"Kan apa gue bilang."
Aku terkesiap mendengar perkataan Deon. Ia memandangku dengan wajah geram. Aku balas memandangnya dengan raut penuh kesedihan. Iya, aku sedih ketika mendapati Keano yang tidak mempercayai ucapanku.
"Lo tau kan kenapa gue ngelarang lo buat ngomong semuanya ke dia?" tanya Deon dengan lirih. Aku menangkap sorot khawatir darinya. Deon sudah tidak menggunakan sapaan sopan untuk memanggil Pak Keano. Mungkin ia sangat marah.
Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya. "Lo khawatir," jawabku.
"Selain itu?" tanyanya lagi.
"Lo gak mau gue sedih karena dibilang gila." Iya. Deon pasti berpikiran begitu.
"Nah itu lo tau." Ia menarik sudut bibirnya. Lalu melanjutkan ucapannya. "Terus kenapa lo masih gak ngikutin saran gue?"
Aku terhenyak. "Gue ... gue ..." Aku terbata.
Deon lagi-lagi memasang seringaian di wajahnya. Ia menunduk menatap tanah lalu berikutnya menatapku dengan sorot kecewa. "Gue balik, ya," ucapnya. Begitu mengucap itu ia benar-benar membalik badan dan melangkah.
Sontak aku terkejut karena ia benar-benar akan pergi begitu saja. Aku lagi-lagi berseru padanya untuk mencegah langkahnya. "Kenapa sih gak lo terima aja keputusan gue?" Dadaku naik turun setelah menyerukan kalimat tanya itu. Mataku menyorotkan tatapan marah.
Deon berbalik. Ia menatapku tidak percaya. "Apa?" tanyanya.
"Kenapa gak lo dukung keputusan gue, De? Lo gampang banget bilang marah dan tiba-tiba menjauh gitu aja. Lo pikir gue gak sedih? Gue sedih banget," jelasku dengan cepat. Napasku berhembus kasar dan sedikit tersengal. Setetes cairan tak bisa kutahan, mengalir begitu saja di pipiku. "Lo pikir gimana perasaan gue pas lo ngehindarin gue beberapa hari ini? Cuma lo satu-satunya sahabat yang selalu ada di sisi gue," lanjutku.
Deon tampak terkejut melihatku yang tiba-tiba menangis. "Na," lirihnya. Ia mendekat padaku.
"Gue gak mau kehilangan lo. Tapi gue juga gak bisa diam aja pas gue tau kenyataan semuanya." Aku menatapnya dengan airmata yang terus saja mengalir. Kenapa aku sangat cengeng sih?
Aku terus merutuki diriku sendiri yang harus terlihat menyedihkan di hadapan Deon.
"Na, gue ..."
"Lo apa?" tanyaku tidak sabaran. "Jangan bersikap kayak kemarin-kemarin lagi, De. Gue gak bisa jauh dari lo. Lo tau sendiri kan gue selalu bergantung sama lo."
Deon menghela napas kasar. "Oke. Tapi kalau dia lagi-lagi gak percaya sama lo, gue minta lo benar-benar jauhin pikiran tentang reinkarnasi itu," tegasnya. Ia menatapku dengan penuh harap.
Aku mengusap airmataku dengan cepat. Lalu mengangguk senang. "Iya. Gue janji." Aku tersenyum lebar. Deon balas senyumanku.
"Oke."
Dengan begini, artinya aku harus meyakinkan Keano. Bagaimanapun caranya.
°°°°
"Lo yakin Deon udah percaya sama lo dan bakal biarin lo ngeyakinin Pak Keano?"
Lita menatapku dengan penasaran.
Saat ini kami sudah berada di kelas kami. Jam baru menunjuk pukul setengah tujuh, tetapi kami sudah dengan rajin berangkat ke sekolah. Buktinya di kelas baru ada kami berdua. Murid kelasku yang lain baru akan memasuki kelas ketika pukul tujuh.
