“Itu, yang itu.” Serunya dengan menuding kearah bagian bawah motornya. “Yang bersih. Besok mau gue pakai kencan.” Ngomongnya lagi, memperjelas kata terakhir dengan sedikit melirik Selly.
Selly mengangkat kepala, melirik Awan yang duduk di teras samping sana menunggui dia yang kini mencuci motor. Mendengus kasar, tangannya kembali bergerak mengusap spon ke badan motor berwarna putih milik Awan. Motor yang udah beberapa kali membawanya. Ya, dulu banget, dia kerap banget duduk di jok belakang motor besar ini.
Mendengar kata kencan tadi, Selly sedikit manyun. Membayangkan Awan yang tampan itu, pasti banyak cewek yang ter-kintil-kintil di kampus. Ah, pasti kalo sama cewek lain, dia nggak akan se jutek dan ngebully kek gini kan?
Selly membanting spon ke ember yang penuh dengan busa, terlihat begitu kesal. Setelahnya, ia mulai beranjak, berjalan kearah keran, lalu memutarnya. Lanjut, dia mulai membilas motor yang udah ia gosok sepenuhnya.
“Itu, yang bawah spion itu.” Kembali jari Awan menuding yang ia maksud.
Selly memilih diam. Jujur, dia sangat kesal mengingat semua kelakuan Awan. Pura-pura aja nggak denger Awan ngomong, itu lebih baik.
“Eh, udik, itu! Masih ada sabunnya!” sedikit berteriak, karna memang mengira jika Selly tak dengar.
Detik berlalu, bahkan sampai hitungan menit, Selly terlihat nggak menanggapi. Malah gadis itu berpindah posisi, menyemprotkan air di bagian belakang motor.
“Cckk, dasar budeg!” kesal Awan.
Cowok itu menaruh ponsel di atas meja. Mulai beranjak, melangkah menuruni undakan kecil. Berdiri di depan motornya, mengamati bagian depan yang masih tertinggal sedikit busa di sana. Berkacak pinggang, menatap Selly yang membungkuk membasuh plat motor.
“Eh, liat nih! Lo tuh dah pakai kaca mata, masih aja nggak liat! Fungsi nggak sih, kaca mata lo!” omelnya lagi.
Merasa kesal, Selly mulai menegakkan badan. Tapi tanpa sengaja air dalam selang itu menyemprot kearah awan. Membuat cowok tampan itu mengangkat kedua tangan, menghadangi air agar tak mengenai wajahnya.
“Eh, lo apaan sih!” tambah ngomel.
Selly menjatuhkan selang, kedua mata melotot dengan mulut yang sedikit mengaga. “Ma—maaf, Wan. Aku nggak sengaja.”
Wajah tampan yang memang selalu jutek di depan Selly itu makin menekuk. Menunduk, memperhatikan kaos singlet yang ia pakai. “Kan, kaos gue jadi basah!” marahnya.
Selly mendekat, mengelus kaos di bagian perut Awan. “Aku kan nggak sengaja.”
“Heh, kenapa malah lo kasih busa sih!” makin ngomel, karna ternyata Selly lupa nggak cuci tangan sebelum menyentuh kaos warna putih yang Awan pakai.
Menggigit bibir bawah, makin ngerasa salah. “Ma—maaf, aku lup—pa.”
Awan menatap wajah Selly yang mengerjab, bibirnya yang tipis, merah muda, bergerak manyun, lalu melengkung dengan wajah salahnya. Kenapa dia ngegemesin sih?! Kan jadi ingat pas kejadian malam itu, aaggh!
Awan menunduk, meraih selang yang airnya masih mengalir, dengan begitu sengaja, ia menyemprotkan air itu ke wajah Selly.
“Aaaa! Wann!” teriak Selly yang tak siap. Dia sedikit gelagapan.
Awan tersenyum, bahkan tertawa lebar melihat Selly yang kini berlari menghindarinya. Gadis itu jongkok di samping motor, bersembunyi dari percikan air yang Awan semprotkan.
“Hahaha ….” Awan mengejarnya, menyemprot tubuh Selly dari belakang. “Udik, lo takut air, iya? Hahah ….”
Selly tersenyum mendengar tawa Awan, melepas kaca mata, menyimpannya dalam saku celana. Mengusap wajah yang basah lebih dulu, lalu dia berdiri. Tersenyum, merebut selang yang ada di tangan Awan. Karna selang itu tak bisa berpindah ke tangannya, ia membalikkan arah selang, menjadikan air itu menyemprot ke tubuh Awan.
