Too Young To Marry – 17

499 Kata
Daffa terus berlari dengan derai air mata yang masih belum mengering di kedua pipinya. Kenyataan yang beru saja dilontarkan oleh orang tuanya itu benar-benar membuat Daffa terguncang. Dia tidak lagi mendengarkan penjelasan ayah dan bundanya dan memilih untuk pergi dari restoran itu. Perutnya yang tadi terasa sangat kelaparan kini mendadak terasa kenyang dengan kenyataan pahit itu. Bercerai? Jadi mereka memutuskan untuk berpisah? Itukah alasannya sang bunda bisa mengataka kalau mereka tidak akan pernah bertengkar lagi? Langkah kaki Daffa pun melambat seiring dengan helaan napasnya yang sesak. Dia kemudian berhenti berlari, lalu memegangi kedua lututnya yang terasa penat. Langit malam itu tampak begitu kelam tanpa ada cahaya bulan atau pun bintang. Daffa terhenyak bersama pekatnya malam dan juga luka dalam yang mulai mengiris hati dan perasaannya. Tak lama berselang tubuh remaja itu ambruk dan terduduk di jalanan yang lengang. Daffa lalu meremas dadanya yang terasa sakit. Dia baru saja merajut harap saat melihat kebersamaan ayah dan bundanya. Dia baru saja menduga bahwa hari-hari bahagia seperti itu akan berlangsung selamanya. Namun siapa sangka, semua yang dilakukan kedua orang tuanya itu hanyalah sebagai bentuk salam perpisahan untuk terakhir kalinya. Air mata Daffa terus mengalir meskipun dia menangis tanpa suara. Dia terus termangu dalam kegelapan itu sampai kemudian handphone miliknya bergetar pelan. Daffa merogoh handphone di dalam kantong jaketnya itu, kemudian menelan ludah saat melihat nama Mita tertera di sana. “H-Halo ....” sapa Daffa dengan suara yang sudah terdengar serak. _ Jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.00 malam, namun Daffa belum juga menghubungi Mita kembali. Tadi dei telepon Daffa mengatakan kalau dia masih belum selesai bersenang-senang dengan kedua orang tuanya dan berjanji akan menghubungi Mita secepatnya. Ya, Daffa berbohong dan tidak menceritakan apa yang sebenarnya sudah terjadi kepada Mita. “Kenapa dia masih belum menghubungi aku?” desis Mita sambil menjangkau handphone miliknya sendiri. Mita mencoba melakukan panggilan sejenak, tapi nomor hanphone Daffa sudah tidak bisa lagi dihubungi. “Biarlah, mungkin dia sedang bersenang-senang dengan ayah dan bundanya,” ucap Mita kemudian. Mita pun menutup buku pelajaran yang tadi dibacanya kemudian langsung beranjak tidur dan langsung terlelap tanpa membutuhkan waktu yang lama. Waktu terus berlalu, Mita sudah tertidur nyenyak di tempat tidurnya. Hingga kemudian handphone miliknya berdering pelan dan Mita kembali terbangun sambil mengelus dadanya karena terkejut. Tatapan Mita beralih pada jarum jam yang menunjukkan pukul 02.00 dini hari. “Siapa yang menelepon aku tengah malam seperti ini?” bisik Mita. Mita segera bangun dan mengambil hanphone di atas meja belajarnya. Dia pun mengernyit bingung saat melihat nama Daffa tertera di layar. Meskipun sedikit merasa bingung, tetapi Mita dengancepat menjawab  panggilan itu. “H-halo ....” “Maaf ... apa anda mengenal pemilik hanphone ini? dia mengalami kecelakaan lalu lintas dan saat ini sedang berada di rumah sakit.” Deg. Mita langsung melotot kaget. Dia pun menyimak semua informasi yang diberikan oleh sosok penelepon itu dengan seksama dan langsung bergegas setelah panggilan itu terputus. Mita langsung memasang jaket denimnya, memakai sebuah topi dan langsung keluar dengan langkah tergesa-gesa. Dia mengayuh sepedanya tanpa rasa takut sama sekali menembus pekatnya malam. _ Bersambung. Maaf ya, update-nya hari ini sedikit karena Author lagi diperjalanan (di atas bus). Harap maklum ya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN