Setelah mengayuh sepeda sekitar dua puluh menit, akhirnya Mita tiba di rumah sakit. Dia mengempaskan sepedanya begitu saja, lalu kemudian menghambur masuk ke dalam rumah sakit itu. Mita menatap liar ke segala penjuru, lalu kemudian mengempaskan tubuhnya di bagian informasi.
“Di mana pasien bernama Daffa?” tanya Mita dengan napas yang tersengal-sengal.
“Daffa?” suster yang berdiri di belakang meja informasi itu langsung mengecek.
“Iya, dia korban kecelakaan yang baru saja terjadi,” tambah Mita lagi.
Suster itu mengangguk. “Ah … pasien itu masih ada di UGD.”
Deg.
Mita menatap nanar, lalu kemudian dia berlari menembus lorong menuju ruang unit gawat darurat. Setiba di sana Mita langsung mengintip dari jendela kaca. Dia sibuk menjinjit kakinya agar bisa melihat. Sesekali dia juga bergeser ke kanan dan kiri. Namun semua usahanya itu sia-sia. Mita tidak bisa melihat apa-apa.
Rasa penat dan letih karena mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi kini mulai dia rasakan. Mita kemudian menyandarkan punggungnya ke dinding dan perlahan tubuhnya merosot ke lantai. Mita terduduk dengan deru napas yang masih berpacu. Hatinya kini masih bertanya-tanya kenapa semua menjadi seperti ini?
Bukankah Daffa keluar bersama kedua orang tuanya? Bukankah Daffa tadi terdengar sangat ceria dan bersemangat? Lalu kenapa dia mendapatkan kabar dan realita yang mengerikan seperti ini?
Mita menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Tak lama kemudian dia mendengar suara derap langkah kaki yang mendekat dan ternyata itu adalah ayah dan bunda Daffa.
Deg.
Mita langsung bangun berdiri dan langsung menundukkan wajah. Dia tidak siap dengan situasi ini. Bertemu dengan sosok bunda Daffa masihlah menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi Mita. Bunda Daffa memang tidak pernah menyukainya. Dia selalu memasang wajah masam setiap kali Mita berkunjung.
“Tenang … mereka juga tidak akan menghiraukan keberadaan aku,” batin Mita.
Benar saja.
Kedua orang tua Daffa memang tidak mengacuhkannya. Mereka bahkan tidak menatap Mita sama sekali. Mita pun hanya bisa tersenyum kecut, dia menghela napas panjang sejenak, lalu kemudian melangkah pelan pergi dari sana.
“Apa itu anak yang bernama Mita?” tanya ayah Daffa kemudian.
Bunda Daffa mengangguk. “Ya, dan dia termasuk gadis yang cukup keras kepala.”
Kedua orang tua Daffa terus saja membicarakan kejelekan Mita. Dan mereka berdua tidak mengetahui bahwa Mita yang masih berdiri di balik tembok itu mendengar semua pembicaraan mereka.
_
Mita mendorong sepedanya dengan langkah gontai, lalu menyandarkannya di tiang teras rumahnya. Rasa cemas dan khawatir tentu saja masih memenuhi rongga dadanya. Mita sama sekali belum mengetahui bagaimana keadaan Daffa. Mita juga tidak tahu sama sekali bagaimana dia bisa kecelakaan? Apakah dia terluka parah? Atau apakah dia sudah baik-baik saja sekarang ini?
Awalnya Mita ingin tetap menunggu di sana. Tetapi kupingnya benar-benar terasa panas mendengarkan setiap tudingan buruk yang dilontarkan kedua orang tua Daffa terkait tentang dirinya. Mita tidak mengerti kenapa mereka begitu membencinya seperti itu. Namun kemudian Mita juga teringat bahwa kedua oran tuanya juga memperlakukan Daffa dengan cara yang sama. Bahkan sang mama jauh lebih jahat lagi karena pernah mengancam Daffa dan menyuruhnya untuk menjauhi Mita.
“Hah … apakah semua orang tua itu sama saja? Mereka selalu memakai alibi sebagai bentuk perlindungan, kasih sayang dan sebagainya. Namun yang mereka lakukan itu tak lebih dari merusak kebahagiaan yang dirasakan oleh anak-anaknya,” bisik Mita dengan suara lirih.
Mita beranjak mendekati pintu rumah dan mulai memutar knop itu perlahan. Tapi kemudian dia mengernyit karena pintu itu terkunci dari dalam. Mita mencoba kembali memutar gagang pintu itu, tapi dia tetap saja tidak bisa membukanya.
“Tumben sekali pintunya dikunci,” desis Mita.
Mita akhirnya mengetuk pintu itu berulang-ulang sembari berteriak memanggil mamanya.
“Ma …! buka pintunya, Ma!” teriak Mita.
“Ma…! buka pintunya …!”
Hening.
Tidak ada respon sama sekali. Mita pun mengembuskan napas gusar, lalu menggedor-gedor pintu itu lebih kuat lagi.
“Ma …! buka pintunya …!!!” suara Mita terdengar kesal.
Tak berselang lama kemudian terdengar suara derap langkah kaki yang berjalan mendekati pintu dari dalam sana. Mita pun bernapas lega, akhirnya ada seseorang yang akan membukakan pintu untuknya.
“MAMA TIDAK AKAN MEMBUKAKAN PINTUNYA …!!!”
Deg.
Mita terhenyak mendengar suara hardikan itu.
“Ma …! apa maksud Mama?” Mita mendekati pintu itu dan kembali menggedornya dengan gusar.
“Kamu pasti keluar lagi menemui bocah nakal itu, kan? Sudah berapa kali kamu keluar malam untuk menemui anak itu, ha? Sekarang kamu nggak usah pulang sekalian! Pergi saja sesuka hati kamu. Kamu bahkan tidak lagi mendengarkan apa yang sudah Mama katakan!”
Deg.
Mita tertegun sebentar, lalu kemudian dia kembali menggedor-gedor pintu itu sekuat tenaganya. “Ma … buka pintunya! Mita punya alasan kenapa keluar barusan itu. Daffa itu kecelakaan dan masuk ke rumah sakit!”
Hening.
Sunyi.
Tidak ada suara dan bunyi dari dalam sana. Sepertinya mama Mita sudah berlalu pergi dan Mita pun akhirnya hanya bisa menghela napas sambil menjambak rambutnya sendiri. Mita menatap pintu rumah yang tertutup itu dengan air mata yang sudah tergenang. Ada perih yang mulai menelusup ke dalam hatinya. Setelah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari kedua orang tua Daffa di rumah sakit, sekarang dia juga harus menerima amarah sang mama yang bahkan tidak membukakan pintu baginya.
Mita menyeka air matanya, lalu menatap tajam. Dia benar-benar merasa kesal. Sikap orang tuanya yang terlalu over protektif benar-benar membuat Mita merasa muak dan jengah. Toh, selama ini nilai-nilai Mita tetap baik di sekolah. Selama ini dia juga tidak melanggar batas-batas yang membahayakan masa depannya.
Tapi kenapa mereka bersikap egois seperti itu?
Apa mereka tidak pernah muda?
Mita beralih duduk di teras rumahnya sambil memeluk kedua lutut. Cuaca dingin pun terasa menusuk kulit. Mita bahkan tidak mengenakan jaket atau pun celana panjang. Dia hanya mengenakan baju kaos warna putih yang kedodoran yang dipadukan dengan celana pendek di atas lutut.
Sejenak Mita termangu dalam pekatnya lamunan. Perlakuan orang tuanya benar-benar membuat Mita tak ingin lagi tinggal bersama mereka, atau bahkan sekedar melihat wajah mereka. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Satu-satunya jalan untuk hidup mandiri memang adalah menikah.
Ya, hanya pernikahan yang bisa mengubah jalan hidupnya. Menurut Mita, dengan menikah maka dia akan terbebas dari segala jerat peraturan dan juga kekangan kedua orang tuanya.
“Apa sebaiknya aku memang menikah saja?” bisiknya lirih.
Tak lama berselang hujan pun mulai turun perlahan. Lama kelamaan curah hujan semakin deras. Percikan airnya bahkan mengenai tubuh Mita yang duduk di teras rumah. Mita pun beralih ke depan pintu dan duduk meringkuk di sana. Bibirnya sudah menggigil kedinginan. Kedua tangannya bahkan sudah mati rasa.
Kejam.
Perlakuan mamanya kali ini benar-benar terasa berlebihan. Hujan sudah turun selebat ini dan pintu itu bahkan masih belum dibukakan juga. Mita tersenyum diantara derai air matanya yang jatuh di pipi. Sesaat setelah itu dia berdiri dan mengepalkan tinjunya kuat-kuat.
“Aku akan pergi dari sini … dan coba kita lihat, apa mereka semua akan merasa kehilangan atau bahkan baik-baik saja tanpa hadirku di rumah ini,” bisiknya kemudian.
_
Bersambung …