“Hahahah ….” Akhirnya dia bisa ikut tertawa.
Hal yang paling membahagiakan adalah ketika kita bisa bersama dengan orang yang kita sayang. Apa lagi, orang itu bisa tertawa senang karna kita. Dunia seperti berpihak, sangat bahagia.
“Udah, udah.” Tolak Selly saat Awan kembali menyemprotkan air tepat di atas kepalanya. “Aku udah dingin.”
Selly udah lebih dari lima belas menit mainan air, udah pasti kedinginan. Sampai kedua tangannya memutih dan mengeriput, saking dinginnya.
Awan tersenyum untuk kesekian kali. Menyemprotkan air itu ke kepalanya sendiri, lalu menggeleng, membuat air menyebar kemana-mana. Setelahnya, ia mematikan keran.
“Mandi gih.” Suruhnya pada Selly.
Selly mendongak, menatap wajah Awan yang tepat ada di depannya. Sedikit menyipit, karna tak bisa menatapnya terlalu jelas.
Awan kembali tersenyum, tanpa sadar, ia mencubit pipi Selly dengan begitu gemas. “Imut.”
“Hah?” seru Selly yang tak terlalu jelas mendengar apa yang Awan ucapkan.
Meraih bahu Selly, mendorong gadis itu agar masuk ke dalam rumah. “Cepet mandi. Kalo sampai lo sakit, nggak akan ada yang rawat papi.”
**
Usai mandi Awan kembali turun dari kamar. Langkahnya terhenti di undakan anak tangga. Ia menatap Selly yang baru keluar dari dapur, sudah ada tas yang melingkar di bahu. Pasti gadis itu sudah mau pulang, kan?
“Udik,” panggilannya, membuat langkah Selly terhenti. Lalu ia melanjutkan langkah, turun dari tangga. Berhenti tepat di depan Selly, menatap penampilan gadis itu dari atas sampai bawah. “Lo … lo pakai baju siapa? Kenapa mirip orang-orangan sawah?”
Seketika itu, Selly menunduk, memperhatikan baju milik bik Atik yang tadi ia pinjam. Lengkap dengan celana panjang yang memang kepanjangan untuk ukuran kakinya. “Aku kan nggak bawa baju ganti. Ini baju punya bik Atik.”
Awan menghela nafas, menarik lengan Selly. Yang di tarik sedikit terkejut, tapi tetep ikuti langkah kaki Awan. Membuka pintu kamar yang tepat ada di samping kamar papinya. Lalu melepaskan tangan Selly, dia sendiri membuka lemari besar yang ada di kamar itu. Menoleh, menatap selly yang berdiri di ambang pintu.
“Pilih.”
Selly mengeryit, heran dan nggak paham.
“Cckk, ini. Lo pilih, mau pakai baju yang mana.” Menerangkan apa yang ia maksud dengan menunjuk ke arah tumpukan banyak baju di dalam lemari itu.
Tetap tak bergerak. Bukannya nggak ngerti apa maksud Awan, tapi … ini baju punya siapa? Selly bukan tipe orang yang kesenengen nerima pemberian orang lain. Terlebih, dia dikasih dengan Cuma-Cuma begini. Cukup tau diri, jika ia bekerja di sini tanpa gaji.
“Lah, malah jadi patung di situ. Lo pikir kalo diem kek gitu udah mirip sama Liberty? Cckk, beda jauh!” melangkah, mendekati Selly yang melotot karna terkejut dengan kata-kata Awan tadi. Menarik lengan gadis itu, membawanya di depan lemari. “Milih, gih!”
Selly diam, mengamati beberapa baju yang tentu bagus dan harganya mahal. “Wan, ini … ini bajunya siapa? Kenapa kamu suruh aku pakai baju ini?”
Awan melipat kedua tangan di bawah d**a, membuang muka. Berlaga tak mau menatap Selly. “Itu bajunya adek gue. Keknya pas di elo. Cepet ganti baju. Gue keluarin motor dulu.”
Selly masih mau ngomong, tapi Awan udah keluar dari kamar Ralika. Manyun, memilin jari jemarinya. “Abis ngantar, besok suruh cuci motor lagi. Huuh, dasar cowok aneh.” Ngedumel sendiri.
Menit berlalu, Awan keluar dari dalam kamar. Membenarkan rambutnya sesuai gaya yang ia suka. Tersenyum sendiri, menuruni anak tangga dengan bersenandung lirih. Di ruang teve sana, Langit tersenyum menatap anaknya yang memang sangat tampan.
“Mau kemana, Wan?” tanyanya.