Aku mengangguk menatapnya. "Iya. Deon bilang gue harus berhenti kalau Pak Keano gak percaya untuk kesekian kalinya." Aku mengepal tangan. "Ini artinya, gue harus yakinin dia. Gimana pun caranya." Kepalaku mengangguk mantap. Aku tersenyum lebar.
Lita bertepuk tangan sambil menatap kagum padaku. "Wah. Berarti habis ini lo tinggal bener-bener yakinin Pak Keano gitu ya?" tanyanya. Ia menarik lenganku yang tadi terkepal. Lalu sedetik kemudian pertanyaan Lita berikutnya membuatku melunturkan senyumku.
"Tapi gimana caranya, Na?"
Bahuku langsung merosot. Hal itu yang masih membuatku bingung. Aku kehabisan ide. Kemarin saja Keano benar-benar tidak percaya dan menyebutku gila, aku tidak bisa membayangkan reaksinya lagi saat aku kembali meyakinkan dirinya.
Apa yang harus kukatakan?
"Eh iya, besok ada mapelnya, gimana kalo lo tanya dia setelah pelajaran?"
Betul juga. Besok aku bisa bertemu dengannya lagi. Tetapi ... aku masih tidak yakin akan respon darinya. Aku takut ia kembali marah padaku atau bahkan kembali menyebutku gila.
Aku menatap Lita dengan ragu. "Haruskah?" Lagi-lagi aku menanyakan hal ini pada Lita. Mengapa sih aku harus tidak mempunyai pendirian yang tetap.
Lita mengangguk mantap. Lalu tangannya terangkat ke bahuku, memegangnya kencang. "Harus!"
Aku meringis.
Errr ... aku merasa dejavu.
°°°°
Alana, lo gak lupa kan kalau hari ini kita ada rapat OSIS?
Aku menepuk jidatku kala membaca pesan dari Rani. Aku yang tengah berjalan bersama Deon untuk pulang bersama akhirnya menghentikan langkah. Sontak langkah Deon juga terhenti.
"Kenapa?" tanyanya. Ia menatapku terheran.
Iya, sejak janji kemarin, Deon sudah mau membalas pesanku, berangkat bersama ke sekolah, dan kembali bertingkah selayaknya Deon biasanya. Aku bersyukur.
Aku meringis menatapnya. Baru pertama kali kami pulang bersama sejak kejadian kemarin, namun tidak bisa dilakukan. "Gue lupa ada rapat OSIS siang ini," kataku dengan raut menyesal.
"Oh gitu. Ya udah sana," balas Deon maklum. Ia mendorongku. "Gue bisa balik sendiri."
Aku yang tadi didorongnya kini memutar kepalaku menatapnya. "Lo yakin? Gue udah janji traktir lo eskrim." Iya, hari ini sebenarnya aku berencana memperbaiki hubungan kami kemarin yang sempat renggang. Janji siang ini adalah main PS bersama sambil makan eskrim. Aku tidak bisa begitu saja melewatkan kesempatan siang ini, aku tidak ingin Deon kembali kecewa. Namun aku juga tidak bisa kembali membolos rapat OSIS setelah kemarin diperingati sedemikian rupa dan mendapat denda yang lumayan. Dendaku saja masih kucicil dan belum lunas.
Deon mengangguk. "Yakin, Na. Udah sana." Ia mendorongku menuju koridor yang menuju kantor guru dan ruang OSIS. Sedangkan tadi kami sudah hampir menuju gerbang sekolah.
"Deon." Aku melemparkan simbol hati padanya. Lalu tersenyum lebar. "Entar pulang dari rapat gue mampir rumah lo."
Cowok itu terkekeh. Ini kebiasaan kami untuk saling melempar simbol hati jika sedang senang. Bahkan sampai beberapa kali seisi sekolah mengira aku dan Deon berpacaran.
"Udah sana," tawanya. Ia melambaikan tangan lalu berjalan menjauh menuju gerbang sekolah.
Aku tersenyum memandanginya. Lalu kembali melangkahkan kakiku memasuki sekolah. Aku berlari. Lalu berulang kali memeriksa jam tanganku. Rapat sepertinya sudah berjalan sejak lima belas menit yang lalu. Aku terlambat.
Aku melewati kantor guru begitu saja tanpa memandang sedikitpun. Pikiranku sekarang hanya satu. Aku takut didenda lagi.
Saat sudah sampai di depan pintu ruang OSIS aku menetralkan detak jantungku yang berdetak sangat cepat dan juga napasku yang masih ngos-ngosan. Lalu merapikan rambut dan seragam OSIS-ku. Aku menarik sudut bibirku dan tersenyum sendiri di depan pintu. Kini aku sudah siap memasuki ruang OSIS dan mendapatkan tatapan tidak menyenangkan. Sewaktu tanganku hampir menyentuh gagang pintu, pintu itu malah terbuka. Tertarik ke dalam dan memunculkan seseorang dari sana. Aku terkejut. Seseorang itu adalah seseorang yang kemarin membuatku sedih berkepanjangan. Yang membuatku harus berjalan pulang dengan airmata menetes sepanjang jalan. Ia, efek perbuatan sosok itu padaku benar-benar membuatku begitu.
"Oh, kamu telat." Suara bariton itu menggelitik telingaku. Aku ingin menjawab perkataannya namun tidak sempat. Ia sudah melewatiku begitu saja. Lalu berjalan menuju kantor guru.
Bahuku lemas merosot begitu saja. Benar bukan dugaanku, ia menghindariku.
"Alana, gak masuk?"
Rupanya sejak tadi tingkahku mendapat perhatian banyak dari beberapa orang dalam ruangan itu. Mereka serempak menatapku. Erlan yang tadi sedang menjelaskan beberapa hal yang tidak kuketahui, juga memandangku. Ia yang tadi menanyakan hal itu.
"Kalau gak mau masuk, bisa tutup pintunya?"
Aku tersentak. Erlan menatapku datar dan hampir mendekati kata sinis. Aku mencebik bibir. Lalu masuk ke dalam ruangan itu, setelah menutup pintunya tentu.
Aku berjalan menuju kursi kosong di samping Rani. Ia yang tadi heboh melambai-lambaikan tangannya untuk menyuruhku menghampirinya. Begitu aku duduk di sampingnya, ia menepuk lenganku. "Gue pikir lo gak dateng," cicitnya.
Aku menggeleng saja menanggapinya. Dan kembali memperhatikan ke depan. Erlan sedang menjelaskan tentang event mendatang. Tepatnya event Basket Sekolah. Akan diadakan pertandingan persahabatan antar sekolah. Iya, ini tugas bidang Bakat Minat dan Olahraga. Berulang kali Rani menanggapi perkataan Erlan. Lalu berikutnya mendiskusikan hal yang penting denganku.
"Oke, jadi gitu aja ya. Berarti setelah ini Rani sama Alana diskusiin detailnya ke Ketua Tim Basket."
Aku dan Rani mengangguk bersamaan.
"Rapat hari ini dicukupkan. Kita rapat lagi setelah hari ditentukan di grup chat, ya. Thank you, gaes."
Setelah itu rapat bubar. Erlan dan beberapa anggota OSIS lain mulai meninggalkan ruangan. Menyisakan aku, Rani, dan Fira. Fira, cewek itu langsung menatapku. "Gue pikir lo tadi gak mau dateng loh. Lumayan dendanya buat makan-makan pas akhir kepengurusan."
Aku mendengus sebal. "Enak aja," sergahku.
"Iya enak lah, Alana." Setelah itu ia mengemasi buku dan tasnya, lalu bergegas keluar ruangan.
Rani menepuk-nepuk pundakku. "Udah gak usah didengerin." Ia tersenyum menenangkan. "Kita pulang yuk. Lo bonceng gue, ya. Gue bawa motor."
"Oke."
°°°°