin, apa mungkin Alana hanya menebak?
“Kejadiannya di ladang bunga matahari, lalu kita dibawa ke hutan. Orang itu menculik kita dan akhirnya aku dibunuh.” Alana memandang raut Keano yang kini tercengang. Ia kini melanjutkan dengan gugup. “Lalu kamu menangis sesenggukan. Dan selalu berpikir kalau kamu penyebab kematianku dulu.”
Alana mengatakan semua itu dengan raut serius. Keano susah mendeteksi kebohongan dari gadis itu.
"Aku Jasmin, Keano."
°°°°
Keano terus memikirkan perkataan Alana meski sudah berlalu lima belas menit yang lalu. Ia tadi hanya terdiam dan saat Alana kembali meyakinkannya, bel tanda masuk pelajaran kembali berdering. Beruntung jam kelasnya hari ini selesai, jadi ia tidak perlu gugup seperti guru-guru lain.
Ia menarik laci mejanya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Sepucuk surat yang berisi tempelan Koran bekas dari masa lalu dan setangkai bunga matahari. Ia membaca sekali lagi surat itu, isinya tentang kasus penangkapan penculik sekaligus pembunuh seorang anak kecil yang dijatuhi hukuman 22 tahun. Lalu matanya jatuh pada tangkai bunga matahari. Benar yang dikatakan Alana, Jasmin sangat menyukai bunga matahari. Penculik itu tahu dan kini mengiriminya, berniat menerornya.
Keano meremas surat dan tangkai bunga matahari. Ia bersumpah dan memaki tanpa sadar. Lalu ia melempar kedua benda itu ke tempat di sebelahnya.
Tadi pagi ketika hendak berangkat ke sekolah, ia mengecek kotak surat di depan rumahnya dan menemukan dua benda tersebut. Keano tahu kalau berita kebebasan lelaki itu sudah tersebar, namun ia tidak tahu kalau lelaki itu mendendam padanya hingga menerornya.
“Pak Keano belum pulang?”
Keano tersentak. Ditatapnya guru paruh baya berkacamata di depannya. Guru itu membenarkan kerudungnya dan duduk di bangkunya.
“Sebentar lagi, Bu,” katanya. Ia teringat Alana dan tiba-tiba satu pertanyaan meluncur begitu saja, “Bu, kira-kira murid kelas sebelas itu usianya berapa, ya?”
Guru itu tampak berpikir sebelum menjawab pertanyaan Keano. “Sekitar tujuh belas tahun, Pak.”
“Oh.” Keano mengangguk-angguk.
“Kenapa memangnya?” guru itu penasaran.
Keano mengibaskan tangannya. “Oh enggak apa-apa.” Ia tersenyum canggung.
Bagaimana bisa gadis itu tahu kejadian 22 tahun yang lalu jika kini usianya baru menginjak tujuh belas?
Apa benar kamu bereinkarnasi menjadi Alana, Jasmin?
°°°°