“Mau ke luar.” Jawabnya singkat, bahkan tak berhenti melangkah.
Langit menghela nafas. Satu bulan ia tinggal di Indonesia, serumah sama Awan, tapi tetap belum bisa dekat dengan anaknya ini.
Langkah kaki Awan berhenti tepat di depan pintu kamar Ralika. Bingung, mau ketuk pintu atau diem nungguin si selly keluar. Hingga hitungan detik, ia memilih mengetuk pintu itu. Baru saja tangannya terulur, hampir menyentuk pintu, pintu itu lebih dulu terbuka. Matanya awas, menatap Selly yang terlihat lebih imut dengan sweater warna biru dan celana pendek di atas lutut.
Keduanya saling tatap untuk beberapa detik, lalu Selly menunduk, menatap penampilannya. Beneran salah tingkah banget di tatap Awan sampai nggak kedip begitu. Satu tangan Selly bergerak, membenarkan kaca mata. “Uumm, Wan,” panggilnya lirih.
Awan membuang nafas kasar, tiba-tiba ada rasa yang membuncah dari dalam d**a. Ia memasukkan kedua tangan di saku celana, lalu melangkah pergi.
Selly manyun, menatap punggung yang terlapisi kaos warna maroon itu. Menutup pintu, lalu melangkah mengejar langkah kaki Awan. Begitu sampai di samping motor, ia mulai naik ke jok belakang. Tanpa banyak ngomong, Awan segera menjalankan motor meninggalkan rumah.
Saling diam, benar-benar tak ada yang memulai bicara. Tapi keduanya sama-sama tersenyum bahagia didalam hati. Awan membelokkan motor ketika mereka hampir sampai di kampung tempat tinggal Selly.
“Lho, Wan,” Selly sedikit mendekat, berpegangan di kedua bahu Awan. “Kenapa kita lewat sini? Kan kalo ke rumahku, lurus yang sana tadi.”
Awan menatap Selly melalui kaca spion. “Ada lubang di jalan yang tadi.” Jawabnya ngasal.
Kening Selly berlipat. ‘Lubang?’ tanyanya dalam hati. Pas berangkat tadi, jalannya masih utuh. Baik-baik saja, nggak ada lobang di tengah jalan.
“Mau sekalian ambil wadah di warung?” tanya Awan, sedikit menoleh.
“Uumm, enggak. Hari ini bu Sulis libur jualan pisang.”
“Oh,”
Kembali memutar arah, membuat mereka semakin lama sampai di tempat tujuannya. Berkali ia menatap ke spion, di mana ada Selly di dalam kaca kecil itu. Lalu mengulas senyum yang tanpa sebab.
“Eh, Wan. Aku mau berhenti di konter itu ya.” Sedikit mendekat, menunjuk ke arah konter hape yang ada di pinggir jalan.
Kening Awan berlipat, tentu heran. ‘Kan udah gue beliin pulsa banyak banget. Kenapa dia mau ke konter?’
Menghentikan motor di pinggir jalan, tepat di sebrang konter. Dia menoleh, sampai bisa menatap wajah Selly yang masih duduk di boncengan belakangnya. “Mau ngapain ke konter?” tanyanya yang tak paham.
Selly balas menatap Awan. “Mau balikin pulsa.”
Tangannya di gondeli saat gadis itu hampir turun. “Balikin pulsa gimana?”
Selly mengerjab beberapa kali. “Jadi aku semalam beli pulsa di konter itu. Aku beli lima ribu, tapi mas-nya yang jual malah ngirimnya double. Aku di kirimi pulsa lima ribu sama seratus ribu.”
Penjelasan Selly membuat kedua mata Awan melotot. Satu tangan mengepal, gatel banget pengen nonyor kepala Selly.
“Kalau mau balikin duit, aku nggak ada duit sebanyak itu. Makanya mau aku balikin pulsanya aja. Kan bisa di kirim dengan menu bagi.” Lanjutnya, menerangkan.
“Yang ngirim lo pulsa itu bukan dari konter itu. Tapi gu—” tak meneruskan kata-katanya. Awan mengalihkan tatapan, menatap ke arah depan sana.
Sementara Selly diam, mencoba mencerna kata-kata Awan yang sedikit meninggi tadi. “Memang siapa yang kirim?”
Awan kembali memutar kunci motor, lalu menghidupkan mesinnya lagi. “Nggak tauk!” jawabnya jutek, mukanya dah ketekuk, jelek banget. Ah, dia ngambek.
Selly hanya manyun saat Awan kembali menjalankan motor, masuk ke gang kecil. Dia memegang kedua bahu Awan, lalu turun dari boncengan saat motor berhenti tak jauh dari rumahnya.
“Makasih ya.” Ucapnya dengan sedikit mengulas senyum.
“Hhmm.” Jawab Awan, menatap wajah imut Selly dengan tangan bersedekap.
“Eh, iya. Semalam aku mau balas sms kamu, tapi ternyata pulsa yang aku beli belum masuk. Jadi aku tanya dulu ke yang jual. Katanya trouble. Nggak taunya, tengah malam itu ada pulsa masuk, banyak banget.” Ceritanya panjang.
Awan menyunggingkan senyum. Seneng, setidaknya, Selly menjelaskan alasan dia nggak bales smsnya. “Nggak apa. Gue juga Cuma iseng sms elo, nggak nunggu balesan.”
Selly mempoutkan bibir mendengar jawaban Awan. “Makanya, aku mau balikin pulsa ke yang jual. Kasihan, nanti dia rugi.”
“Cckk,” kembali Awan berdecak kesal. “Yang isiin pulsa seratus ribu bukan penjual di konter itu!”
Selly kembali mengeryit, membenarkan letak kaca matanya. “Lalu … siapa?”
Awan menghela nafas lebih dulu. “Ya orang baik lah. Yang perhatian sama elo. Siapa lagi?”
Kening selly makin berlipat mendengar jawaban Awan. ‘Orang baik?’ kembali ia bertanya dalam hati.
Kedua mata melotot mengingat dia yang semalam di traktir Pasha makan batagor. Udah gitu, dia diatar pulang. “Jadi … yang isiin aku pulsa … kak Pasha?” ngomongnya lirih dengan wajah benar-benar terkejut.
Awan menatap Selly dengan semakin kesal. “Siapa? Tadi lo nyebut nama siapa?”
“Kak Pasha.” Jawabnya dengan sangat polos.
Kedua mata awan melotot mendengar jawaban itu. Menatap Selly tajam, meminta penjelasan, siapa cowok yang di sebut itu. Membuang nafas kasar melalui mulut, mengalihkan pandangan ke depan sana dengan mulut manyun. ‘Gue yang isiin lo pulsa, udik! g****k banget sih lo, anjir!’ ngedumel, satu tangan meraih stang motor, mencengkramnya dengan cukup erat untuk melampiaskan kekesalannya.
Menoleh, menatap selly yang masih diam di samping motornya. “Pasha itu siapa? Tetangga lo? Temen? Atau dia … pa—car?” dengan cukup pelan ia mengatakan kata ‘pacar’. Kek nggak percaya kalo Selly udah ada pacar.
Selly tersenyum. “Kak Pasha itu adiknya kak Kleve, yang punya konter di sana tadi. Dia kakak kelas kita dulu.”
Awan diam. Tentu dia ingat, nggak mungkin banget bisa lupa sama yang namanya Pasha ini. “Lo … lo udah lama, kenal sama Pasha?” tanyanya dengan tak sabar.
Selly menggeleng dengan mengerjab lucu. “Baru semalam. Itu juga karna dia nyuruh aku nemenin makan batagor di jalan sana. Sambil aku nungguin pulsanya masuk.”
Kedua mata Awan makin melotot. “Kalian semalam kencan!?”
Selly menggeleng lagi. “Enggak. Kita nggak kencan. Cuma makan batagor bareng aja. Itu juga di traktir sama kak Pasha.”
“Jangan dekat-dekat sama Pasha.” Sahut Awan dengan cepat. Dia udah bersungut-sungut.
Kedua mata Selly mengerjab lagi. Tentu heran sama sikap Awan. Terlebih, Awan langsung memalingkan wajah. Keduanya saling diam untuk beberapa menit. Selly jadi bingung mau ngomong apa.
“Yaudah, Wan. Aku masuk dulu ya. Kasihan bapak udah nungguin aku.” Pamitnya.
Awan masih menunduk, menghela nafas panjang lagi. Bingung banget sama hatinya. “Eh, udik!”
Kaki yang hampir melangkah meninggalkannya itu, terhenti. Diam, menatap wajah Awan yang terlihat aneh. “Kenapa? Kamu … kamu mau mampir?”
Awan menggeleng, menatap wajah Selly yang ada banyak tanya disana. “Setiap orang itu mempunyai cara sendiri mengungkapkan perasaannya. Nggak harus manis, tapi bersikap baik itu nggak perlu di omongin. Dah, pulang sono! Gue juga mau pulang!” Ketusnya, menyalakan mesin motor, lalu pergi dari hadapan Selly.